RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat dalam sistem Demokrasi hanyalah sebatas jargon yang tak bisa mewujud nyata.
Keterwakilan kepentingan rakyat dalam sistem merupakan sesuatu yang nonsen. Berharap rakyat sejahtera merupakan sesuatu yang hingga saat ini tak dapat diwujudkan dalam demokrasi.
Maka, wajar jika J. Kristiadi, Penulis Senior for Strategic of International Studies (CSIS) mengungkapkan bahwa demokrasi cacat sejak lahir. (www.beritasatu.com/nasional/176394).
Dalam Demokrasi, merupakan hal yang mustahil bila ribuan orang terpilih mewakili kepentingan ratusan juta rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan. Dalam sistem ini, justru meniscayakan munculnya sistem politik dinasti. Dimana politik jenis ini , berkait erat dengan oligarki politik.
Hal itu senada dengan pendapat akademisi Universitas Gajah Mada, Kuskrido Ambardi, dalam diskusi akhir tahun Fisip UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurutnya, munculnya politik dinasti dapat memudahkan kartel politik (oligarki politik) bergerak.. (www.rmolbanten.com/read/2019/12/18/13788).
Jelang Pilkada 2020, keluarga istana turut pertarungan dalam kancah politik. Kondisi ini didukung oleh legalisasi dari pihak Mahkamah Konstitusi (MK) tentang ketentuan pencalonan kepala daerah berasal dari keluarga petahana untuk maju sebagai kepala daerah.
Gibran Rakabuming, putra sulung Presiden Joko Widodo bersama Teguh Prakosa tahun ini maju sebagai calon Wali Kota Solo. Pasangan ini diusung oleh partai PDI Perjuangan. Sementara menantu Presiden Jokowi, Bobby Afif Nasution juga tak mau ketinggalan kereta politik ini.
Meski awalnya ia menepis adanya politik dinasti karena maju dalam pilkada 2020, tapi fakta membuktikan. Partai Golkar dan Partai Nasdem telah merestuinya untuk melangkah maju sebagai calon terkuat di kota Medan.
Masih dari keluarga istana, Siti Nur Azizah yaitu putri Ma’ruf Amin, sang wapres, namanya cukup bergaung saat digadang maju dalam Pilkada Tangsel 2020 oleh PKS. Bersanding dengan Ruhama Ben yang merupakan kader PKS. Azizah-Ruhama Ben telah menerima surat keputusan (SK) rekomendasi untuk maju pada Pilkada Tangsel dari Partai Demokrat. (www.megapolitan.kompas.com/read/2020/07/23/14515981).
Pengamat politik dan Direktur Eksekutif Indonesian Political Review, Ujang Komarudin menilai pencalonan keluarga Presiden di Pilkada berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Sebab, presiden memiliki semua sumber daya untuk bisa memenangkan anaknya, mulai dari kekuasaan, jaringan, birokrasi, hukum, finansial, dan lain-lain.
Dengan kesaktian, suara terbanyak juga mudah tergenggam. Mudah diraih dengan dana besar, ketenaran, atau pun pengaruh jabatan. Terlebih dalam komunitas masyarakat dengan angka kemiskinan yang tinggi. Karenanya, politik dinasti adalah buah yang pasti muncul dari sistem demokrasi kapitalis.
Politik Dinasti membawa bahaya bagi kemaslahatan masyarakat. Setidaknya dalam perkara berikut. Pertama, adanya pengebirian terhadap peran masyarakat dalam menentukan siapa pemimpin mereka.
Pilkada seakan hanya formalitas, sebab pemenangnya sudah bisa ditebak. Mereka adalah orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elite penguasa.
Bahaya kedua, munculnya peluang bagi orang yang tidak kompeten menempati posisi kekuasaan, Sebaliknya orang yang kompeten akan tersingkir. Akibatnya, pemimpin pejabat negara hasil dari politik dinasti berpeluang kurang kapabilitas dalam menjalankan tugas. Hal itu karena berada mereka berada di puncak kekuasaan hasil kongkalikong elite penguasa.
Bahaya berikutnya adalah peluang terjadinya korupsi. Adanya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha merupakan hal yang biasa ada dalam sistem demokrasi.
Terjadi simbiosis untuk menggabungkan kekuatan modal dengan kekuatan politisi. Adanya pembagian tugas antara kekuasaan politik dengan kekuasaan modal. Hal ini rentan untuk menimbulkan terjadinya korupsi.
Bila hendak menyingkirkan politik dinasti yang tidak membawa pada kesejahteraan bagi masyarakat, maka harus membuang sumber yang memunculkannya, yaitu demokrasi.
Islam dan Kepemimpinan
Memilih pemimpin sesuai syarat yang disyariatkan serta mendapat dukung penuh umat merupakan hal yang penting. Bukan dengan penunjukkan yang sifatnya turun temurun dalam sistem dinasti.
Umat memahami benar pada calon pemimpin terdapat ketakwaan serta kapasitas yang memadai dalam menjalankan seluruh perintah syariat. Kepemimpinan dalam Islam ditujukan untuk menegakkan agama dengan melaksanakan syariat Islam dan memenuhi kemaslahatan umat.
Kalifah Umar bin Khattab, terkenal dengan kepemimpinannya yang bersih, jujur dan pemberani.
Ada beberapa kaidah pokok yang telah diterapkan pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab dalam pemilihan calon pejabat publik. Pertama, mendahulukan orang yang berilmu dan menguasai bidangnya serta berakhlak baik. Kedua, adanya rasa belas kasihan dan kasih sayang terhadap rakyat. Lalu yang ketiga yakni tidak mengangkat pejabat publik dari keluarga atau kerabatnya. Nampak bahwa kepemimpinan Umar Bin Khattab menghindari praktek Nepotisme.
Dalam buku The Great Leader of Umar bin Al Khathab karya Dr. Muhammad ash-Shalabi dijelaskan bahwa Khalifah Umar selalu berusaha untuk tidak mengangkat pegawai dari kerabatnya sendiri walaupun dia memiliki kemampuan dan masuk Islam lebih dulu. Karena hal ini semata untuk menghindarkan praktek nepotisme yang bisa membuka pintu penyalahgunaan wewenang.
Standar dan kaidah-kaidah seperti inilah yang diterapkan dalam menyiapkan pemimpin dan kepemimpinan Islam. Di mana akan terlahir para penguasa amanah yang mempunyai kepekaan, kepedulian, kapabilitas dan sayang kepada rakyatnya.
Semua itu hanya bisa terwujud ketika Islam diterapkan secara kaffah. Wallahu a’lam bish shawab.[]
Comment