BLT Pegawai Kebijakan Blunder, Mengundang Segudang Masalah

Opini534 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pandemi belum juga berakhir, ini semakin membuat pertumbuhan ekonomi kian merosot sehingga membuat pemerintah mengambil langkah kebijakan untuk mengatasinya.

Ketua Satgas PEN, Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa Pemerintah melalui Satuan Tugas (Satgas) Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), berencana akan mengucurkan dana bantuan (BLT) bagi karyawan swasta non-PNS dan non-BUMN bergaji di bawah Rp5.000.000 per bulan.

Dana tersebut bisa mencapai total Rp33,1 triliun. Diman para pekerja akan mendapatkan bantuan sebesar Rp 600 ribu per bulan, kepada pegawai swasta dengan gaji di bawah Rp 5 juta per bulan yang akan cair dua bulan sekali dan akan ditransfer ke rekening para pekerja secara dua tahap, yaitu pada kuartal ketiga dan keempat 2020, Rp600.000 per bulan selama empat bulan yang langsung ditransfer ke rekening para pekerja secara dua tahap, yaitu pada kuartal ketiga dan keempat 2020.

BLT ini akan disalurkan kepada kurang lebih 13,8 juta pekerja yang dirumahkan ataupun gajinya dipotong dan masih terdaftar aktif membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan.

Namun ada yang aneh dari penyaluran BLT, dan menjadi pertanyaan, mengapa pernyataan BLT yang akan disalurkan hanya kepada pekerja yang masih terdaftar aktif membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan’?

Seperti yang kita tau, bahwa para pekerja yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan adalah orang-orang yang belum di-PHK, masih membayar iurannya, dengan pendapatan ekuivalen di bawah Rp5.000.000, dan sebagian besar di antara mereka berpendapatan antara Rp2.000.000-Rp3.000.000 per bulan.

Terus bagaimana nasib para pekerja yang ekonominya sulit tapi tak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan akibat terkena PHK, dirumahkan, habis kontrak, dan tak terdata Kementerian Ketenagakerjaan?

Maka hal ini dapat dipastikan pengambilan data lewat BPJS Ketenagakerjaan bermasalah, karena menurut Bappenas, Selasa (28/7/2020) saja, tambahan pengangguran mencapai 3,7 juta.

Dengan data BPS per Februari 2020 sebanyak 6,88 juta, dapat diperkirakan pengangguran mencapai 10,58 juta .

Sementara data dari whitelist Kemnaker mencatat penganggur mencapai sekitar 1,7 juta. Belum juga ditambah catatan dari data BPJS Ketenagakerjaan yang per Januari 2019 hanya mencatat 2,4 juta pekerja informal yang terdaftar, padahal potensinya 60 juta.

Maka tidak heran jika publik menilai kebijakan BLT bagi pegawai swasta merupakan kebijakan blunder dan menuai berbagai pendapat dari sejumlah pakar dan pengamat ekonomi.

Mereka menyayangkan karena kebijakan yang diambil pemerintah bukan solusi dalam menghadapi resesi ekonomi yang akan segera terjadi, bahkan bisa jadi ini berpotensi memunculkan masalah baru

Seperti yang disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, dalam konferensi pers virtual, Kamis (6/8/2020), yang menilai BLT untuk pekerja berupah Rp5.000.000 juta ini akan sia-sia.

Ia juga mengatakan alih-alih untuk konsumsi, BLT malah akan disimpan untuk keperluan mendesak di masa depan. Karena kemampuan finansial para pekerja masih memadai.

Jadi seharusnya yang layak mendapat BLT, dan yang lebih membutuhkan konsumsi harian adalah para korban PHK dan pekerja harian seperti, para pedagang kaki lima, petani, dan lain sebagainya.

Karena mereka jelas- jelas tidak memiliki penghasilan yang pasti untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Apalagi bagi korban PHK dengan kondisi pandemi ini, mereka sulit untuk mendapat pekerjan.

Dari sini pemerintah setengah hati dalam mengurus kebutuhan rakyatnya. Sikap pemerintah kental sekali dengan perhitungan nilai ekonomi, ketika dihadapkan pada kondisi melayani rakyatnya, pemerintah tidak serius mencari jalan keluar atas persoalan yang dihadapi rakyat.

Ini adalah akibat dari sistem yang diterapkan pemerintah saat ini adalah sistem kapitalis, dimana bukan menyelesaikan masalah tatapi menimbulkan masalah baru, keadilan menjadi sesuatu yang sulit didapat bagi rakyat yang merasakan dampak ekonomi akibat pandemi.

Berbeda dengan islam, islam adalah ideologi yang mempunyai segudang solusi dalam setiap problematika kehidupan. Dalam islam negara adalah pihak yang bertanggungjawab pada setiap kebutuhan pokok warganya, yakni kesehatan, pendidikan dan kebutuhan pangan secara layak pada setiap individu.

Dalam Islam, salah satu tugas dari kepala negara adalah mencari tahu apakah masih ada orang yang berhak yang tidak terdata atau bahkan mereka tidak mau menunjukkan kekurangannya. Yang bertujuan agar setiap bantuan yang diberikan tepat sasaran dan merata.

Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya yang artinya: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta-minta karena ia memelihara dirinya dari perbuatan itu.” (QS Adz Dzariyat: 19).

Hal ini pernah terjadi padabmasa pemerintahan Umar bin Abdul Azis, cucu dari Umar bin Khaththab ra. Sejak diangkat menjadi Khalifah, setiap sampai di rumahnya, ia langsung sujud di ruang khususnya, sambil bercucur air mata, ucapnya, “Ya ummati. Ya ummati.”

Setiap kebijakannya ialah maslahat bagi rakyat, tanggung jawab sebagai Khalifah mengharuskan untuk langsung turun ke tengah masyarakat dengan diam-diam demi memastikan segala kebutuhan mereka terpenuhi.

Hal itu dilakukan untuk mengetahui kondisi rakyat dan menjadi bahan kebijakannya karena keadilan harus tegak demi kehidupan rakyat.

Karena baginya seorang pemimpin tidak boleh membuat rakyat susah. Saat rakyat hidup miskin, pemimpin harus tampil menjadi pembela.

Inilah yang akan terjadi jika rakyat hidup dalam pengurusan sistem Islam, keadilan dan sejahtera yang ada, karena ini bukan menjadi barang mewah yang sulit didapatkan dalam sistem kapitalis.

Jadi solusi untuk menangani masalah pertumbuhan ekonomi saat ini, adalah dengan menerapkan sistem Islam bukan sistem kapitalis.

Dengan diterapkan hukum Islam secara sempurna saja seluruh persoalan akan bisa diatasi dengan tepat. Wallahu A’lam bishshawab.[]

*Mahasiswi IAIN Jember

Comment