RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Tidak lama berselang, sejak Indonesia dinyatakan positif covid-19, kegiatan pembelajaran sekolah mulai diliburkan dan dipindahkan ke rumah. Para siswa tidak lagi duduk di hadapan para guru melainkan di hadapan media elektronik (handphone).
Meski terlihat menyenangkan, pembelajaran di rumah bukanlah sesuatu yang mudah bagi para orang tua, terutama sang ibu.
Seperti dikutip Republika.com banyak orang tua, terutama ibu yang mengeluh dengan pemindahan proses pembelajaran di rumah.
“Anak-anak belajar di rumah jadi orang tua yang sibuk. Aku stres banget nih jadi pengawas. Materinya banyak banget,” ujar Mesya, seorang wali murid.
Selama libur 14 hari tersebut, sekolah memberikan sejumlah tugas pada siswa. Setiap hari tugas tersebut dikirimkan kepada gurunya melalui surat elektronik.
Mesya mengaku stres karena anaknya, Satrio, terlalu santai dalam mengerjakan tugas. Sementara gurunya sudah mengumumkan siapa saja yang belum mengumpulkan tugas.
“Rupanya dia pegang HP (gawai) sambil maingame,” katanya sambil tertawa.
Selama belajar di rumah, sistem pembelajaran di sekolah anaknya masih seperti biasa. Bedanya hanya melalui kelas dalam jaringan (daring). Tidak menggunakan seragam, dan mengerjakan tugas sambil ngemil.
Hilangnya peran Ibu sebagai madrasatul uula
Ketika sekolah dipindah ke rumah, ibu yang tadinya membantu ekonomi keluarga di luar rumah merasakan sebagai beban. Apalagi harus menjalankan program ibu sebagai madrasatul uula bagi anak-anaknya.
Ibu di era kapitalisme hanya terbiasa mencari materi dan tidak familiar membuat program pendidikan di rumah. Ini wajar karena ibu harus menanggung biaya hidup yang mahal. Disamping itu, kapitalisme menganggap bahwa seorang ibu lebih hebat jika ia mampu menjadi wanita karir di luar rumah dan menghasilkan banyak uang dibanding menjadi ibu rumah tangga.
Sehingga ketika mengejar pendidikan pun bukan untuk mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang hebat, melainkan agar mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.
Kapitalisme telah memaksa ibu berdaya secara ekonomi dan mengurusi dirinya secara mandiri tanpa harus tergantung pada negara. Ditambah jika tugas tersebut tidak dibagi dengan ayah ini akan semakin membuat stres para ibu.
Banyak para ibu yang harus bangun subuh ketika anak-anaknya masih terlelap dan pulang malam saat anak-anaknya sudah tidur nyenyak. Atau kita lihat banyak para ibu yang lebih bangga menjadi wanita karier dibandingkan menjadi Ibu Rumah Tangga. Sehingga peran ibu sebagai madrasatul uula telah hilang, kandas.
Padahal, melalui tangan seorang ibu lah, akan lahir mutiara dan generasi umat yang akan mengembalikan kejayaan agama ini sebagaimana yang pernah dicapai dalam sejarah peradaban islam dahulu.
Bila seorang muslimah menyadari tingginya kemuliaan peran ibu, niscaya ia tidak akan menukarnya dengan aktivita-aktifitas yang hukumnya mubah. Walaupun ia harus membantu perekonomian keluarga, aktifitas tersebut tidak akan mengurangi perannya sebagai madrasatul uula.
Peran Ibu dalam pandangan Islam
Muhammad Rasulullah bersabda, “Kalian semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangga nya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. (HR. Muttafaq Alaih)
Hadis di atas menunjukan bahwa ayah dan ibu memiliki peran masing-masing dalam keluarganya. Peran tersebut kelak akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah.
Dalam pandangan Islam, ibu memiliki peran strategis yang sangat penting dalam pendidikan anak di rumah. Dari tangan ibulah akan lahir generasi penerus estafet peradaban cemerlang.
Anak-anak yang lahir menjadi para ulama Mujtahid seperti Imam Syafi’i atau para pemimpin negara seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Mereka adalah contoh generasi cemerlang yang lahir dari ibu yang cemerlang. Ibu Imam Syafi’i dan ibu Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah berhasil menanamkan karakter seorang muslim yang hebat dan kuat.
Atau kita lihat bagaimana Muhammad al-Fatih dididik sedari kecil oleh ibundanya menjadi penakluk konstantinopel, yang akhirnya benar-benar mampu ditaklukan.
Namun generasi emas di atas lahir dari sebuah negara yang benar benar menerapkan Islam secara sempurna (kaaffah).
Sungguh dalam Islam nafkah isteri didapat secara berlapis. Sang suami berkewajiban memenuhi segala kebutuhan sehingga isteri tidak harus bekerja, walau bekerja dalam batas-batas syariah diperbolehkan baginya. Jika suami tidak sanggup karena sakit misalnya atau wafat, isteri tidak dibebankan mencari nafkah. Nafkah diberikan oleh ayahnya. Begitu seterusnya sesuai orang yang ditunjuk oleh syariah untuk menafkahinya.
Jika semua orang yang berkewajiban tidak ada maka negara akan mengambil alih tugas dan memenuhi nafkahnya. Semua ini tidak lain kecuali ingin mengoptimalkan peran ibu dalam pengasuhan dan pendidikan anak-anaknya.
Untuk itu, upaya mengembalikan kejayaan Islam yang pernah berkuasa selama 13 abad itu adalah sebuah kewajiban.
Dengan demikian, seluruh kewajiban akan terlaksana dengan optimal termasuk di dalamnya mengembalikan peran ibu sebagai madrasatul uula. WaAllahua’lam.[]
* Ibu rumah tangga
Comment