Ummu Abdillah*: Lindungi Anak-anak Sebagai Generasi Cemerlang

Opini702 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA “Anakku, anakku, anakku
Dunia yang akan kau alami
Tak sama, tak sama, tak sama
Dengan dunia yang ‘ku alami….”

Sebait lagu Nasida Ria yang pernah hits di tahun 1990 mengandung makna yang sangat dalam. Bahwa dunia anak tidaklah sama dengan dunia orang dewasa (orang tua). Anak sejatinya adalah makhluk kecil yang polos, periang, lincah, dan menggemaskan. Dunia mereka diwarnai dengan belajar dan bermain yang menyenangkan. Namun semuanya harus berhenti. Segala aktivitas yang mereka lakukan berpindah ke dalam rumah karena dampak pandemi yang tak berkesudahan menyerang negeri tercinta ini.

Dilansir balebandung.com, Ahad,(9/8/2020), Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Bandung menyoroti kondisi psikologis anak di masa pandemi Covid-19 ini. Peran guru Bimbingan Konseling (BK), teman sebaya ataupun layanan konseling bisa dimanfaatkan ketika keluarga tidak mampu mengasuh anak secara ideal.

Ketua P2TP2A Kabupaten Bandung, Kurnia Agustina Naser atau teh Mia menyatakan, di masa pandemi Covid-19, ketika seluruh aktivitas anak dipindahkan ke rumah maka keluarga, baik orang tua atau wali maupun pengasuh pengganti harus memiliki kepekaan terhadap kondisi psikologis anak-anak. Orang dewasa di lingkungan keluarga haruslah menempatkan diri sebagai kawan bagi anak-anak.

Namun ketika pengasuhan keluarga tidak berjalan ideal, dimana keluarga justru menjadi sumber masalah bagi psikologi anak-anak, maka perlu adanya wadah lain yang bisa membantu anak-anak.

Masa pandemi ini telah mengubah semua tatanan kehidupan. Bukan hanya sektor ekonomi saja namun juga di sektor pendidikan. Yang paling terkena imbasnya adalah pendidikan anak-anak yang masih memerlukan pengawasan dari para orang tuanya. Seperti saat ini pemerintah membuat sistem pembelajaran jarak jauh atau daring. Semua kegiatan sekolah dipindahkan ke dalam rumah.

Mungkin untuk sementara anak-anak akan senang, enjoy, dan happy. Orang tua pun tidak perlu takut dan khawatir akan penularan virus Covid-19.

Namun belajar di rumah jauh berbeda dengan belajar di sekolah. Tidak semua anak mempunyai gawai dan tidak semua orang tua mempunyai waktu untuk mendampingi buah hatinya. Ada yang sibuk bekerja, begitupun dengan asistennya yang sudah pasti mempunyai tugas sendiri.

Maka minimnya pendampingan para orang tua membuat anak akan semakin stres, jenuh, dan bosan ketika tugas sekolah semakin menumpuk dan tidak ada tempat untuk bertanya, atau untuk menerangkan soal-soal yang diberikan guru.

Alhasil anak bukannya belajar, malah hanya berdiam saja di rumah tidak melakukan apapun. Mereka mulai malas belajar. Mau main tidak bisa, mau sekedar bertemu dengan teman pun dilarang. Keadaan itu dikhawatirkan akan mempengaruhi perkembangan jiwa bagi anak-anak.

Namun begitulah faktanya. Bila jauh hari pemerintah menerapkan sistem lockdown. Mungkin ceritanya akan berbeda.

Pemerintah tampak lebih mengkhawatirkan sisi ekonominya saja dan seakan melupakan tanggung jawabnya terhadap pendidikan.

Akibatnya banyak anak-anak yang tidak terurus dan tidak mendapatkan penanganan yang baik. Ditambah dengan kondisi para orang tua yang sebagian besar mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka khususnya para ibu yang sibuk mencari nafkah namun melupakan akan perannya sebagai pendidik dan pengasuh bagi anak-anaknya.

