Suratiyah*: Indonesia Krisis Pangan. Lho Kok Bisa?

Opini608 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA. – “Orang bilang tanah ini tanah surga

Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”

Penggalan lagu Yok Koeswoyo yang dinyanyikan grup Koes Plus di tahun 1970-an tersebut menggambarkan betapa suburnya negeri ini. Sehingga membuat penduduknya sejahtera. Hampir semua tanaman yang ditanam berhasil, sehingga para petani pun bahagia.

Namun apakah saat ini penggalan lagu tersebut nyata di negeri ini? Pasalnya, kebanyakan para petani menganggur bahkan ketika Indonesia mendapatkan informasi dari FAO (organisasi pangan dan pertanian), bahwa akan ada krisis pangan di masa pandemi.

Hal ini membuat Presiden Jokowi mencari program untuk menghindari krisis pangan dan  memperingatkan kepada para menteri agar memperhatikan stok pangan. Yaitu membentuk program food estate atau lumbung padi di Kalimantan Tengah seluas 1 juta Hektare. (detik finance, 5/07/2020)

Rencana pun akhirnya disambut tangan terbuka oleh para menteri. Salah satunya adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Bahkan, Prabowo Subianto juga diperintah oleh Presiden Joko Widodo untuk memimpin food estate di lahan gambut Kalimantan Tengah.(medcom.id, 19/072020)

Yang menjadi pertanyaan, kenapa harus mengolah lahan gambut menjadi solusinya. Padahal di tahun-tahun sebelumya belum menuai hasil yang nyata.

Seperti yang dilakukan dalam program food estate Presiden Soeharto. Lahan gambut seluas 1 juta Ha tahun 1996-1997. Selain pak Soeharto, hal ini juga dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membuka lahan gambut seluas 100 ribu Ha, 300 ribu Ha di Bulungan.

Atas dasar inilah program food estate menjadi polemik, salah satunya Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan mengingatkan kepada Presiden Jokowi agar berhati-hati dan melakukan kalkulasi terlebih dahulu sebelum bertindak.

Padahal lahan yang siap ditanami pun luas, di antaranya Jawa, Sumatera dan yang lain. Selain itu jumlah petani pun luar biasa. Sedangkan buka lahan gambut waktunya lumayan panjang, hasilnya belum pasti sebab kegagalan demi kegagalan sudah dialami  presiden-presiden sebelumnya.

Inilah bukti bahwa pemerintah tidak serius dalam menyejahterakan rakyatnya.

Bahkan negeri yang subur makmur kerto tentrem raharjo tersebut tidak berarti apa-apa. Yang lebih miris, di negeri yang subur ini pemerintah melakukan impor pangan. Salah satunya beras. Menurut data BPS hampir setiap tahun tidak pernah absen dalam pengimporan. Jumlahnya pun tidak sedikit sampai jutaan ton beras. (CNBC Indonesia, 10/1/2019)

Impor inilah yang menjadi penyebab para petani lesu. Sebab masyarakat lebih memilih barang impor daripada barang lokal. Di samping harganya murah, kualitas barang pun bagus, sehingga impor tidak bisa dihentikan sebab permintaan di masyarakat lumayan banyak.

Seharusnya hal ini, menjadi permasalahan yang serius, sebab rakyat lama kelamaan akan mengubah tanah persawahan menjadi perkebunan akibat kalah saing dengan impor. Otomatis jika hal ini terjadi,

Ketika ada wabah seperti saat ini, kelangkaan bahan pangan sulit dihindari. Akibat sudah menjadi ketergantungan dengan impor.

Seharusnya dengan adanya pemberitahuan dari FAO tersebut menjadi pelajaran penting  pemerintah. Bahwa saat ini harus meninggalkan ekonomi liberalis dan mengambil sistem yang lain. Sehingga rakyat akan sejahtera. Apalagi semboyan negeri ini, negeri yang subur kekayaanya melimpah ruah.

Maka dengan adanya modal semboyan tersebut jika mengambil sistem yang lain, negeri ini akan menjadi negeri yang maju. Bahkan jadi negara raja ekspor bukan raja impor.

Sistem tersebut tidak lain adalah sistem Islam. Dalam Islam pengaturan pertanian berada pada pundak khalifah. Mulai dari hulu hingga hilir. Sebab, kedudukan khalifah adalah sebagai raa’in atau junnah bagi rakyatnya. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. :

“Imam (khalifah) adalah raa’in pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad, Bukhari)

Karena khalifah adalah perisai bagi rakyatnya, maka segala urusan rakyat menjadi tanggung jawab khalifah. Bukan urusan rakyat diserahkan kepada korporasi. Dengan adanya korporasi, maka urusan rakyat tersebut pasti dibisniskan. Hal ini tentu diharamkan oleh Islam.

Oleh karena itu pertanian harus dikelola dengan sistem Islam. Ada beberapa konsep yang dilakukan oleh khalifah dalam sistem Islam. Yaitu, lahan adalah modal pertanian. Untuk itu, lahan dan pengelolaannya harus dijalankan dengan baik.

Di antaranya bagi siapa saja yang mampu mengelola tanah, maka tanah menjadi miliknya. Namun bagi siapa saja yang malas, maka tanah tersebut bukan menjadi miliknya.

Hal ini adalah jika seseorang mempunyai tanah dalam tiga tahun dibiarkan, maka hak milik tanah tersebut akan hilang. Kemudian diambil oleh negara, dan negara menawarkan kepada siapa saja yang mampu mengelolanya. Inilah terkait hukum menghidupkan tanah yang mati.

Sesuai sabda Rasulullah saw “siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan menjadi hak orang lain. Maka dialah yang lebih berhak atas tanah tersebut.” (HR Bukhari)

Mengenai larangan menelantarkan lahan lebih dari tiga tahun, adalah berdasarkan ijmak sahabat berdasarkan kebijakan Khalifah ‘Umar bin Khaththab ra. Beliau mengatakan “Orang yang memagari tanah tidak berhak lagi atas tanah tersebut setelah menelantarkannya selama tiga tahun.”

Agar lahan pertanian produktif, negara harus ikut berperan aktif. Yaitu dengan cara memberi atau meminjamkan modal pada petani.

Namun bukan dalam bentuk ribawi. Selain itu, menyediakan teknologi dengan cara mendorong PT untuk memproduksi bibit yang unggul dan menyediakan berbagai teknologi yang dibutuhkan petani. Untuk memaksimalkan pengolahan lahan pertanian, khalifah mengambil dana dari baitulmal.

Khalifah tidak hanya mendukung produktivitas tapi juga mengawasi pemasaran. Sehingga praktik riba, penipuan, penimbunan, komersialisasi dapat dihindari.

Oleh karena itu hanya dengan penerapan Islam secara kafah dalam bingkai khilafah ala minhaj nubuwah yang akan menerapkan semua ini. Sehingga krisis pangan dapat dihindari dan kesejahteraan rakyat yang diidam-idamkan akan terwujud nyata. Wallaahu a’lam bishawaab.[]

*Member AMK

Comment