Isfawati Mahmud, S.Ft.,M.Fis*: Dispensasi Nikah, Antara Cegah Nikah Dini Dan Seks Bebas

Opini684 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA  — Pernikahan dini acapkali dilabeli dengan sesuatu yang negatif di tengah-tengah masyarakat. Tak bisa dipungkiri, pergaulan bebas yang kian hari tak terkendali menjadi faktor utama. Hal ini ditandai dengan tingginya pengajuan dispensasi nikah ke pengadilan agama. Tentu, ini menimbulkan tanda tanya baru dalam benak kita, seolah kebijakan yang diberlakukan tak mampu memberikan solusi bahkan membuat masalah yang baru.

Dilansir dari JawaPos.com (28/7), Dalam rentang Januari hingga Juli 2020, terdapat 236 perkara untuk pengajuan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Jepara. Pada perkara yang diajukan 2020 ini, persentase pemohon yang dalam kondisi hamil 52,12 persen, sisanya 47,88 persen tak dalam kondisi hamil.

Jumlah pengajuan itu, cukup banyak jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Lantaran ada perubahan aturan yang disahkan pada Oktober 2019 lalu. Dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, disebutkan usia minimal untuk menikah 19 tahun bagi kedua mempelai. Sedangkan UU sebelumnya, UU Nomor 1 Tahun 1974, usia nikah minimal 16 tahun bagi perempuan dan 18 tahun bagi laki-laki.

Hal ini menegaskan bahwa meskipun pemerintah telah merevisi batas usia minimal perkawinan, tetapi pada kenyataannya praktik pernikahan dini semakin meningkat. Alih-alih menekan laju peningkatannya, justru kebablasan dibuatnya.

Terlebih di masa pandemi sekarang ini, kondisi ekonomi yang semakin sulit dan terhimpit. Sebagaimana yang dilansir dari kompas.com (8/7), Dosen Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Susilowati Suparto mengatakan, peningkatan angka pernikahan dini di masa pandemi Covid-19 salah satunya ditengarai akibat masalah ekonomi. Kehilangan mata pencaharian berdampak pada sulitnya kondisi ekonomi keluarga.

Sungguh ironis nan menyayat hati. Lagi-lagi karena ekonomi dan pemikiran keliru yang menganggap anak adalah beban. Tak sedikit orangtua yang beranggapan bahwa dengan menikahkan anak perempuan di usia dini akan menyelesaikan persoalan setidaknya tak menambah tanggungan keluarga, apalagi kalau dalam keluarga tersebut memiliki anggota yang banyak. Apa boleh dikata, hidup dalam sistem kapitalisme tak ada jaminan kebutuhan yang merata.

Kebijakan Ngawur, Maksiat Kian Subur

Melihat fakta yang terjadi, banyaknya yang mengajukan dispensasi nikah di berbagai daerah menegaskan 2 problema yang lahir dari kebijakan dispensasi nikah ini.

Pertama, dijalankan bersamaan dengan pendewasaan usia perkawinan dengan harapan menurunkan angka pernikahan dini. Membatasi usia minimal perkawinan merupakan aturan keliru yang menyimpang fitrah manusia.

Pasalnya, kedewasaan seseorang tidak bisa diukur dari faktor umur belaka. Seseorang yang sudah siap baik secara mental, fisik dan mampu untuk membangun rumah tangga namun tak bisa menyalurkan hasrat seks karena aturan yang melarang untuk menikah dini,  bisa saja mengambil jalan lain yang tidak sesuai syariat. Apatah lagi, kehidupan sekuler hari ini yang sarat akan kebebasan. Peluang untuk bertindak semaunya terbuka lebar.

Kedua, menjadi ‘jalan keluar’ untuk memaklumi fenomena seks bebas di kalangan remaja. Tak bisa dipungkiri, pergaulan remaja hari ini bisa dikatakan sudah di luar batas kewajaran.

Adanya budaya pacaran yang sudah menjadi kebiasaan, sampai ada sebagian orang tua yang bangga ketika anaknya mempunyai pacar bahkan memfasilitasinya.

Miris sekali. Namun begitulah faktanya. Ketika sang anak hamil duluan sebelum menikah, diajukanlah dispensasi nikah sebagai ‘solusi’ agar bisa menikahkan anaknya karena kondisi sudah mendesak.

Persoalan tidak sampai disitu, menikahkan anak dengan terpaksa karena hamil duluan tanpa adanya bekal dalam mengarungi bahtera rumah tangga tentu akan mengalami kesulitan.

Ketidaksiapan mental menghadapi hiruk pikuk kehidupan rumah tangga akan menjadi masalah baru bahkan rentan terjadinya perceraian. Alhasil ketahanan keluarga menjadi rapuh, hingga akhirnya melahirkan generasi yang lemah karena kurangnya ilmu dalam mendidik anak.

