Aisyah Syafa: Aku Membenci Februari (Sebuah cerpen)

Cerpen215 Views

“Diaaamm! Aku benci tangismuuu …!” teriak ku kencang di depan wajah bayi perempuan yang berusia belum genap satu bulan. Dia gelagapan, matanya mengerjab-ngerjab.

“Kamu bisa mendengarku, anak jahanam! Hai … Apa kau bisa mendengarkan akuu! Akuu … Sangat membencimu! Aku bahkan sudah membencimu sebelum kamu lahir! Kamu dengar itu?!”

Mulutku dekat, sangat dekat. Menganga laksana kawah cadradimuka. Darah mendidih dan bergolak, meletup-letup karena amarah. Siap menelan semua yang membuat murka.

Bukannya diam karena terancam, tangis bayi itu malah semakin kencang. Tangisnya mengoyak gendang telinga. Meski kedua telapak ini, telah menutup rapat lubang di kedua sisi kanan kirinya.

Saat ini wujudku layaknya setan bercula. Dengus tarikan napas semakin berat. Urat-urat halus bola mata nampak menebal. Membuat netra indahku memerah semerah darah.

Aku tak kuat lagi, ya Allah. Kenapa dia semakin meraung, jeritku dalam hati.

Ku banting tubuh sintal ke lantai bisu nan dingin. Memaku punggung di dinding. Kuat tangan mencengkeram lantai yang tak bisa tergenggam. Buku-buku tangan ini memutih menahan dendam. Barisan gigi dalam rongga mulut, bergesekan, mengerat. Suara berisik terdengar.

Aku berteriak, menangis, meraung hebat. Terbayang netra ini akan sepanjang hidup melihat dan dipaksa menyaksikan dia tumbuh besar. Dan itu dalam asuhan ku. Aku mengutuki hidupku.

Beberapa kali tangan ini menggempur ubin. Hidupku serasa dikhianati. Dikhianati sang pemilik kehidupan.

Suara ketukan menggempur daun pintu terdengar. Tak kuhiraukan, meski daun pintunya bergetar-getar.

Malam ini. Di kamar bercahaya muram ini, aku hanya ingin berdua dengan bayi tak berdosa, tapi membuat hidupku laksana beling pecah. Serbuknya berserakan, tak mampu lagi disatukan.

***

Aku Ningsih. Gadis belia yang sedang ranum. Orang bilang parasku cantik bukan buatan. Postur tubuh seindah gitar. Kulit putih bercahaya laksana mutiara yang menetap dalam cangkang.

Tuhan menyayangi aku, pikirku kala itu. Bagaimana tidak, kumiliki kesempurnaan fisik, melebihi para gadis di tempat tinggalku. Kalau tak percaya, coba bandingkan, mereka bukanlah tandangan. Namun, kesempurnaan fisik yang harusnya ku jaga, malah menjadi senjata. Membidik tubuh dan meninggalkan luka yang tak kan sembuh, karena tak ada satupun obat atau tenaga medis yang sanggup mengobatinya. Luka itu telah menganga.

Kupuja kemolekkan tubuh ini. Tak ada yang bisa menghalangi caraku berexpresi. Berpenampilan terbuka, menonjolkan lekuk tubuh begitu ku suka. Desa hanya tempat tinggal tapi gaya tetap tak ingin ketinggalan. Sering tetangganya kasak kusuk di belakangku. Ah … Mereka hanya tak ingin melihat ku senang.

Tatapan liar lelaki hidung belang yang giat meneropong kemana arah kaki ini melangkah, malah membuat aku gila pujian.

Aku hidup bebas. Ditambah kedua orang tuaku yang tak lagi bersama. Saat aku bertanya alasan perpisahan mereka. Dua makhluk tuhan itu enggan tuk menjawab. Mulut yang berhak mengeluarkan kata mendadak terkunci. Tak terima, aku lalu bertanya lagi. Apakah mereka menyayangiku? mereka kompak menjawab, kami akan tetap menyayangimu, meski kami tak lagi bersama. Aku sadar bahwa itu hanyalah kata yang menguap tanpa makna.

Hati, dipaksa memilih. Meski aku pun tak perduli. Kedua orang tua itu sama saja. Dan dari hasil menghitung kancing baju, aku akhirnya memilih, ibu. Perempuan yang terpilih namun tak pernah hadir menemani.

Diri ini tumbuh dalam kasih sayang Si Mbah. Tak pernah terdengar teguran. Aku bahagia, tapi kebahagiaan dan kebebasan ternyata menjadi bom waktu yang siap meledak kapan pun dia suka.

