RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pendidikan adalah hal yang perlu diutamakan bagi suatu negara. Generasi yang unggul tak akan jauh dari kualitas bermutu. Pandemi covid-19 yang masih merongrong dunia, bahkan negeri Indonesia menyebabkan pembelajaran dilakukan secara daring. Kegiatan ini sudah berlangsung hampir 5 bulan.
Kebijakan Mendikbud dengan pembelajaran yang dilakukan secara daring, karena penyebaran virus covid-19 yang terus meningkat. Kondisi penyebaran virus sangat rentan sekali tertular kepada anak-anak sehingga, sekolah belum dibuka dan dilangsungkan secara tatap muka demi keselamatan.
Pendidikan harusl dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Namun, akibat pendidikan sekolah dilakukan dari rumah dengan pembelajaran daring ini membuat rakyat perkampungan terhambat, terutama jika kampung tersebut terisolir, tak ada sinyal, atau bahkan tak memiliki telepon seluler.
Ini terjadi di Kaampung Todang Ili Gai, Desa Hokor, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, Provinsi NTT menjadi salah satu wilayah yang terisolir dari berbagai akses kehidupan saat ini. Warga disana sangat memprihatinkan. Akses jalan yang berbukit, tak ada listrik, bahkan tak ada jaringan telekomunikasi.
Maka, seperti dikutip laman liputan6.com (25/7/2020), pemerintah setempat mengambil kebijakan pembelajaran dengan radio selama pandemi covid-19. Namun nyatanya, warga di sana tak mampu membeli radio, karena penghasilannya tak mencukupi. Sehingga pembelajaran menjadi terhambat.
Berdasarkan riset terbaru dari Inovasi terhadap 300 orang tua siswa sekolah dasar di 18 kabupaten dan kota di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Utara (Kaltara), dan Jawa Timur, hasilnya terjadi ketimpangan pembelajaran saat covid-19./tersebut. Hanya sekitar 28% anak yang sanggup belajar menggunakan media daring. Sisanya tidak ada pembelajaran sama sekali selama siswa diminta belajar dari rumah. (merdeka.com/26Juli)
Faktanya, pendidikan melalui media daring belum terakses secara keseluruhan. Terutama yang tinggal di daerah terpencil. Berbeda dengan anak yang tinggal di kota dan orang tua bekerja sebagai karyawan swasta/BUMN tentu sangat mudah mengakses pembelajaran daring.
Artinya masih terjadi ketimpangan perihal fasilitas pendidikan di negeri ini.
Selain itu, orang tua dikeluhkan dengan kuota internet yang melonjak. Dalam sebulan saja bisa menghabiskan hingga 10GB hanya untuk pembelajaran anak. Berarti pengeluaran semakin bertambah, sedangkan pemasukan tetap saja. Lebih besar pasak daripada tiang.
Orang tua dibuat pusing bukan kepalang. Sudah harus mendampingi anak belajar di rumah, dibebankan pula dengan akses internet yang terbilang sulit. Sungguh kondisi ini menjadi beban yang bertingkat dikala pandemi. Boleh dibilang, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Seyogianya, pemrintah lebih memperhatikan kondisi terburuk ketika pembelajaran dilakukan secara daring. Anak-anak Indonesia tetap harus mendapatkan akses pendidikan yang layak terutama saat pandemi.
Di luar pandemi danvwabah virus corona faktanya, pendidikan negeri ini memang belum merata. Faktor biaya dan akses jalan mendominasi penyebabnya. Belum lagi fasilitas ruangan, alat-alat sekolah, dan tenaga pendidik menjadi penambah persoalannya.
Memang negeri ini baru mampu mengedepankan pendidikan di kota dengan meningkatkan kualitas dan segala aspek pendukung tanpa batas sementara daerah pedesaan, sangat tertinggal baik dari segi akses yang sulit dan sarana dan prasarana pendukung lainnya.
Pemerintah dapat menggunakan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk membantu membeli sarana dan prasarana sekolah atau diberikan secara gratis tanpa dipungut biaya sedikit pun. Itulah yang terjadi pula pada sistem pendidikan dalam Islam.
Akses Pendidikan dalam Islam
Islam sangat menjamin pendidikan bagi setiap rakyatnya. Tidak ada perbedaan satu sama lain. Semua diberikan secara merata dan gratis, karena hal ini merupakan kebutuhan sosial yang sangat primer dan wajib disediakan oleh negara (baca: penguasa).
Artinya negara wajib memastikan agar pendidikan berjalan sesuai kebutuhan dengan menjamin akses yang mudah didapat setiap rakyat, mulai dari biaya, jarak, dan fasilitas sarana dan prasarana.
Tentu saja untuk mewujudkan akses pendidikan bagi semua rakyat bukan hal yang mudah dan murah. Setiap kegiatannya harus dilengkapi dengan sarana fisik yang mendorong terlaksananya program dan kegiatan tersebut sesuai dengan kreativitas, daya cipta, dan kebutuhan.
Sarana itu dapat berupa buku-buku pelajaran, sekolah/kampus, asrama siswa, perpustakaan, laboratorium, toko-toko buku, ruang seminar-audiotorium tempat dilakukan aktivitas diskusi, majalah, surat kabar, radio, televisi, kaset, komputer, internet, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, majunya sarana pendidikan dalam kerangka mencerdaskan umat menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya. Seperti yang dicontohkan ketika zaman keemasan khilafah Islam dahulu (Al-Baghdadi, 1996), negara memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk melanjutkan tahap pendidikan yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) yang disediakan negara.
Maka, sudah saatnya pemerintah lebih optimal dalam hal akses pendidikan. Dikarenakan pertarungan melawan pandemi covid-19 adalah pertarungan jangka panjang. Tugas negara adalah memastikan bahwa setelah badai reda, tak satu pun anak yang tertinggal karena kondisi ini. Wallahu’alam bi shawab.[]
*Ibu Rumah Tangga
Comment