RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Malang nian nasib buruh di negeri ini. Kepada siapa mereka harus berlindung? Ancaman PHK, gaji minim, ketidakjelasan status, tidak adanya jaminan kesehatan adalah seputar masalah ketenagakerjaan yang melanda kalangan buruh atau pekerja.
Tak heran demo kalangan buruh selalu saja ada. Harapan tersebut agaknya susah diwujudkan oleh negara kapitalisme.
Padahal sudah demikian keras upaya yang dilakukan para buruh didukung masyarakat dan mahasiswa demi menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Sudah sejak awal tahun 2020 sebenarnya demo menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini disuarakan.
Bahkan hingga 16 Juli 2020 bertepatan dengan Rapat Paripurna DPR RI kelompok pendemo yang terdiri dari buruh, petani hingga mahasiswa masih menyerukan penolakan ini.
Secara umum penolakan terhadap RUU Ciptaker ini disebabkan karena dinilai merugikan masyarakat khususnya kaum buruh/pekerja.
Sebagaimana disebutkan bisnis.com (16/7/2020), ada beberapa aturan yang dianggap tak berpihak kepada pekerja yaitu :
a. Upah minimum kota atau kabupaten terancam hilang karena menjadikan UMP sebagai satu-satunya acuan besaran nilai gaji dan pekerja dirugikankarena nilai yang diterima jauh lebih rendah.
b. Besaran pesangon PHK berkurang karena pemerintah memangkas besaran pesangon yang wajib dibayarkan pengusaha jika melakukan PHK.
c. Penghapusan cuti haid bagi perempuan juga cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, istri melahirkan/keguguran kandungan hingga adanya anggota keluarga dalam suatu rumah tangga yang meninggal dunia.
d. Nasib outsourcing semakin tidak jelas karena aturan ini menghapus pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan yang sebelumnya mengatur tentang pekerja outsourcing.
e. Pekerja bisa dikontrak seumur hidup karena RUU Cipta Kerja ini bakal menghapus ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur tentang aturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Di antaranya berisi ketentuan PKWT hanya boleh dilakukan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun .
Di sisi lain, kalangan pengusaha berharap agar omnibus law segera disahkan karena RUU Ciptaker berpotensi membawa angin segera bagi iklim investasi dan berpotensi membuka lapangan kerja.
Ketua tenaga kerja dan jaminan social untuk asosiasi pengusaha Indonesia (APINDO) Aloysius Budi Santoso mengatakan bahwa pandemi covid-19 telah membawa dampak besar bagi perekonomian Indonesia sehingga dibutuhkan investasi yang cukup besar demi mendongkrak perekonomian Indonesia pascapandemi (Republika, 12/7/2020).
Budi juga mengatakan bahwa keberadaan Ombibus Law sangat diharapkan oleh pelaku usaha dan investor. Mereka optimis RUU ini akan membawa dampak postitif bagi masyarakat dan perekonomian negara.
Negara Membela Siapa?
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura mengatakan, Omnibus Law RUU Cipta Kerja hanya menitikberatkan pada kepentingan ekonomi.
Menurut Charles, tidak ada pertimbangan keadilan dan kesejahteraan sosial dalam rancangan undang-undang tersebut. Ia menilai kemudahan dalam aspek ekonomi yang diatur dalam RUU Cipta Kerja diberikan kepada pengusaha atau pemilik modal sementara kepentingan masyarakat justru terpinggirkan.
Kemudahannya bukan bagi warga negara yang minim akses terhadap sumber daya alam atau sumber daya ekonomi. Kemudahan diberikan justru kepada pemilik modal dan asing, dalam rangka mengundang investor lebih banyak (Kompas.com/06/03/2020).
Dalam hal ini terlihat ada dua pihak yang berseberangan yakni antara pengusaha dan pekerja. Permasalahan ketenagakerjaan antara buruh dan pengusaha jika tidak ditangani dengan baik maka berpotensi memunculkan konflik abadi di antara keduanya.
Pihak yang wajib mengurusi keduanya tentu saja negara, karena baik pengusaha maupun pekerja sama-sama rakyatnya. Negara tidak boleh berat sebelah alias tidak adil. Negara juga tidak boleh hanya sebagai pihak penengah konflik tetapi harus berdiri sebagai penyelesai konflik.