Aku lupa diusia berapa aku mulai menjaja cinta. Melanggar norma untuk buaian napsu belaka. Tak ada yang menetap. Para lelaki bodoh itu datang silih berganti. Tergantung mauku, kapan aku ingin mereka pergi.

Cukup … Mereka muak dan akhirnya petaka itu terjadi …

***

Kehadiran Yudi bagai pangeran berkuda dari istana. Mengendap-endap di semak belukar. Tajam manik hitam itu memperhatikan. Tiba-tiba, jari jemarinya melesatkan panah, bidikan tepat mengenai jantung gadis jelata. Gadis jelata itu aku. Aku terkena panah asmara, tak dapat ku tolak pesonanya.

Dari semua pemuda yang kukenal. Yudi, luar biasa, anak kota. Cara berdandannya masa kini. Kulitnya seputih susu, satu tingkat di atasku. Siapa yang tak terkesima dengan cowok sebening itu? Gadis desa jelata ini bagai sapi di cocok lubang hidungnya! Sungguh tak bisa kemana-mana, setengah mati mencintai. Sekali mulut Yudi berkata, semua bagai sabda.

“Sih, kamu tahu valentide day?”
Pertanyaan Yudi keluar bersamaan dengan jatuhnya milyaran bulir hujan.

Alis mata ini berkerut. Mengingat, mencari jawaban yang tepat. Aku jelas tak mau kelihatan lugu. Yudi pasti bangga memiliki kekasih meski gadis desa, tapi serba tahu.

“Aku tahu. Kebiasaan anak muda kota. Katanya merayakan hari kasih sayang. Benar kan?”

Yudi mengangguk lalu menoleh. Senyuman tipis mengembang. Matanya tajam memperhatikan. Risih aku melihat caranya memandang, tapi entah kenapa aku suka.

Bulir hujan turun semakin gencar. Menemani sore hari dengan kekasih tersayang. Beberapa pasang mata berjalan sambil memperhatikan. Seperti biasa, aku dan Yudi tak begitu menghiraukan.

“Sih, kamu mau aku ajak jalan-jalan di hari valentine?”

Ajakan Yudi membuat tubuh ini melayang, lalu terdampar di gumpalan awan. Bunga mawar merah jambu menghias sekelilingnya. Kuhirup aroma harum. Senyum bahagia terus mengembang.

Untuk pertama kali pemuda kota ini mengajakku pergi. Di hari spesial. Hari kasih sayang. Februari tanggal empat belas akan menjadi tanggal yang akan aku kenang.

Yudi melangkah menuju besi beroda empat yang bisa berjalan. Kendaaran itu membuatku semakin tak ingin lepas darinya, meski selama dua bulan menjadi kekasih Yudi, aku sama sekali tak pernah merasakan nikmat berada di dalamnya.

Yudi kembali dengan membawa satu bingkisan berpita pink. Diserahkan kotak itu padaku sambil berkata, “besok kalau keluar sama aku, kamu pakai ini, ya.”

Mataku berbinar. Mengangguk. Seperti ku bilang, kata-kata Yudi bagai sabda, dan aku kembali mematuhinya.

***

Harum melati merebak memenuhi kamar, yang beberapa cat dindingnya telah terkelupas.

Dari kaca lemari pakaian, aku melihat diriku begitu senang. Senyum mengembang bersama gerakan. Menari, berputar sambil mendekap kardus berwarna hitam. Aku ketagihan, ku hirup lagi semerbak aroma bunga on suci dengan tarikan napas panjang. Mata ini terpejam.

Perlahan aku duduk di tepian kasur. Memangku hadiah istimewa berpita merah muda. Tanganku bergerak, menarik lembut dua sisi pita. Perlahan, tak terburu-buru. Kunikmati perpindahan waktu.

Pita terlepas. Kembali kedua tanganku bergerak mengangkat penutup kotak. Kain warna jingga terlihat, dengan secarik pesan bertuliskan, “kamu terlihat cantik memakai gaun ini.”

Senyuman manis ini mengembang. Kubentangkan gaun berbahan sifon tipis nan mahal. Aku berani, tapi tak pernah menggunakan pakaian seminim ini. Kutempelkan gaun di badan, sambil menatap kaca. Memperhatikan diriku sendiri. Ningsih kau mempesona.

Kebersamaan indah bersama Yudi terlintas. Keindahan tak hanya semu, tapi juga menyesatkan. Si Mbah harus tahu, kalau cucu tersayang pintar mencari pasangan.

