Fitriani,S.Hi: Belum Usai Derita Pandemi, Rakyat Menjerit Tersengat Tagihan Listrik 

Opini711 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Sungguh kasihan nasib rakyat negeri ini. Ditengah wabah yang belum usai menghampiri yang sudah memberikan dampak yang begitu luar biasa dalam segala aspek termasuk masalah ekonomi, kini dihantam lagi dengan gelombang kenaikan tarif listrik yang semakin membuat rakyat menjerit karena “sengatan” tagihan listrik yang membumbung tinggi. Jika ada pepatah sudah jatuh tertimpa tangga maka ini adalah perumpamaan yang begitu tepat dengan kondisi rakyat saat ini. Pemerintah yang abai dan tidak peduli membuat sengatan semakin perih.

Hal ini harusnya tidak terjadi, mengingat Indonesia adalah negara luar biasa dengan semboyan gemah ripah loh jinawi. Indonesia dikenal sebagai negara kaya raya dengan segala potensi yang dimilikinya. Tidak ketinggalan potensi sumber energi yang melimpah ruah sebagai karunia dari Allah SWT. Sebut saja sumber energi fosil (minyak, gas dan batu bara).

Namun sayang sebagian besar sumber energi primer ini ternyata digunakan untuk memenuhi kebutuhan negara lain. Termasuk listrik. Banyak masyarakat yang mengeluhkan beberapa hari ini tentang tagihan listrik yang naik bahkan hingga 100 persen. Sungguh menyedihkan ditengah pandemik bukannya pemerintah berempati mengurangi beban masyarakat malah menambahi dengan tagihan listrik yang naik berkali lipat.

Sistem Kapitalisme-Neoliberal Biang Kerok Krisis Listrik di Indonesia

Bukan kali ini saja terjadi, masalah Krisis listrik di Indonesia bukanlah lagi kasus baru dan bersifat temporal, namun sudah kronis. Sebagian besar rakyat sudah terbiasa dengan penderitaan kenaikan tagihan listrik yang tiba-tiba melonjak, belum lagi pemadaman listrik. Pemadaman yang tidak hanya bergilir bahkan sudah menjadi agenda rutin.

Menurut Pengamat kebijakan dan Pemerintahan Gde Siriana Yusuf PLN tidak bisa berdalih dengan mengatakan kenaikan tagihan listrik dikarenakan menggunakan rata-rata tiga bulan terakhir sebagai acuan tagihan bulan Mei. Apalagi saat masyarakat sedang sulit tidak ada penghasilan karena terdampak Covid-19. Ia juga menambahkan bahwa solusi kenaikan dengan membayar secara mencicil juga bukan solusi yang tepat.

Seharusnya perhitungan tagihan perlu dikoreksi lagi, lalu masyarakat juga membutuhkan biaya ekstra untuk kenaikan listrik meski dicicil pembayarannya.

Kemudian, Gde Siriana juga tak setuju jika alasan kenaikan listrik yang diungkapkan PLN akibat aktivitas di rumah dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pasalnya, PSBB bukan mau masyarakat tetapi kebijakan pemerintah. Sekolah dengan belajar online juga bukan mau siswa. Konsekuensinya penggunaan listrik lebih banyak. (teropongsenayan.com, 7/6/2020)

Jika kita melihat yang menjadi factor utama krisis listrik adalah penerapan system kapitalisme-neoliberal di negeri ini. Sistem inilah yang menyebabkan liberalisasi pada tata kelola listrik, baik sumber energi primer maupun layanan listrik.

Pertama, liberalisasi sumber energi primer. UU No. 22 tahun 2001 menjadi payung hukum legalisasi perampokan terhadap ladang minyak dan gas (migas) di Indonesia. Akibatnya hampir 80%  ladang Migas Indonesia dikuasai asing (ugm.ac.id, 26/9/2013). Pemerintah tidak lebih sebagai regulator dan fasilitator saja, sementara pengeloaan diserahkan pada mekanisme bisnis.

Kedua, liberalisasi (komersialisasi) layanan listrik. kekacauan pengelolaan listrik terjadi sejak tahun 1992, ketika swasta mulai diperkenankan turut serta dalam bisnis penyediaan listrik dengan dikeluarkannya kepres No. 37 tahun 1992. Saat itu digembar-gemborkan bahwa kita akan kekurangan pasokan listrik. oleh karenanya perlu dibuka pintu lebar-lebar bagi swasta untuk membangun pembangkit baru. Maka sejak itu berdirilah berbagai pembangkit swasta untuk membantu suplai listrik PLN.

