RADARINDONESIANEWS.COM- JAKARTA – Awal 2020 kembali digencarkan pergerakan-pergerakan perempuan yang berfokus pada pembelaan hak asasi wanita termasuk kesetaraan gender. Sejak dulu sampai sekarang para wanita yang masih bersih keras untuk menyamakan kedudukannya dengan laki-laki ini tampak tidak pernah lelah dengan tuntutannya, bahkan bisa kita lihat di tahun ini sangat masif pergerakan dan opini mereka.
Kasus yang sering mereka angkat adalah kekerasan pada perempuan, pelecehan seksual serta diskriminasi terhadap kaum perempuan termasuk budaya patriaki yang dianggap sebagai biangkerok diskriminasi terhadap perempuan. Patriaki sendiri adalah sistem sosial atau budaya yang menempatkan posisi laki-laki di atas perempuan.
Laki-laki lebih dominan dan berkuasa atas segala sesuatu termasuk ranah politik ataupun kepemimpinan.
Dari sinilah para pengusung ide kufur kesetaran gender bergerak, demi memuaskan hasrat emosionalnya untuk membebaskan diri dari dominasi kaum laki-laki.
Tidak heran pergerakan itu juga menyenggol syariat Islam. Memang Islam mendefinisikan bahwa laki-laki adalah seorang pemimpin. Beberapa contoh yang bisa dianggap sebagai senjata mereka dalam menyenggol syariat Islam, yaitu pemimpin sebuah negara seharusnya adalah laki-laki, pembagian hak waris bagi anak laki-laki lebih besar dari pada anak perempuan, laki-laki diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu dan yang saat ini paling digencarkan adalah kewajiban menutup aurat bagi para Muslimah dianggap sebagai paksaan dan himbauan atau ajakan tersebut dianggap sebagai gangguan bagi pribadi mereka.
Beberapa hal yang sudah dipaparkan hanya segelintir kasus yang diangkat oleh mereka untuk menyenggol syariat Islam, aturan Islam yang dianggap sebagai kekangan atau penjara bagi kaum wanita.
Isu kesetaraan gender ini diusung oleh paham feminisme. Paham ini diawali dengan adanya tulisan tentang ‘Women’s movement’ pada 1792 di Inggris yakni, lewat buku berjudul ‘A Vindication of the Rights of Woman’ karya filsuf Inggris, Mary Wollstonecraft. Tulisan dalam buku tersebut dibuat untuk mengkritik revolusi Prancis yang hanya berlaku untuk laki-laki sedangkan tidak untuk perempuan, hal inilah dianggap sebagai ketimpangan.
Paham tersebut mulai digaungkan dan semakin berkembang ketika abad ke-20 hingga saat ini. Paham-paham ini ketika mulai masuk ke negara-negara Islam berawal dari mereka-mereka yang mengenyam pendidikan di negara Barat, atau yang telah di-brainwash di Barat. (muslimnews.id).
Tokoh-tokoh awal yang membawa ide ini masuk ke dunia Islam, sebut saja Rufa’ah at-Thahthawi di Mesir dan Khairuddin at-Tunisi. Mereka merupakan generasi awal yang dikirim ke Prancis. Ketika kembali ke negerinya, merekalah yang menyuarakan ide tahrir al-mar’ah (liberalisasi perempuan).
Kalau kita lihat, isu-isu yang mereka gaungkan adalah isu-isu yang lahir dari hasrat atau nafsu mereka sendiri. Mereka akan setuju dengan aturan Islam, jika itu sesuai dengan kebutuhan atau nafsu mereka, tapi mereka akan segera membuang jauh-jauh aturan Islam jika bertentangan dengan keinginan mereka.
Dengan kata lain lagi-lagi yang mereka inginkan adalah kebebasan dalam memilih dan atau berekspresi.
Padahal Islam jelas memuliakan kaum perempuan, walaupun dikatakan dalam Al-Qura’an surah An-Nisa ayat 34 yang di awali dengan “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin atas kaum wanita….” Bukan berarti Islam membiarkan laki-laki bertindak semena-mena terhadap kaum perempuan.
Ayat tersebut adalah salah satu ayat yang ditentang para pejuang kesetaraan gender. Mereka menganggap bahwa ayat ini diskriminatif dan banyak juga yang menafsirkan ayat ini agar ayat ini sesuai dengan maksud yang mereka inginkan.
Islam bukan hanya sekadar agama spiritual, namun juga sebuah ideologi yang mampu melahirkan aturan-aturan dalam mengatur atau memecahkan segala problematika kehidupan, termasuk masalah yang sering disebut para pengusung ide feminisme ini. Di antaranya adalah masalah kekerasan seksual dan pelecehan seksual.
Padahal Islam sangat memuliakan kaum wanita. Namun di era liberal saat ini malah para wanita dan mirisnya para wanita Muslimah menggadaikan kemuliaan dirinya sendiri dengan berbangga-banggaan mempertontonkan lekuk tubuhnya dengan dalih “edukasi” atau mengekspesikan rasa syukurnya terhadap bentuk tubuhnya dengan menunjukan tanpa busana dan lain sebagainya.
Aktivis Muslimah yang menyuarakan kewajiban wanita Muslimah adalah menutup aurat mereka serang dengan dalih “aurat gue bukan urusan lo.” Tapi di sisi lain ketika ada Muslimah yang menutup aurat lengkap dengan cadarnya, kemudian dicap sebagai orang yang radikal tapi tidak ada satu pun suara dari mereka yang membela, padahal mereka menjunjung tinggi sekali penolakan terhadap perilaku diskriminasi terhadap kaum wanita.
Pemahaman yang tidak memiliki standar yang jelas bukan? Mereka menyuarakan sesuatu atas dasar nafsu belaka, atas dasar keinginan pribadi, keuntungan pribadi dan kelompok. Padahal jika semuanya diatur dengan aturan Islam, apa yang mereka inginkan jelas terpenuhi termasuk perlindungan lebih bagi kaum perempuan. Keadilan dalam Islam adalah menempatkan suatu perkara pada porsinya, bukan menempatkan suatu perkara dengan porsi yang sama.
Jelas paham feminisme ini dan atau usungan kesetaraan gender ini bukanlah berasal dari Islam. Ide ini merupakan ide kufur yang tidak boleh diadopsi oleh kita para kaum Muslimin, karena hukum mengadopsi, menerapkan dan mengusung ide kufur jelas-jelas haram dalam pandangan Islam, sebagaimana mengusung ide-ide kufur yang lain.
Sebaiknya bagi kita para aktivis Muslimah juga harus semakin gencar mengopinikan Islam kaffah dalam lingkungan kita, seperti mereka yang gencar menyuarakan ide-ide kufur tersebut. Kenapa mereka begitu gencar terhadap ide-ide yang kita ketahui adalah ide yang salah sedangkan kita malah melemah dalam menyampaikan ide Islam yang jelas kebenarannya? []
Biodata Penulis:
Nama: Albayyinah Putri, S.T.
Email: albayyinahp@gmail.com
Pendidikan: Alumni Politeknik Negeri Jakarta
Comment