Haris Rusly.[Dok/radarindonesianews.com] |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Pasar bebas dan revolusi teknologi informasi telah menciptakan situasi borderless (tanpa batas). Situasi tersebut telah menghadapkan berbagai negara di dunia pada sejumlah ancaman baru.
Ancaman transnasional yang menumpang kepada situasi runtuhnya batas negara dan lemahnya pengawasan imigrasi tersebut diantaranya, kejahatan subversi ideologi, penyusupan intelijen asing, kejahatan terorisme, kejahatan narkotika, moneylaundry, perdagangan manusia serta penyelundupan, dan lain-lain.
Sesungguhnya keserakahan kapitalisme telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi dunia yang tidak merata, menciptakan peperangan dan konflik politik di berbagai belahan dunia. Akibatnya munculnya masalah baru sebagai residu dari penindasan dan ketidakadilan global tersebut, yaitu berupa membanjirnya imigrasi ke sejumlah negara, munculnya terorisme, menjamurnya kejahatan ekonomi seperti penyelundupan, narkotika dan perdagangan manusia.
Ancaman imigrasi telah menempatkan isu ini menjadi masalah utama yang meminta perhatian dunia saat ini, bergandengan dengan masalah terorisme. Tidak kurang dari Presiden Amerika Donnald Trump yang secara ekstrim menyampaikan gagasannya untuk membangun tembok raksasa di perbatasan untuk membendung banjir imigrasi gelap yang datang dari jalur Mexico.
Brexit di Inggris dapat juga dianalisa sebagai langkah protektif yang ditempuh oleh kerajaan Inggris yang didesain secara demokratis melalui sebuah referendum. Tujuan dari Brexit tentu untuk mengantisipasi ancaman di masa depan terhadap eksistensi dan keutuhan Kerajaan Inggris yang kekuasaannya telah digerus oleh Uni Eropa.
Kebijakan Uni Eropa sendiri dalam mengatasi masalah imigrasi memang dianggap plin-plan dan tidak tegas, sering kali bertabrakan dengan kebijakan dari negara yang menjadi anggota Uni Eropa, seperti Kerajaan Inggris.
Tiga masalah yang tidak pernah diperkirakan secara teoritik oleh penggagas liberalisme ekonomi yang menciptakan situasi borderless, yaitu: Pertama, pemalsuan produk yang mengepung berbagai memanfaatkan pasar bebas. Kedua, masalah imigran yang datang secara legal maupun ilegal. Ketiga, strategi China untuk menguasai dunia melalui program One Belt One Road (OBOR) yang akan menempatkan China sebagai “kepala preman” dalam jalur produksi, distribusi dan konsumsi di Asia Pasifik.
Untuk Indonesia, di era pemerintahan Joko Widodo, setidaknya kita dihadapkan kepada dua masalah terkait imigrasi. Pertama, kebijakan Presiden Joko Widodo sendiri yang meliberalisasi sektor imigrasi, katanya untuk tujuan menarik investasi dan wisatawan manca negara. Salah satu paket kebijakan Pemerintah yang sangat berbahaya tersebut adalah pembebasan visa kepada 170-an negara.
Kedua, kegagalan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM dalam membendung membajirnya imigran gelap dan tenaga kerja asing (TKA) ilegal yang masuk ke Indonesia, khususnya imigran gelap dan tenaga kerja asing ilegal dari China yang datang menumpang perahu investasi.
“Kebijakan membebaskan visa kepada 170 an negara untuk katanya tujuan menarik wisatawan asing dan investasi, yang tidak diantisipasi melalui penguatan pada kebijakan imigrasi dan keamanan perbatasan, menyebabkan negara Indonesia telah menjadi surga bagi kejahatan international, terorisme, subversi ideologi dan penyusupan intelijen asing yang mengacaukan Indonesia”.
Karena itu, dalam waktu dekat kami akan melakukan konsolidasi untuk mengambil langkah politik dan melayangkan gugatan hukum untuk:
Pertama, gugatan hukum untuk membatalkan kebijakan Presiden Joko Widodo terkait pembebasan visa kepada 170 negara.
Kedua, gugatan hukum untuk memecat Ronnie Sompie yang gagal memimpin sebagai Dirjend Imigrasi untuk membendung banjir imigran gelap dan tenaga kerja asing iliegal yang masuk ke dalam wilayah Indonesia tanpa hambatan.
Ketiga, mendesak DPR RI untuk segera membentuk Pansus untuk menyelidiki dan membongkar sindikat dan mafia imigran gelap dan Tenaga Kerja Asing ilegal, yang diduga melibatkan sejumlah pejabat dan aparatur negara di Direktorat Jenderal Imigrasi dan instansi lainnya.
Keempat, dalam menghadapi situasi borderless tersebut, kami mengusulkan kepada Presiden dan DPR untuk segera mengubah status institusi yang bertanggung jawab terhadap imigrasi, dari Direktorat Jenderal Imigrasi yang menjadi bagian dari Menteri Hukum dan HAM menjadi badan tersendiri, yaitu Badan Nasional Imigrasi dan Keamanan Perbatasan (BNIKP), dengan status setingkat menteri yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden.
Demikian pandangan dan sikap politik kami menghadapi situasi membanjirnya imigran gelap dan Tenaga Kerja Asing (ilegal).
Haris Rusly
Kepala Pusat Pengkajian Nusantara-Pasifik (BPNP)
Kepala Pusat Pengkajian Nusantara-Pasifik (BPNP)
Comment