Imanda Agustina*: UKT dan Pendidikan Impian 

Opini569 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM,  JAKARTA  — Masalah pendidikan di negeri ini seperti tak ada habisnya. Berbagai kurikulum dan cara telah dicoba untuk melahirkan sistem pendidikan yang berkualitas. Namun, biaya masih menjadi salah satu faktor yang belum bisa ditangani. Mahalnya UKT pada perguruan tinggi, tak sedikit membuat siswa membendung keinginannya untuk melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi.

Akhir-akhir ini aksi mahasiswa yang menuntut penurunan uang kuliah tunggal (UKT) sedang merebak. Mulai dari trendingnya tegar #NadiemManaMahasiswaMerana di twitter sampai aksi turun langsung di universitas dan Kemendikbud. Para mahasiswa menumpahkan keluh kesah pendidikan di tengah pandemi. Di mana, sebagian besar kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring (dalam jaringan), namun biaya UKT tetap. Hal tersebut dirasa tidak adil, karena ketika kuliah mahasiswa tidak memakai fasilitas kampus sama sekali.

Dilansir dari laman kompas.com pada Jumat (19/06/2020), melalui Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020, Nadiem menyebutkan, Kemendikbud akan memberikan keringanan UKT bagi mahasiswa PTN yang menghadapi kendala finansial selama pandemi Covid-19.

Keringanan tersebut terbagi menjadi lima skema, yakni dalam bentuk cicilan, penundaan, penurunan, beasiswa, dan bantuan infrastruktur. Namun, opsi keringanan tersebut akan diatur oleh pihak perguruan tinggi.

Beginilah wajah pendidikan tinggi di Indonesia. Memperbaiki sistem pendidikan merupakan salah satu tugas terbesar pemerintah. Bagaimana mungkin bisa mewujudkan cita-cita pendidikan dengan keadaan seperti ini?

Banyak anak yang harus berhenti sekolah karena mahalnya biaya. Banyak anak yang sama sekali tak pernah mengenyam bangku sekolah karena minimnya fasilitas dan pemerataan pendidikan. Problematika itu menjadi PR besar negeri ini.

Harapan mendapatkan pendidikan gratis juga berkualitas rupanya hanya akan menjadi mimpi belaka. Hal ini merupakan satu dari banyaknya masalah yang dihasilkan oleh sistem yang rusak. Beginilah ketika pendidikan menjadi aset bisnis para kapitalis.

Melalui General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) – World Trade Organization (WTO), imperialisme telah menyeret pendidikan ke dalam sektor jasa (komodifikasi), sehingga dapat diperdagangkan.

Hal tersebut tentu saja tidak terlepas dari kepentingan pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan melimpah. Indonesia pun juga menjadi salah salah satu pendiri WTO dan telah meratifikasi persetujuan pembentukan WTO melalui UU Nomor 7 Tahun 1994.

Seperti diketahui bahwa saat ini ada tiga kategori PTN yakni PTN Satker, PTN Badan Layanan Umum (BLU), dan PTN BH (Badan Hukum). Kemendikbud sendiri mendorong perguruan tinggi negeri (PTN) supaya menjadi badan hukum (PTN-BH). Tujuannya agar perguruan tinggi lebih mandiri. Secara tidak langsung pemerintah memilih berlepas tangan dalam pembiayaan operasional perguruan tinggi dengan dalih kemandirian dan otonomi kampus.

Namun semua itu berbeda jika diatur oleh sistem Islam. Mendapatkan pendidikan gratis, berkualitas, juga dengan tenaga pendidik yang ahli bukanlah sekedar angan-angan. Islam memandang pendidikan sebagai hal yang sangat penting. Hal ini didasarkan pada hadist Rasulullah, “Keutamaan ahli ilmu atas ahli ibadah adalah seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah di antara kalian.” (HR Tirmidzi). Hal tersebut menunjukkan bagaimana Islam menjunjung derajat orang-orang berilmu.

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang harus dijamin oleh negara. Sudah menjadi kewajiban negara menyediakan pendidikan terbaik bagi masyarakat. Islam memandang tujuan dasar pendidikan adalah untuk membentuk orang yang kepribadian Islami. Apalagi perguruan tinggi yang memiliki peran penting dalam mencetak para ahli pada bidangnya. Sehingga akan membawa kemaslahatan masyarakat, seperti ahli fiqih, saintis, insinyur, qadhi, dll.

Hal tersebut terbukti dengan lahirnya para intelektual hebat yang tidak hanya ahli dalam ilmu dunia tetapi juga tafaqquh fiddin. Hampir 13 abad Islam memimpin peradaban manusia dan menorehkan kegemilangan di setiap lini kehidupan. Berbagai ilmu pendidikan berkembang dengan pesatnya, di mana saat itu Barat masih berada pada zaman kegelapan (dark age).

Ketika itu Islam telah mampu meletakkan ilmu-ilmu dasar yang bisa kita rasakan manfaatnya sampai sekarang. Seperti Abbas Ibn Firnas yang menjadi peletak dasar penerbangan pertama, Muhammad bin Zakaria Ar-Razi sebagai orang yang pertama kali menemukan formula sabun, bahkan bentuk awal sistem GPS ditemukan oleh seorang muslimah bernama Maryam Al-Ijliya.

Begitulah sistem pendidikan Islam mencetak ilmuan-ilmuan hebat. Namun sistem pendidikan sebaik itu tak akan pernah bisa kita impikan dalam belenggu sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme pendidikan tidaklah lebih dari seonggok aset yang dapat dibisniskan untuk meraih keuntungan pribadi. Sistem demokrasi kapitalisme mengakui adanya kebebasan. Sehingga bukan hal aneh jika pada akhirnya universitas memasang biaya UKT yang mahal.

Semua fakta tersebut seharusnya membuat kita sadar. Apakah yang bisa diharapkan dari sistem sekarang? Rakyat kecil akan terus menderita. Terlalu banyak sudah janji-janji manis yang keluar dari para penguasa. Namun hanya sebagai pencitraan semata. Sudah waktunya kita bangkit dan kembali kepada sistem Islam dalam naungan khilafah. Sistem kehidupan yang datang dari Sang Maha Pencipta, bukan dari buatan manusia. []

*Mahasiswi UM

Comment