Liberalisasi ini diperkuat dengan UU no. 30 th 2009 tentang ketenagalistrikan. Dilakukan unbundling vertikal (pemecahan secara fungsi, yaitu fungsi pembangkit, transmisi dan distribusi).  Dengan demikian  pembangkit, transmisi dan distribusi hingga ritel/penjualan ke konsumen dapat dilakukan sepenuhnya oleh swasta. Meski saat ini PT PLN berstatus perusahaan listrik negara akibat unbundling semua fungsi dilakukan secara komersil.

Jadi, akibat liberalisasi ini maka harga listrik akan terus menerus naik namun layanannya tetap atau semakin buruk. karena listrik merupakan hajat hidup orang banyak maka berapapun harganya pasti dibeli meski dengan layanan seadanya. Mengingat begitu mahalnya tagihan  listrik saat ini, menjadi bukti kelalaian pemerintah menyelesaikan masalah ini.

Rakyat mengalami kesengsaraan  yang luar biasa, apalagi ditengah wabah seperti saat ini seharusnya negara bertanggung jawab sepenuhnya terhadap hajat hidup dan kebutuhan rakyat, bukan malah diserahkan kepada pihak swasta lokal maupun asing untuk dikomersilkan.

Maka, tak heran bila tagihan listrik tiba-tiba naik karena negara ibarat korporasi besar yang menjual listrik dengan harga berkali lipat. Bukan sebagai pengurus rakyat yang berkewajiban menyediakan listrik dengan harga murah, berkualitas dan gratis.

Islam memberikan Layanan Listrik Murah dan Berkualitas

Islam sebagai agama kamilan wa syamilan memiliki aturan yang paripurna (kaffah), karena berasal dari sistem yang berasal dari Allah SWT yang menciptakan manusia alam semesta beserta isinya. Dalam pandangan Islam, listrik merupakan salah satu jenis kepemilikan umum yang dilihat dari 2 aspek, pertama, listrik yang digunakan sebagai bahan bakar masuk dalam kategori ’api (energi)’ yang merupakan milik umum. Nabi Muhammad saw bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput (kebun/hutan), air, dan api (energi).” [HR Ahmad].Termasuk dalam kategori api (energi) tersebut adalah berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit, dan sebagainya.

Kedua, sumber energi yang digunakan untuk pembangkit listrik baik oleh PT PLN maupun swasta sebagian besar berasal dari barang tambang yang depositnya besar seperti migas dan batu bara merupakan juga milik umum. Abyadh bin Hammal ra. bercerita:

“Ia pernah datang kepada Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam. Lalu Rasulullah memberikannya. Ketika ia pergi, seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata kepada Rosulullah, “Ya Rasulullah, tahukah Anda apa yang Anda berikan, tidak lain Anda memberinya laksana air yang terus mengalir.”

Kemudian Rasulullah menarik pemberiannya dari Abyadh bin Hammal.” [HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban].

Riwayat ini berkaitan dengan tambang garam, bukan garam itu sendiri. Awalnya Rasul saw. memberikan tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, ketika beliau diberi tahu bahwa tambang itu seperti “laksana air yang terus mengalir”, maka Rasulullah menariknya kembali dari Abyadh. “Laksana air yang terus mengalir” artinya adalah cadangannya besar sekali. Sehingga menjadi milik umum. Karena milik umum, bahan tambang seperti migas dan batu bara haram dikelola secara komersil baik oleh perusahaan milik negara maupun pihak swasta. Juga haram hukumnya mengkomersilkan hasil olahannya seperti listrik.

Oleh karena itu,  apapun alasannya, pengelolaan listrik tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta.  Negara bertanggung-jawab sedemikian rupa sehingga setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan listriknya baik dari sisi kualitas maupun kuantitas dengan harga murah bahkan gratis (jika memungkinkan). Untuk seluruh rakyat baik kaya atau miskin, muslim maupun non muslim.

Dengan prinsip-prinsip pengelolaan listrik inilah, Indonesia dengan sumber energi primer yang melimpah terhindar dari krisis listrik berkepanjangan dan harga yang melangit. Rakyat tidak lagi perlu menjerit karena “sengatan” tagihan listrik. Wallahu`alam bisshawab.[]

Comment