Indri Ngesti R*: Pandangan Islam Terkait Penetapan Ganja Sebagai Tanaman Obat

Opini595 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Ganja atau Cannabis Sativa ditetapkan sebagai tanaman obat binaan. Hal tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri Pertanian nomor 104 tahun 2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian (Kementan). Ganja masuk dalam komoditas tanaman obat di bawah Direktorat Jenderal Hortikultura (nasional.kontan.co.id, 29/08/2020).

Penetapan tersebut menuai pro-kontra, dan pada akhirnya Kementerian Pertanian (Kementan) mencabut sementara Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) No 104/2020. Ada kontroversi dalam beleid tersebut yaitu masuknya ganja (Cannabis sativa) sebagai salah satu komoditas binaan pertanian.

Meski ganja secara umum adalah barang terlarang tetapi bisa menjadi legal asal untuk tujuan tertentu. Buktinya, Badan Pusat Statistik (BPS) punya catatan ekspor-impor produk turunan tanaman yang punya nama julukan cimeng tersebut (cnbcindonesia.com,30/08/2020).

Kita dapati bahwa ganja memiliki dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak positifnya. Narkoba termasuk ganja di dalamnya tergolong sebagai extra ordinary crime karena dapat menimbulkan kejahatan seperti pencurian, pemerkosaan, pembunuhan, pencucian uang, bahkan korupsi.

Di Indonesia penyalahgunaan narkoba sudah dimulai dari anak-anak usia 10 tahun. Hal ini menandakan bahwa penyalahgunaan narkoba sudah sangat mengkhawatirkan.

Pada tahun 2014 saja, BNN merilis penyalahgunaan narkoba di Indonesia sudah mencapai sekitar 4 juta orang dan ada lebih dari 800 ribu jiwa yang berasal dari usia 10 hingga 19 tahun. Sabu, ekstasi, dan ganja adalah jenis narkoba yang paling banyak digunakan di Indonesia. Bisa kita bayangkan berapa besar jumlahnya di tahun 2020.

Perlu diambil tindakan tegas oleh pemerintah terkait kebijakan mengenai tanaman ganja. Dalam hal ini Islam memiliki pandangan yang jelas tekait ganja.

Menurut Islam haram hukumnya secara syar’i menggunakan ganja (Cannabis sativa) secara mutlak. Meskipun untuk sekedar penyedap makanan, meskipun hanya sedikit dan meskipun tidak menimbulkan bahaya atau efek negatif bagi yang memakan makanan tersebut.

Keharamannya didasarkan pada dalil syar’i yang mengharamkan ganja secara mutlak, baik sedikit maupun banyak. Juga didasarkan pada fakta tidak adanya illat (alasan) keharaman ganja, misalnya karena menimbulkan efek negatif bagi penggunanya. Maka ganja hukumnya haram tanpa melihat lagi apakah menimbulkan efek negatif atau tidak bagi penggunanya.

Dalil syar’i yang mengharamkan ganja (Arab : al hasyisy) adalah hadits yang diriwayatkan Ummu Salamah RA bahwa Nabi SAW telah melarang setiap-tiap zat yang memabukkan (muskir) dan zat yang melemahkan (mufattir) (nahaa ‘an kulli muskir[in] wa mufattir[in]). (HR Abu Dawud no. 3689 & Ahmad no. 26676).

Maka dari itu, ganja hukumnya haram tanpa melihat lagi apakah menimbulkan efek negatif atau tidak bagi penggunanya.

Kaidah fiqih menyebutkan : inna al ‘ibadat wa al math’umat wa al malbusat wa al masyrubat wa al akhlaq laa tu’allalu wa innama yultazamu fiiha bi an nash. (sesungguhnya hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, dan akhlaq tidak didasarkan pada illat, namun hanya didasarkan dan berpegang pada nash saja).

Lalu bagaimana jika ganja dimanfaatkan menjadi obat ?

Pertama-tama perlu dipahami bahwa ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama mengenai hukum berobat (at-tadaawi/al-mudaawah) dengan zat najis dan haram. Terdapat dua kelompok hadis yang nampak bertentangan (ta’arudh) dalam masalah ini.

Di satu sisi, ada hadits yang melarang berobat dengan benda yang haram dan najis, misalnya hadis Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang diharamkan Allah atasmu.” (HR. Bukhari dan Baihaqi). Rasulullah bersabda,

“Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR Abu Dawud).

Dalam tulisan ini akan dijelaskan terkait Jama’ kedua kelompok hadist tersebut. Menurut Syaikh An-Nabhani, sabda Nabi ﷺ untuk tidak berobat dengan yang haram tidak otomatis menunjukkan keharaman, tapi sekedar menunjukkan tuntutan (thalab) untuk meninggalkan perbuatan. Sedangkan dua hadis di atas yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram, oleh Syaikh An-Nabhani dijadikan qarinah (petunjuk) yang memperjelas sifat tuntutan tersebut.

Kesimpulannya, tuntutan tersebut adalah tuntutan (thalab) yang tidak tegas (ghairu jazim), sehingga hukum syara’ yang diistinbath adalah makruh, bukan haram (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/110).

Dengan demikian, berobat dengan suatu materi yang zatnya najis, atau zat yang haram untuk dimanfaatkan (tapi tidak najis), hukumnya adalah makruh. Jadi, berobat dengan ganja adalah makruh, tidak haram. Wallahu a’lam.[]

*Founder Komsata Nganjuk

Comment