Maya Dhita E. P, ST.*: Hidup Normal Baru, Harapan atau Ancaman?

Opini574 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Wacana penerapan new normal atau normal baru terus dikampanyekan. Kebijakan rekomendasi WHO ini dinilai pemerintah paling masuk akal dalam menghadapi pandemi Covid-19, sekaligus menyelamatkan perekonomian Indonesia. Belum melandainya kurva penderita positif Covid-19 ini pun tak membuat pemerintah meninjau ulang penerapan normal baru.

Pernyataan Presiden Joko Widodo  untuk berdamai dengan virus Corona membuat sebagian besar masyarakat bingung. Berdamai berarti hidup bersama virus ini dalam kehidupan sehari-hari. Di tengah kebijakan pembatasan sosial berskala besar, ternyata pemerintah mempersiapkan kebijakan baru yaitu “new normal”.

Organisasi keagamaan, Muhammadiyah, melalui sekretaris umumnya, Abdul Mu’ti mengatakan bahwa belum saatnya berdamai dengan virus Corona. Beberapa daerah belum aman dari pandemi virus ini. (www.tirto.id, 29/5/2020).

Pernyataan ini bukan tidak berdasar. Seperti diketahui bahwa Muhammadiyah dan organisasi di bawahnya, Aisyiyah sedikitnya memiliki 107 rumah sakit yang 80 persennya tersebar di pulau Jawa dan sisanya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT dan Maluku.

Seperti gugus tugas penanganan Covid-19 milik pemerintah, Muhammadiyah memiliki Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) yang mengumpulkan dan melaporkan data secara nasional dari jaringan rumah sakit mereka.

WHO merekomendasikan normal baru dengan syarat tidak ada penambahan kasus selama 14 hari. Tentunya hal ini tidak sesuai dengan apa yang terjadi di Indonesia di mana kasus baru bertambah hingga hampir menembus 1000 kasus dalam sehari. Bahkan Indonesia belum mencapai puncak pandemi, karena penambahan kasus positif Covid-19 masih terus terjadi. Kebijakan phisycal distancing, kewajiban penggunaan masker dan budaya cuci tangan yang diterapkan juga belum mampu menurunkan laju pertambahan kasus positif Covid-19.

Menurut juru bicara pemerintah untuk kasus virus Corona, Achmad Yurianto seperti dikutip kompas.com,10/6/2020 mengatakan, hingga Rabu, 10 Juni pukul 12.00 WIB terjadi penambahan 1.241 kasus baru Covid-19. Sehingga, secara kumulatif terdapat 34.316 kasus positif Covid-19 di Indonesia.

Kebijakan hidup baru dinilai terlalu terburu-buru, bahkan cenderung gegabah. Pemerintah lebih mementingkan alasan ekonomi yang hancur jika tidak segera diberlakukan hidup baru daripada kesehatan dan keselamatan warganya.

Kebijakan berdamai dengan virus ini seakan jalan terakhir agar negara tidak hancur setelah sebelumnya mengeluarkan berbagai kebijakan ekonomi yang memperparah kondisi perekonomian Indonesia. Misalnya, pinjaman skala besar melalui Global Bond, membuka kran impor, dan sebagainya.

Di dalam Islam, nyawa satu orang muslim lebih berharga dari dunia dan seisinya. Seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim. (HR. An-Nasa’i VII/82).

Karena itu, sebagaimana yang pernah diimplementasikan dalam model Khilafah, syariat Islam menjadi dasar untuk mengatur setiap persendian hukum yang berlaku di negaranya.

Negara menjamin keberlangsungan hidup warganya. Mengutamakan kesejahteraan dan keselamatan rakyat. Pemimpin melindungi rakyatnya seperti penggembala yang melindungi gembalaannya. Pemimpin hidup lebih sengsara dari rakyatnya. Seperti yang pernah dicontohkan oleh khalifah Umar bin Khattab saat menghadapi musim paceklik akibat kemarau panjang. Dia rela membiarkan dirinya berlapar-lapar saat umatnya kelaparan. Bahkan hidupnya pun sangat sederhana.

Kebijakan normal baru tidak sesuai dengan norma Islam karena penanganan wabah penyakit atau pandemi dalam Islam hanya bisa diselesaikan dengan cara penguncian wilayah. Saat suatu wilayah yang di dalamnya terjadi wabah penyakit dikunci maka tidak boleh ada mobilitas penduduk dari dan keluar wilayah tersebut. Sehingga wilayah lain dapat tetap hidup secara normal dan perekonomian tetap berjalan seperti biasa. Penduduk di wilayah dalam penguncian akan dijamin hidupnya oleh khalifah hingga dapat melalui wabah tersebut.

Hidup berdampingan dengan virus Covid-19 dan membiarkan imunitas yang melawan dengan sendirinya sama halnya dengan berjudi. Tidak semua orang memiliki imunitas yang kuat. Orang dengan imunitas tubuh yang bagus akan bertahan dan yang lemah akan meninggal. Dan pemerintah cenderung membiarkan gejala ini terjadi secara alami dalam konsep Herd Immunity. Dimana antibodi alami akan muncul saat 75 persen penduduk telah terinfeksi virus ini.

Pemerintah seakan merelakan jutaan orang akan mengalami kekalahan dalam perang imunitas ini. Kebijakan ini menjadi sangat menggiurkan bagi pemerintah dalam sistem kapitalis karena dalam hitungan biaya yang dikeluarkan lebih ringan.

Sementara dalam Islam, pemimpin  melindungi rakyatnya. Nyawa satu orang sangat berarti apalagi hingga jutaan nyawa. Segala upaya akan dilakukan untuk mengatasi pandemi ini. Bukan malah diam dan menunggu hingga alam mengatasinya sendiri. Semua pos keuangan akan dialihkan untuk mengatasi pandemi ini. Mulai dari menghidupi warga dalam karantina, membiayai dan mendukung penuh penelitian tentang virus ini dan pembuatan vaksin, merawat dan mengobati pasien yang terinfeksi secara optimal, melindungi tenaga kesehatan dengan APD terbaik serta gaji dan tunjangan yang besar. Semua bekerja atas dasar ketundukan kepada Allah Swt.

Hal ini hanya dapat terwujud ketika Islam sebagai rahmatan lil alamiin terwujud dalam konteks kehidupan yang universal. Wallahua’lam bishshowab.[]

*Anggota Komunitas AMK

Comment