“Mbah … Si Mbah.”
Aku berteriak sambil melangkah mendekati sosok perempuan tua itu berada. Kudapati dia di depan rumah sedang menerima tamu saudara jauh, Bulek Sri bersama suaminya.

“Mbah … Lihat gaunku ini, bagus ya? Ini hadiah dari Yudi. Dia minta aku pakai baju ini, saat nanti pergi di hari valentine.” Aku seperti balerina di depan Si Mbah. Berputar-putar.

Seperi biasa, Si Mbah memandangku, tersenyum tipis lalu mengangguk dan berdehem. Tapi tidak dengan Bulek Sri. Tatapan matanya tajam. Menjelajahi tubuhku dari kepala sampai mata kaki. Tatapan itu membuat berhenti.

***

Bulek Sri memintaku duduk. Enggan, tapi tak sanggup ku mengelak. Dengan terpaksa tubuh ini mengabulkan permintaannya.

Entah mengapa aku takut menatap tajam mata itu meski terlukis senyum di bibirnya.

“Sih, kamu cantik,” puji Bulek Sri.

“Terima kasih, Bulek,” jawabku datar.

“Lebih cantik lagi kalau pakai kerudung.”

Senyum terpaksa tersungging. Kalimat itu bagai petuah kuno yang tak ingin ku dengar, dan membuat batin mulai berontak.

“Ini, baju dari pacarmu, Sih?”
Tangan Bulek Sri mengusap gaun yang kupakai.

“Iya, Bulek. Ini dari Yudi. Anak kota,” jawabku antusias. Aku selalu merasa bersemangat jika berbicara tentang sosok tampan itu.

“Tadi Bulek dengar kamu mau pergi? Di hari valentine, ya?”

Aku mengangguk. Ingin aku memberitahu apa itu valentine day. Namun sebelum mulutku terbuka. Bulek mendahuluiku bicara. Dia mulai mengatakan bahwa valentine day bukan budaya Islam, dengan tuntutan sejarahnya.

Siap-siap telinga ini harus mendengarkan khutbah yang membosankan.

Meski aku sudah berpura-pura tak mendengar, saudara perempuan ibu itu terus saja bicara. Tatapan mataku terbuang pada rumput gersang depan rumah. Entah kenapa, tumbuhan hijau itu menjadi lebih indah dari biasanya. Tanaman liar tak terurus terlihat berbunga, lebih mencuri perhatian dari pada menatap perempuan berkerudung yang duduk di hadapan.

Panjang dia mengeluarkan petuah-petuah suci, agar aku mengikuti sarannya untuk tidak pergi dengan Yudi di hari yang aku anggap istimewa. Dia meminta Si Mbah untuk melarang ku pergi, dan itu membuat aku marah.

“Nggak mau! Ningsih tetap akan pergi, meski Si Mbah iijinkan atau tidak! Dan Bulek Sri, dengar, ya … Tidak usah ceramahi aku! Urus saja anak Bulek sendiri! Ningsih itu, sudah cukup besar untuk tahu mana yang baik atau tidak buat diri sendiri. Ngerti!”

Aku bangkit, lalu mendorong kursi kayu itu dengan keras sampai terjatuh. Langkah kakiku menghujam lantai yang masih belum terpasang tegel. Tak ku perdulikan Si Mbah dan Bulek Sri yang terus menatap bagian belakang tubuhku yang berlalu semakin menjauh. Senyum kebahagiaan terukir, aku telah mengalahkan perempuan tua yang mencoba menghalangai kesenanganku.

***

Ayam jantan tetangga mulai membuat gaduh karena ulah pongahnya memamerkan suara. Belaian angin terasa lebih dingin dari biasa. Langit terlihat hitam, bersih belum tersaput awan. Semburat sinar sang mentari belum menyembur ke empat penjuru arah, namun gerombolan lidi panjang sudah menggesek-gesek tanah merah. Pasti itu pekerjaan Mbah Karti samping rumah.

Netraku menatap langit-langit kamar yang mulai retak, lalu beralih pada kertas putih yang menggantung pada paku karatan di dinding. Ada foto perempuan dewasa duduk di sana, duduk di atas motor besar dengan gaya yang luar biasa.

“Tanggal empat belas Februari …,” aku berteriak kencang.

Melompat dari kasur kapuk dengan semangat membuatku terjatuh. Dengan cepat berdiri, membersihkan bekas kotoran ubin sambil meringis menahan sakit.

