RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Dalam rapat paripurna yang digelar pada September 2019 lalu DPR telah mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi Undang-Undang.
Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa batas usia minimum usia pernikahan diubah dari 17 tahun menjadi 19 tahun. Pemerintah menilai tingginya angka perceraian disebabkan perkawinan anak.
Hal ini dikarenakan anak-anak tersebut belum matang secara fisik, mental, dan spiritual. Perkawinan anak juga berdampak buruk pada kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Perkawinan anak juga sering memunculkan KDRT dikarenakan emosi yang belum stabil. Dengan adanya revisi Undang-Undang dan beberapa alasan-alasan tersebut jelas mempersulit remaja usia dibawah standart versi pemerintah untuk menikah walaupun mereka sebenarnya sudah siap dari segi apapun.
Namun di sisi lain, pemerintah dalam PERMA No 5 Tahun 2019 memberikan izin adanya dispensasi perkawinan. Dispensasi yang dimaksud adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah meskipun usianya belum mencapai batas minimal 19 tahun.
Prinsipnya seorang laki-laki dan perempuan diizinkan menikah jika ternyata keadan menghendaki meskipun keduanya masih belum mencapai usia yang dimaksud. Pasal 7 ayat 2 UU Perkawinan yang baru juga menegaskan bahwa dispensasi nikah dapat diberikan atas alasan yang mendesak.
Alasan mendesak yang dimaksud adalah keadaan tidak adanya pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan pernikahan.
Dari regulasi kebijakan melalui UU Pernikahan 1974 tentang pembatasan usia minimal pernikahan, yang kemudian dilengkapi dengan PERMA 2019 tentang dibolehkannya dispensasi pernikahan diatas diharapkan menjadi solusi agar hukum negeri ini tidak terkesan sebagai hukum yang kaku dan kolot. Namun apakah faktanya demikian?
Ternyata dari kedua kebijakan hukum diatas justru memunculkan celah perzinahan para remaja agar mendapat dispensasi pernikahan dikarenakan alasan hamil duluan.
Menurut Penitera PA di Bojonegoro Solikin Jamik, hingga bulan April 2020 ada 202 perkara dispensasi, biasanya faktor hamil duluan sehingga terpaksa pernikahan dikabulkan (blokbojonegoro.com).
Sedangkan angka pernikahan dini di Jepara mencapai 52,12% dikarenakan hamil duluan (m.detik.com). Fakta ini di dapati masih dari dua kota saja. Fenomena yang sangat disayangkan. Walaupun demikin pemerintah juga tidak mengharapkan kejadian seperti ini.Lalu siapa yang akan bertanggung jawab atas kejadian ini?
Sebagai pemerintah yang bertugas sebagai periayah umat seharusnya jeli dan harus dengan cepat segera menyelesaikan problematika ini. Sehingga beberapa kebijakan yang tidak solutif atau yang bahkan memicu memunculkan permasalahan yang lain bisa segera diselesaikan.
Menarik untuk diperhatikan bahwasanya permasalahan ini bisa diselesaikan dengan melibatkan semua elemen.
Pertama, faktor keluarga. Karakter dalam pembentukan seorang individu akan tertanam semenjak kecil dari keluarga. Sehingga peran keluarga disini sangat penting untuk menanamkan rasa tanggung jawab, percaya diri, sikap kepemimpinan dan taat pada agama. Baik anak laki-laki maupun perempuan dijelaskan perannya sesuai jenis kelaminya dalam menghadapi usia baligh.
Kedua, faktor sekolah dan lingkungan. Pembentukan karakter yang dibangun oleh keluarga hendaknya dibarengi dengan kurikulum pendidikan di sekolah. Tidak hanya dibekali ilmu pengetahuan alam saja namun juga dengan ilmu agama agar terarah prestasi kehidupannya. Sehingga remaja tidak mudah untuk menghancurkan masa depannya dengan berzina atau kenakalan remaja lainnya. P enanaman karakter taat beragama disekolah dibarengi dengan sekolah akan membuat suasana pergaulan remaja jauh dari kenakalan yang ada hanya ketaatan bersama.
Ketiga, faktor pemerintah. faktor pertama dan kedua tentunya tidak akan berjalan lancer tanpa adanya peran penguasa dalam menentukan regulasi. Remaja tidak akan berulah ketika video berunsur pornografi tidak berkeliaran di media sosial, remaja tidak akan berulah jika sinetron bertema pacaran dan tawuran tidak tayang di televisi. Maupun konten-konten yang memunculkan celah kerusakan remaja.
Dari sini dapat kita tarik benang merah bahwasanya usia tidak bisa dijadikan batasan untuk sebuah pernikahan yang ideal. Karena penyumbang tingginya perceraian bukan hanya dari kalangan usia anak remaja namun usia dewasa juga tak kalah hebatnya.
Dalam hal ini, yang terpenting adalah pemahaman dan pengkomdisian lingkungan bagaimana mempersiapkan mereka menuju kedewasaan dalam tanggung jawab mereka dimasa depan baik dalam hal pernikahan maupun cita-cita mereka.[]
Comment