Sudah dipastikan, kita semua tidak menginginkan hal seperti itu terjadi. Membuat kebijakan tanpa adanya dukungan sistem tepat hanya upaya sia-sia.

Bagaimana mungkin meminimalkan pernikahan dini, jikalau pergaulan bebas masih diberi ruang hingga kini. Tak ada sanksi bagi siapa saja yang melakukan seks bebas, karena atas dasar hak asasi manusia jadinya semua bebas. Jangan ditanya soal konten pornografi dan pornoaksi, karena akses untuk mendapatkannya pun difasilitasi.

Padahal, sejatinya yang dibutuhkan bukan larangan menikah dini dan dispensasi nikah. Tetapi lebih dari itu. Karena, terlepas dari fenomena maraknya kasus remaja hamil duluan sebelum menikah, sehingga yang menjadi fokus perhatian adalah mengapa hal itu bisa terjadi. Olehnya itu dibutuhkan sistem yang mampu menuntaskan segala persoalan yang terjadi di kalangan remaja.

Islam Solusi Tuntas

Islam merupakan seperangkat aturan yang sempurna dan paripurna. Di dalam menyelesaikan persoalan di atas, maka Islam memiliki sistem ijtima’i (sistem pergaulan) yang mengatur pergaulan di tengah-tengah masyarakat.

Tak ada pelarangan nikah dini, bahkan dianjurkan untuk menyegerakan pernikahan. Ketika seseorang yang sudah baligh tetapi belum mampu untuk menikah maka disunnahkan untuk berpuasa dalam menjaga kemaluan dan pandangannya. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda.

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya” (HR. Bukhari no. 5056, Muslim no. 1400).

Bahkan dalam urusan pernikahan ketika seorang pemuda yang sudah siap secara fisik dan mental tetapi tak punya biaya untuk menikah, maka tanggung jawab negara untuk menikahkan.

Di satu sisi, negara mengatinsipasi bahkan memblokir situs-situs pornografi atau hal-hal yang dapat memicu hasrat seksual muncul.

Sehingga, tak ada ruang bagi pikiran untuk memikirkan hal-hal negatif karena secara bersamaan negara hadir dalam memberikan pendidikan yang Islami, yang mampu melahirkan generasi yang cerdas dan bertaqwa.

Adanya batasan-batasan dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom merupakan bentuk penjagaan Islam kepada manusia. Diantara batasan-batasannya yaitu sebagai berikut :

1) Tidak melakukan hal-hal yang akan mendekatkan kepada perbuatan zina, sebagaimana Allah berfirman:

(وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَسَآءَ سَبِيلٗا)

“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.”
(QS Al-Isra’:32)

2) Tidak saling memandang satu sama lain yang dapat menimbulkan fitnah, (QS An Nur : 30-31)

3) Tidak berdua-duaan (khalwat) di tempat yang kosong kecuali ada mahramnya. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

(لا يخلُوَنَّ رجلٌ بامرأة إلا ومعها ذو محرم) متفق عليه.

“Tidak boleh berdua-duaan seorang lelaki dengan perempuan kecuali dengan mahramnya”(Muttafaq alaihi).

4) Tidak mengucapkan perkataan-perkataan yang dapat menimbulkan fitnah bagi lawan jenis. (QS Al-Ahzab : 32)

Masih banyak lagi dalil-dalil yang mengatur batasan pergaulan. Sungguh Islam hadir untuk menjaga akal dan mengatur pemenuhan gharizah nau’ itu.

Tidak sampai di situ, Islam memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku seks bebas dengan memberikan efek jera.

Sistem sanksi dalam Islam memiliki dua fungsi, yakni sebagai zawajir dan jawabir. Zawajir adalah kedudukan sanksi sebagai pencegah tindak kejahatan. Jawabir adalah fungsi sanksi sebagai penebus dosa bagi pelakunya kelak pada Hari Kiamat.

Bahkan pemenuhan akan kebutuhan dasar seperti kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan), pendidikan, kesehatan dan keamanan pun akan terjamin. Sehingga alasan menikahkan dini anak karena keadaan ekonomi yang sulit tak akan terjadi. Pemahaman para orangtua tentang anak adalah beban tak akan ditemukan.

Malahan orangtua akan dengan sungguh-sungguh mendidik anak-anaknya, serta memberikan bekal yang cukup sebelum memasuki bahtera rumah tangga. Tak lain, bekal ilmu yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-sunnah.

Alhasil, ketahanan keluarga pun akan semakin kuat, karena faktor yang mendasari ikatan pernikahan adalah semata-mata karena ketundukan terhadap syariat dan ingin mendapatkan ridho Allah SWT.

Dengan demikian, untuk mewujudkan itu semua perlu adanya integrasi dari segala bidang. Dan semua akan bisa terlaksana ketika syariat Islam diterapkan dalam naungan Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam Bish-Showab.[]

*Aktivis Muslimah Papua

Comment