Mulai ku buka lemari pakaian yang berjarak beberapa langkah dari tempat tidur, lalu mengambil gaun yang akan kukenakan nanti malam. ‘Duh … Cantiknya’ bisikku puluhan kali. Langsung memeluk, mencium dan menggantungnya.

Begitu ceria dan gembira hari ini. Dari pagi, tangan sudah lincah menari di seluruh permukaan wajah. Menempelkan bahan apa saja, dan dengan berbagai macam cara supaya kulit muka nampak bercahaya.

Mondar-mandir langkahku di rumah yang ukurannya sangat sederhana hingga membuat Si Mbah curiga, lalu bertanya, “kamu ini kenapa, Sih?””

“Lho … Si Mbah nggak ingat, ya. Hari ini kan valentine day, hari kasih sayang. Aku nanti mau pergi sama Mas Yudi. Berdua. Merayakan seperti anak-anak kota itu lho, Mbah.”

Si Mbah, manggut-manggut dengan raut wajah tak paham. Menatap Si Mbah yang bingungalah membuat pipiku merona. Aku berlalu meninggalkannya.

Ponselku membunyikan pesan singkat masuk. Yudi, si pengirim pesan. ‘Sih, jangan lupa nanti malam. kamu dandan yang cantik ya’ pesan singkat Yudi, membuat gugup.

Benda langit yang muncul dari horizon timur tergelincir indah ke sisi berlawanan. Jingga membuat hamparan langit nan luas terlihat indah. Seindah suasana hati yang tak sabar menanti sang arjuna.

****

Cahaya yang berkelebat cepat dari langit, berkali-kali mencambuk bumi. Suara geluduk bergemuruh, tanda malaikat mengepakkan sayapnya yang besar. Air sengaja ditumpahkan dari hamparan langit luas tak berbatas. Permukaan tanah pun jadi tak terlihat lantaran tergenang.

Si Mbah duduk kursi sambil menjahit bajunya yang sobek dengan tangan. Sedang aku, berdiri di depan jendela, dengan mata tak berpaling sedikit pun dari menatap hujan.

“Sih, kamu nggak usah pergi, ya. Si Mbah takut kalau nanti ada apa-apa di jalan.”
Si Mbah mencoba mencegahku pergi.

“Nggak pergi gimana sih, Mbah! Sudah dandan cantik begini, masak nggak jadi pergi?!”
Sekejap netraku memandang Si Mbah yang menusuk kain dengan jarum.

Bibirku terus mengutuki hujan yang turun tanpa permisi. Datang tiba-tiba, dan seenaknya mengacaukan semua. Aku yang sedari tadi berdandan cantik, akhirnya harus rela menunggu Yudi. Hujan membuat dia datang terlambat.

“Kamu nggak lihat hujan besar seperti itu? Perasaan Si Mbah juga nggak enak lho, Sih.”

Tangan Si Mbah berhenti menjahit. Matanya memandang ku dari tempat duduk rotan. Lama dia menatapku, lalu kembali melihat baju yang sobek.

“Nggak mau! Aku mesti berangkat! Kasihan Yudi kalau nggak jadi pergi!”

Aku gusar. Ngotot. Menatap jarum jam, namun kembali menatap rinai hujan yang enggan berhenti.

Tak lama, suara klakson mobil berbunyi. Sorot lampu dari mobil yang berjalan mendekat. Sebuah mobil city car berhenti di depan.

Dari jendela, aku melihat siapa yang datang. Lelaki pujaan. Aku begitu senang sampai melonjak-lonjak dan bertepuk tangan.

“Sih, ini sudah jam delapan malam. Kamu tetap mau berangkat?”
Si Mbah meletakkan bajunya yang dijahit, lalu berjalan mendekatiku.

“Iya, Mbah. Itu Yudi sudah datang.”

Si Mbah berjalan dan berdiri tepat di hadapanku yang berlalu mengambil tas dan sepatu. Dari jendela, mata tuanya menatap Yudi yang duduk di depan, sambil menyalakan sebatang rokok. semenit kemudian, asap putih membumbung ke udara. Lelaki muda itu memang tidak mau masuk ke dalam rumah, atau bertemu Si Mbah.

“Ya sudah, tapi hati-hati. Jaga diri. Nanti kalau sudah selesai cepat pulang,” pesan Si Mbah menoleh padaku, lalu masuk dalam kamarnya..

Ku pakai sepatu dan tas yang sudah kusiapkan dari siang, kemudian berjalan keluar.

