Siti Ningrum,  M.Pd*: Ikutan New Normal Dalam Tren Global

Opini587 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Setelah diberlakukannya kebijakan New Normal Life oleh pemerintah pada bulan Juni, terdapat sejumlah daerah yang justeru bertambah kasus penyebaran virus corona seperti dilansir dari (Bisnis.com 9/6/2020) di Provinsi Jawa Timur yaitu Surabaya dan Sidoarjo menjadi zona merah tua.

Dalam laman Merdeka.Com pada tanggal 25/5/2020, dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Dr Hermawan Saputra mengkritik persiapan pemerintah menjalankan kehidupan New Normal.

Menurut Hermawan setidaknya ada 4 kriteria  yang harus dipenuhi: Pertama terjadi perlambatan kasus. Dua, sudah dilakukan optimalisasi PSBB. Ketiga, masyarakat sudah lebih mawas diri dan meningkatkan daya tahan tubuh masing-masing. Keempat, pemerintah sudah betul-betul memperhatikan infrastruktur pendukung untuk New Normal.

Dari ke empat syarat di atas, sepertinya Indonesia belum satu pun memenuhi kriteria. Lalu mengapa pemerintah begitu ngotot dengan kebijakan New Normal pada bulan Juli? Apakah hanya karena ikutan tren global yang asal tanpa memperhatikan aspek internal negeri sendiri?

Mungkin itu adalah ungkapan yang ingin disampaikan kepada pemerintah Indonesia. Bukan hanya masyarakat yang dibuat bingung dengan kebijakan pemerintah, para pengambil kebijakan pun ikut bingung lantaran tidak ada satu kata antara pemerintah pusat dan daerah.

Menurut para ahli epidemiologi, jika New Normal diberlakukan di Indonesia pada bulan Juni maka sejatinya tengah membuka gerbang menuju wabah covid-19 gelombang kedua. Sebab menurut analisa para ahli epidemiologi, belum saatnya Indonesia melakukan New Normal Life dan masih menyarankan masyarakat Indonesia untuk stay at home hingga bulan Desember 2020.

New normal life diartikan oleh sebagian masyarakat seakan-akan sudah bisa melakukan aktivitas seperti biasa. Masih ada masyarakat yang tidak mengindahkan anjuran protokol kesehatan dan menganggap seolah-olah virus sudah tidak ada padahal bahaya sedang mengintai. Kurangnya disiplin diri serta pemahaman masyarakat terhadap situasi pandemi ini menambah kerumitan tersendiri. Ini juga dikarenakan minimnya edukasi yang sampai ke masyarakat.

Hal ini menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Apalagi tim nakes, yang mulai putus asa berada di garis terdepan. Bagaimana tidak putus asa, melihat masyarakat yang sudah mulai kembali beraktivitas tanpa memperhatikan protokol kesehatan.

New Normal Life tetap diberlakukan tanpa mengindahkan saran dari para ahli epidemiologi dan pemerintah seolah-olah menutup mata.

Dengan alasan memulihkan ekonomi, kebijakan New Normal Life yang masih prematur ini diberlakukan. Memang sulit jika kebijakan sudah ditumpangi oleh kepentingan lain. Alhasil, rakyat pula yang akan menjadi korban.

Seharusnya mall, pasar atau pun tempat keramaian lain tidak dibuka hingga pandemi berakhir dan selama masa pandemi itu pula pemerintah menanggung kebutuhan pokok agar masyarakat terjamin penghidupannya sehingga potensi untuk keluar rumah bisa dihindari.

New Normal yang masih prematur hanya akan memicu the second wave, gelombang kedua wabah pandemi. Begitu pun dengan negara lain yang telah gagal menerapkan New Normal. Indonesia harus mengambil pelajaran dan berkaca dari apa yang dilakukan oleh negeri lain. Bukan hanya mengikuti tren global tanpa memperhatikan situasi dan kondisi internal dalam negeri.

Sistem Kapitalisme vs Sistem Islam

Inilah fakta empiris yang terjadi di depan mata. Sistem kapitalisme yang diterapkan di semua negara termasuk Idonesia telah membuat para pemangku kebijakan tutup mata terhadap rakyatnya termasuk nyawa sekalipun. Rakyat harus banting tulang demi mengurusi kebutuhan yang seyogyanya menjadi tanggung jawab dan tugas pemerintah yang salahsatunya adalah aspek kesehatan.

Iuran BPJS yang terus naik namun tidak berbanding lurus dengan pelayanan kesehatan itu sendiri. Para nakes (tenaga kesehatan) sampai saat ini tetap saja kekurangan Alat Pelindung Diri (APD) dalam menangani covid-19.

Berbeda dengan Islam dalam mengatasi wabah pandemi, para khalifah telah memberikan teladan terbaik seperti yang dicontohkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khatab r.a.

Khalifah ke-dua ini tidak asal dalam mengambil sebuah kebijakan namun melalui pemikiran mendalam, cemerlang dan bermusyawarah dengan para ahli dalam setiap pengambilan kebijakan. Tentunya, yang menjadi pijakan bukan keuntungan pribadi atau sekelompok tertentu melainkan betul-betul atas dasar dan demi kemaslahatan umat.

Pertimbangan sebuah kebijakan tidak pernah terlepas dari Kitabullah dan As-Sunah. Sebab pertanggungjawabannya bukan hanya di dunia melainkan juga diakhirat. Salah dalam mengambil sebuah kebijakan maka Sang Khalifah tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri. Itulah karakter-karakter mulia yang menjadi teladan dan pernah dijumpai dalam kepemimpinan Islam.

Berikut langkah-langkah cemerlang yang dilakukan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khatab r.a dalam menangani wabah:

Pertama, melakukan karantina wilayah (lockdown) bagi daerah yang terpapar wabah. Kedua, bermusyawarah bersama para ahli kesehatan untuk segera mencari vaksin. Ketiga, segera mengevaluasi dan bermuhasabah baik terhadap dirinya atau pun rakyat yang dipimpinnya. Sungguh teladan terbaik sepanjang masa. Dengannya islam berjaya dan menyebar sampai ke pelosok dunia dikarenakan kebijakan-kebijakan yang diambil selalu mengedepankan kemaslahatan rakyat. Maka sudah seharusnya kita pun mencontoh pemimpin yang berperilaku agung nan mulia.

Maka saatnya kita semua kembali kepada hukum Allah, sebab Allah telah berjanji akan memenangkan agamaNya dan mewariskan bumi kepada orang-orang soleh.

Seperti dalam QS. Al-Anbiya: 105 :

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِى ٱلزَّبُورِ مِنۢ بَعْدِ ٱلذِّكْرِ أَنَّ ٱلْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِىَ ٱلصَّٰلِحُونَ

“Dan sesungguhnya telah Kami tulis dalam Zabur setelah Adz-Dzikr (Taurat): “Bahwasanya bumi itu akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shaleh.”

Islam dalam perjalannnya memang akan memenangkan segala pertarungan pemikiran dari mulai awal penyebarannya hingga kelak hari kiamat. Meskipun para pembenci Islam tidak menyukai hal itu.

Hukum terbaik hanyalah hukum Allah swt. Tidak ada yang lain. Begitu pula yang berhak membuat hukum,  hanyalah Allah swt.

إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (Al An’am :57)

أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam.” (QS. Al A’raaf: 54). Wallohu’alam Bishowab.[]

*Praktisi pendidikan

Comment