RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Meski di tengah pandemi, bukan berarti idul adha jadi hilang esensi. Sukacita kaum muslimin seluruh dunia menyambutnya, mempersiapkan diri diawali dengan puasa arafah satu hari sebelumnya. Idul adha senantiasa mengingatkan kita bagaimana gambaran sejatinya sebuah pengorbanan.
Nabi Ibrahim AS yang diberi julukan sebagai Al-Khalil (kekasih) Allah SWT telah membuktikan pengorbanan yang sempurna tanpa tapi, tanpa nanti.
Pelajaran yang bisa kita petik dari pengorbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS dan putranya Ismail AS adalah pengorbanan kaffah (totalitas), bukan setengah-setengah.
Bukan hanya harta, bahkan nyawa putra semata wayangnya, dipersembahkan dengan penuh keyakinan. Mengambil secara keseluruhan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT sebagai bukti kecintaan yang membuahkan ketaatan. Kecintaan kepada Dzat yang lebih dicintai dari apapun.
Cinta, ketaatan dan pengorbanan Ibrahim kepada Allah SWT ini kemudian diteruskan secara sempurna, bahkan dengan kadar yang istimewa oleh Rasulullah saw. Bukan hanya cinta dan taat. Bahkan beliau pun siap mengorbankan segalanya, termasuk nyawa sekalipun, demi tegaknya agama Allah SWT.
Fenomena sekarang, masih pada aspek pelaksanaan ibadah kurban saja, tapi belum menyentuh pelajaran berharga yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana harusnya implementasi pengorbanan yang kaffah itu?
Pengorbanan yang total (kaffah), siap mengorbankan apapun yang dimiliki demi kecintaan kepada Ilahi, demi tegaknya hukum Allah SWT di muka bumi. Sebagaimana fakta yang tersuguh di depan mata kita, hukum islam masih dipilih dan dipilah disesuaikan dengan hawa nafsu manusia.
Sekulerisme yang lahir dari ideologi kapitalisme tampaknya telah mendarah daging dalam diri kaum muslimin, sehingga mengambil islam dari aspek hablun minallah (hubungan manusia dengan Allah) dan hablun min an-nafsi (hubungan manusia dengan diri sendiri) tapi enggan untuk menerapkan islam dari aspek hablun min an-nas (hubungan manusia dengan manusia yang lainnya).
Akibat dicampakkan hukum Allah dalam aspek hablun min an-nas ini, kenistaan melanda kaum muslimin baik di dalam maupun di luar negeri.
Dihantam pandemi Covid-19 sudah karut-marut menuju jurang kemiskinan yang tak terkendali. Krisis pangan dan kelaparan menjadi kesengsaraan massal. Nyatanya hukum buatan manusia yang lahir dari sistem kapitalisme tidak mampu mengatasi pandemi.
Untuk membuktikan cinta hakiki kepada Ilahi, maka selayaknya kita berusaha mengembalikan hukum islam sebagai aturan kehidupan. Islam sebagai agama paripurna membawa rahmat bagi alam semesta, hukum-hukum universalnya mampu mengayomi baik muslim maupun non muslim. Sebagaimana pernah terealisir dari masa Kenabian Muhammad SAW hingga masa Turki Utsmani.
Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, mengembalikan islam sebagai aturan hidup membutuhkan pengorbanan yang kaffah.
Siap mengorbankan waktu, tenaga, pikiran bahkan nyawa sebagai taruhannya. Perjuangan yang cukup berat, membongkar segala kedholiman dan membentuk kesadaran politik di tengah-tengah umat harus totalitas bukan setengah-setengah. Hanya jiwa-jiwa yang kuat yang mampu mengampu.
Kewajiban besar ini tidak hanya untuk ulama, kyai, ustadz dan ustadzah. Tapi fardhu kifayah untuk seluruh kaum muslimin, jika belum ada yang berhasil menegakkannya, jadilah fardhu kifayah ini menjadi fardhu ain.
Dengan demikian membutuhkan pengorbanan yang kaffah. Demi mewujudkan ketaatan yang sempurna kepada-Nya. Kebahagiaan dunia dan akhirat akan mudah didapat jika taat itu sempurna, baik individu, masyarakat dan negara.
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa melepas tangannya dari ketaatan, maka ia akan menemui Allah di hari kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah, dan barang siapa mati sedang dipundaknya tidak ada bai’at, maka ia mati seperti mati jahiliyah.” (HR. Muslim no.4899). Wallahu a’lam bi ash-showab.[]
Comment