RUU Cipta Kerja memperlihatkan jika negara lebih mendengar aspirasi pengusaha dibandingkan harapan kaum buruh. Kaum buruh makin lemah terlebih mereka yang terdampak pandemi covid-19 yang harus kehilangan pekerjaan, biaya hidup yang terus naik, naiknya biaya listrik dan BPJS sementara jaring pengaman yang disiapkan negara juga tidak terdistribusi merata.
Belum lagi para buruh juga harus bersaing dengan buruh asing di lapangan kerja yang makin sempit, pajak di semua lini, dan makin tak terjangkaunya kebutuhan rumah, pendidikan berkualitas, dan kesehatan bagi seluruh keluarganya.
Dalam kapitalisme, jaminan kesehatan, pendidikan dan hari tua untuk buruh menjadi tanggungjawab pengusaha.
Di sisi lain, pengusaha selalu mempertimbangkan untung rugi. Jika bisa menekan biaya produksi di mana unsur di dalamnya termasuk gaji (upah), tunjangan kesehatan dan tunjangan hari tua pegawai, tentu ini yang mereka lakukan.
Alhasil segala hal yang berkaitan biaya yang dikeluarkan seperti pesangon PHK, gaji yang lebih rendah, cuti pegawai yang sama dengan hilangnya waktu kerja yang artinya rugi bagi pengusaha maka mereka tentu saja getol bersuara mendukung RUU Cipta Kerja.
Sementara negara yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan buruh sebagai bagian dari rakyatnya seolah mengalihkan tanggung jawab ini dengan lebih condong kepada tuntutan pengusaha untuk pengesahan RUU Cipta Kerja ini karena kepentingan yang sama untuk lepas dari tanggungjawab kepada buruh.
Karena bila tidak maka investor akan hengkang dan pindah usaha ke negeri lain. Revisi Omnibus Law terkesan dipaksakan segera selesai dan pengesahan bisa segera dilakukan, mengingat ada kebutuhan mendesak untuk memastikan iklim kondusif investasi demi penciptaan lapangan kerja massal.
Tentu saja, hal ini sangat tidak adil bukan? Sadarilah bahwa ketidakadilan ini disebabkan karena berlakunya sistem kapitalistik di negeri ini dan hal ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam.
Islam Wujudkan Keadilan
Kaum pekerja membutuhkan pengaturan ketenagakerjaan Islam yang mengeliminir terjadinya konflik antara pekerja dan pengusaha serta memberi solusi paripurna atas problem ketenagakerjaan.
Sesungguhnya Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan kebutuhan dasar individu melalui mekanisme bekerja di mana negara akan membuka lapangan pekerjaan dengan proyek-proyek produktif pengelolaan SDA yang ditangani oleh negara, bukan diserahkan pada investor.
Dalam Islam, ada dua model pengupahan yaitu upah berdasar manfaat kerja dan manfaat (kehadiran) orang. Pada model manfaat kerja, dimungkinkan upah dihitung berdasar jam kerja. Bila sebentar bekerja, tentu lebih sedikit upahnya dibanding yang jam kerjanya lebih lama.
Buruh maupun pengusaha dalam sistem Islam tidak perlu terbebani biaya pendidikan, kesehatan, dan keamanan karena semua ditanggung negara.
Negara menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan secara gratis dan berkualitas untuk semua warga negara, baik kaum buruh atau pengusaha. Sedangkan layanan transportasi, perumahan, BBM, dan listrik tidak akan dikapitalisasi karena dikelola negara dengan prinsip pelayanan.
Dalam Islam tidak ada pajak mencekik. Islam tidak membenarkan memungut pajak kecuali dalam keadaan yang dibolehkan syariat. Hanya ada zakat untuk mereka yang memiliki harta sejumlah nishab.
Di dalam sistem inilah nampak keadilan penguasa baik terhadap pekerja maupun pengusaha. Inilah sistem yang hari ini dibutuhkan kaum buruh, yang menghadirkan peran negara secara utuh untuk menjamin terpenuhinya hajat asasi rakyat.
Bukan hanya hadir untuk meregulasi hubungan harmonis tanpa konflik antara buruh dan pengusaha.[]
*Dosen
Comment