Hakekatnya sudah menjadi kewajiban pemerintah dalam mengurusi seluruh kebutuhan hidup rakyatnya, termasuk kebutuhan bagi anak-anak. Yaitu memberikan pelayanan kesehatan, kenyamanan, dan kebahagiaan bagi anak-anak.

Apalagi dalam masa pandemi ini, anak-anak sangat membutuhkan uluran kasih sayang, perhatian, dan suasana yang menyenangkan agar mampu melewati hari-harinya dengan penuh keceriaan. Baik dalam belajar maupun bermain walaupun dalam rumah.

Tetapi pemerintah semakin abai, cuek, dan masa bodoh dalam menangani masalah anak-anak di masa pandemi ini. Pemerintah seolah-olah menyerahkan kewajiban sepenuhnya kepada orang tua. Pemerintah lupa bahwa anak-anak adalah aset bangsa yang harus dipenuhi segala kebutuhannya.

Baik kebutuhan fisik maupun psikisnya agar tumbuh menjadi generasi yang kuat akidahnya, sopan, beradab, sehat, dan cerdas.

Begitulah bila sistem kapitalis-sekuler yang diterapkan di negeri ini. Sebuah sistem yang berasaskan manfaat semata dengan tidak mengindahkan aturan agama.

Pemerintah hanya sebagai regulator saja dalam membuat kebijakan hukum. Segala aturan dibuat sesuai dengan pesanan sang pemilik modal.

Tentu saja pemerintah akan melakukan apa saja selama itu memberikan keuntungan dan manfaat. Berbeda bila tidak memberikan manfaat (keuntungan) maka hal itu tidak akan ditangani secara sungguh-sungguh.

Seperti dalam menangani masalah pandemi ini yang berkaitan dengan memberikan perlindungan kepada anak-anak. Karena tidak memberikan manfaat dan keuntungan bagi mereka, maka kewajiban untuk memberikan rasa aman, dan kebahagiaan diserahkan sepenuhnya kepada keluarga terdekatnya yaitu orang tuanya.

Pemerintah melupakan bahwa segala perbuatan yang dilakukan di dunia ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt kelak di hari hisab. Apakah sistem yang batil ini yang akan mampu menghantarkan anak-anak menjadi generasi bangsa yang cemerlang? Tentu tidak bukan?

Maka hanya satu alasan agar Islam itu tegak. Karena Islam akan mampu mengatasi semua masalah yang dihadapi rakyatnya. Seperti dalam wabah saat ini, Islam akan menerapkan sistem lockdown (karantina wilayah). Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda.:

“Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya. “(HR. Imam Muslim)

Oleh karena itu pembelajaran di rumah memang dianjurkan untuk sementara oleh negara. Tapi tidak seperti saat ini yang penuh kebingungan dan kekacauan baik anak, guru maupun orang tua.

Sistem pendidikan Islam berdasarkan atas akidah Islam. Yaitu bahwa manusia, kehidupan, dan alam semesta adalah hanya sebagai makhluk, ciptaan Allah Swt. Apapun yang kita lakukan di dunia akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

Maka dalam tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan generasi yang berakhlakul karimah, berkepribadian Islam dengan mempunyai keahlian dan kecerdasan untuk membangun peradaban umat yang cemerlang.

Pemerintah juga mempunyai kewajiban untuk menyediakan sarana dan prasarana dengan kapasitas yang bagus hingga para guru mendapatkan gaji dan insentif yang tinggi.

Begitupun dengan para muridnya, mereka mendapatkan fasilitas yang serba gratis. Agar bisa fokus dan konsentrasi dalam belajar.

Dengan demikian lembaga pendidikan, negara, orang tua (keluarga), guru, maupun masyarakat akan berjalan beriringan dalam mendidik anak-anak menjadi generasi Islam yang cemerlang.

Agar semuanya dapat terwujud, maka sudah saatnya kita berjuang menerapkan sistem Islam dengan menegakkan syariat-Nya dalam setiap sendi kehidupan.Wallahu a’lam bish shawab.

*Anggota AMK dan Alumni Branding for Writer.

Comment