Ainul Ma’rifah, S.Si*: Saifuddin Qutuz dan Negeri Tanpa Pajak

Opini662 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Eksistensi berdirinya sebuah negara tak akan pernah terlepas dari dua aspek yang paling berpengaruh, yakni aspek politik dan aspek ekonomi. Salah satu bagian terpenting dalam aspek ekonomi adalah sistem keuangan negara.

Sistem keuangan yang baik sangat memengaruhi eksistensi atau keberlangsungan suatu negara.

Negara yang menganut sistem sekuler kapitalis termasuk Indonsia, sistem keuangan yang diterapkan sebagai sumber pendapatan negara adalah pajak, yakni pungutan wajib yang harus dibayarkan oleh penduduk kepada negara sebagai sumbangan wajib.

Dilansir dari website Menteri Keuangan.go.id, Menteri Keuangan Sri Mulayani mengatakan bahwa pajak merupakan tulang punggung nasional. Ia menjelaskan tentang peranan penting dan perlunya partisipasi dari semua pihak untuk turut menyukseskan tidak hanya amnesti pajak, tetapi juga kepatuhan membayar pajak dalam rangka menjaga kedaulatan negara Indonesia. Ia juga menegaskan bahwa pembangunan di Indonesia dari APBN sebesar 75% nya ditopang oleh pajak.

Karena sumber keuangan terbesar adalah pajak, tak heran jika obyek yang mendapat beban pajak makin diperluas. Dari mulai isu pedagang online yang wajib mempunyai NPWP hingga muncul wacana terbaru dari Dirjen Perhubungan Darat Kementrian Perhubungan Budi Setyadi bahwa pemerintah bakal menarik pajak sepada.

Menurut beberapa pengamat politik, wacana ini muncul lantaran bergesernya kebiasaan warga kota yang mengalihkan transportasi mereka dari mobil ke sepeda selama pandemi korona di masa PSBB. Menurut The Institute for Transformation and Development Policy (ITDP) terjadi peningkatan jumlah pengguna sepeda pada titik tertentu di Jakarta, yakni sebesar 1.000% atau 10 kali lipat dari sebelumnya.

Sontak, wacana tersebut menjadi buah bibir di kalangan masyarakat luas. Meskipun wacana itu sempat dibantah oleh Kemenhub melalui juru bicaranya dan menegaskan bahwa tak benar jika pihaknya tengah menggodok aturan tentang penarikan pajak sepeda.

Ironi memang, negeri yang kaya akan sumber daya alam seperti Indonesia harus menggantungkan keberlangsungan hidup negaranya melalui pajak. Sampai-sampai muncul wacana pemberlakukan pajak untuk sepeda.

Wacana yang semakin meneguhkan eksistensi sistem kapitalis yang tak manusiawi. Yang tak peduli rakyat sekarat dan berjalan menuju kematian akibat pandemi, yang penting mendapatkan pendapatan atas nama negara tetap bisa berjalan.

Itulah sistem sekuler kapitalis dengan kebijakan pajaknya yang membuat umat semakin sekarat. Jauh sebelum bercokolnya sistem sekuler kapitalis hari ini.

Islam dengan sistem pemerintahannya telah membuang jauh-jauh sistem pajak yang merupakan warisan peradaban Persia dan Romawi yang terbukti menyengsarakan itu.

Memang benar, bahwa pajak merupakan warisan imperium Persia dan Romawi kuno yang menurut catatan sejarah telah terbukti menyengsarakan umat. Dan Islam telah menutup peradaban tersebut ketika pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab kala itu.

Salah satu kisah paling fenomenal dalam sejarah kegemilangan kaum muslimin ketika masih menerapkan Islam dalam membuang jauh-jauh kebijakan pajak adalah kisah Saifuddin Qutuz ketika berhasil menumbangkan pasukan bengis Mongol tahun 1260 M dalam perang Ain Jalut.

Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam bukunya Bangkit dan Runtuhnya Bangsa Mongol menuliskan tentang langkah-langkah Saifuddin Qutuz untuk menyatukan barisan Islam untuk melawan serangan pasukan Mongol. Salah satu langkah yang dilakukan Qutuz adalah persoalan penetapan hukum syara’ terkait dana perang.

Biaya yang dibutuhkan oleh Qutuz untuk menghadapi pasukan Mongol sangat besar dan secepatnya harus teredia. Dalam kondisi ekonomi yang sulit karena dilanda konflik akibat perang, maka Qutuz dengan segera mengumpulkan para ulama, panglima perang dan petinggi negeri untuk bermusyawarah.

Ketika kondisi sangat genting tersebut. Saifudduin Qutuz mengusulkan penarikan pajak untuk membiayai pasukannya. Ulama senior kala itu Syaikh Al-Iss bin Abdussalam tidak meyetujui usul tersebut kecuali telah terpenuhi dua syarat. Ia memfatwakan bahwa, “Jika telah datang ke negeri muslim, maka diwajibkan kepada seluruh elemen Islam untuk memerangi musuh tersebut. Dan diperbolehkan menarik harta dari masyarakat apabila dapat membantu persiapan mereka (yakni di luar zakat).

Dengan syarat, tidak ada lagi yang tersisa di Baitul Mal, mulai dari senjata, tameng, emas, perak, pedang, dan barang-barang lain yang dilapisi dengan emas. Kalian juga harus menjual semua kepemilikan kalian (yakni para pemimpin negeri, para menteri, dan para petinggi, harus menjual apa yang mereka miliki), sehingga hanya tersisa kuda dan senjata. Keadaan ekonomi kalian harus sama dengan seperti rakyat jelata. Adapun menarik dana dari masyarakat umum dengan masih ada harta berlebih di tangan panglima pasukan, maka hal itu tidak diperbolehkan.”

Saifuddin Qutuz menyambut positif fatwa tersebut. Ia memulai dari dirinya sendiri dan ia menjual seluruh hartanya. Kemudian diikuti para petinggi dan menteri berbondong-bondong menjual harta yang mereka miliki, termasuk perhiasan istri-istri mereka. Setiap orang rela bersumpah atas inisiatif mereka sendiri bahwa tidak ada lagi harta yang mereka sembunyikan. Hingga semua harta terkumpul dan digunakan untuk membiayai perang melawan pasukan Mongol.

Berdasarkan fatwa Syaikh Al-Izz Abdussalam di atas, beliau ingin menjelaskan bahwa penarikan pajak itu tidak diperbolehkan kecuali setelah para menteri dan petinggi negeri memiliki keadaan keuangan dan kepemilikan yang sama seperti masyarakat umum lainnya. Bandingkan kisah tersebut dengan kebijakan sistem ekonomi sekuler kapitalistik hari ini tentang konsep pajak.

Bahkan dalam kondisi genting seperti perang saja, kebijakan pajak dalam sistem Islam masih harus diberlakukan sedemikian ketatnya. Sangat jauh berbeda dengan sistem sekuler kapitalistik hari ini.

Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi memberi komentar terhadap kebijakan yang diambil Saifuddin Qutuz tersebut, “Sulthan Saifuddin Qutuz berhasil mengumpulkan dana sebanyak itu dari harta halal dengan cara yang unik dan tidak ada kedzaliman ataupun paksaan di dalamnya. cara-cara inilah yang menjadi salah satu faktor kemenangan umat Islam atas pasukan Mongol pada pertempuran ain Jalut.

Allah SAW berfirman, “Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (TQS. Muhammad:7). Kemenangan dari Allah SWT tidak akan terjadi kecuali dengan menerapkan syariatNya. Pasukan muslim yang menjauh dari syariat Allah SWT akan jauh dari pertolonganNya. Wallahua’lam bi ash-showab.[]

 

Comment