“Ayo, Mas. Kita berangkat. Nanti mallnya tutup.”
“Mall?”
“Iya, mall. Mas Yudi mau ajak aku makan berdua di mall, kan?”

Yudi tak menjawab. Hanya mengeluarkan segaris senyum. Rokok di antara jari manis dan tengah dibuang ke ubin, lalu diinjak. Aku menatap caranya mematikan benda berasap , kemudian membuntuti Yudi yang masuk dalam mobil.

Dalam perjalan Yudi hanya diam. Matanya terus saja menatap jalan. Dia baru bicara, jika aku bertanya. Lagaknya, seperti tak ada orang di sampingnya.

Perjalanan terasa panjang, dan aku tak tahu Yudi membawaku kemana. Dari balik kaca yang basah, samar-samar kubaca tulisan. Namun, karena tidak dalam bahasa Indonesia, aku lupa mengingatnya.

Yudi sama sekali tak romantis. Tak membukakan pintu mobil, menggandeng tangan, bahkan setangkai bunga pun tak diberikan. Membiarkan aku terus saja berjalan dibelakangnya, yang berjalan cepat.

“Mas, kita dimana ini?” tanyaku sambil menebar pandangan ke sekeliling.
“Sudah ikut aku saja,” Yudi menjawab kasar. Mendengar jawaban Yudi, membuatku cemberut.
“Kita jadi makan kan, Mas?” tanyaku lagi. Aku begitu kewalahan mengikuti langkahnya yang lebar.

Yudi diam tak menjawab. Sedang aku, celingukan melihat sekeliling. Sama sekali tak menemukan jawaban, tentang keberadaanku saat ini.

“Nanti kita makan di dalam.”
Kata-kata Yudi membuat aku senang. Setidaknya, perut yang kubiarkan kosong dari sore, dari, sebentar lagi terisi.

Langkahku terhenti di depan bingkai pintu berukuran besar. Yudi sibuk membuka pintu. Kepalaku menoleh kanan kiri. Sejauh mata memandang, tak kudapati siap-siap selain kami. Rumah besar siapa ini? Dan dimana ini? Hati ini mulai bertanya.

Hari semakin malam. Lampu yang menerangi Aku dan Yudi, hanya sanggup temaram.

“Masuk, Sih,” ajak Yudi.

Aku mengangguk. Masuk ke dalam ruangan berukuran besar. Di sini, cahaya sedikit lebih terang. Meja bulat berisi makanan dan kursi kayu di kedua sisi, menyambut kedatangan kami. Sebuah lilin bersanding dengan vas yang tertancap beberapa tangkai bunga mawar merah. Perasaan mulai terbawa suasana, Yudi ternyata bisa romantis juga. Aku tersenyum tipis.

Makan malam romantis, terasa dingin karena sikap Yudi yang memilih tak banyak kata.

Saat tengah asyik makan berdua, tak tahu dari mana, tiba-tiba lima lelaki masuk ke dalam rumah tanpa permisi. Aku terperanjat sambil berteriak menanyakan siapa mereka? Tapi Yudi bersikap ramah, seperti sudah kenal sebelumnya.

Yudi dan lima orang pemuda menjauh. Mereka berbisik-bisik seperti merencanakan sesuatu. Meski daun telinga kubuka lebar, aku sama sekali tak mampu mendengar apa yang mereka katakan. Melihat salah satu lelaki berbicara, namun mata tajamnya menatapku, nyali ini ciut.

Yudi menghampiriku bersama lima temannya. Badanku mengkeret karena takut. Detak jantung bergerak lebih cepat. Langkah kaki mereka semakin dekat.

Aku bangkit. Mundur perlahan. Satu langkah kaki mereka ke depan, bersama itu juga kakiku mundur ke belakang. Butiran keringat mulai membasahi dahi. Aku berteriak, sekuat tenaga. Percuma, tak akan ada yang mendengar. Mata-mata mereka setajam elang, menatap mangsa dan menunggu saat tepat untuk diterkam. Di saat itu batinku berkata, Tuhan … Aku takut.

Sendirian dan tak sanggup melawan mereka berenam. Dalam rinai hujan yang turun dengan deras, diselingi gelegar petir yang menyambar, aku tak lagi bisa berteriak dan membiarkan mereka bersenang-senang. Mata ini hanya mampu menatap langit dinding dengan linangan air mata yang bercucuran. Kehancuran ku nyata, disaksikan oleh guliran air mata yang terjatuh.

Comment