Amilatul Fauziyah*:Feminisme Tidak Akan Sanggup Wujudkan Keadilan

Opini656 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Bulan Maret disebut-sebut bulan perempuan, karena diperingatinya Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret. Di Indonesia sendiri sudah tiga tahun gerakan Women’s March digelar setiap Hari Perempuan Internasional.

Aksi tersebut diselenggarakan bertujuan menjadi wadah aspirasi belum terwujudnya keadilan gender, terutama dari segi pemenuhan hak perempuan.

Berdasarkan fakta pada 2018 buruh Indonesia mayoritas adalah perempuan, yakni sebanyak 60%, maka pemerintah dianggap perlu memberikan perhatian lebih terhadap buruh perempuan.

Tuntutan aksi Women’s March pada 2018 di antaranya tentang perlindungan pekerja RT (rumah tangga) dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Mengingat memang banyak kasus kekerasan buruh migran perempuan. Misalnya seorang buruh asal NTT meninggal di Malaysia akibat kekerasan yang dilakukan majikannya.

Harapan peserta Women’s March adalah Pemerintah bisa membangun sistem perlindungan terhadap pekerja migran, termasuk tata kelola migrasi ke depan yang lebih baik.

Tidak jauh berbeda, Women’s March pada 2019 lalu menuntut pengesahan RUU-PKS (penghapusan kekerasan seksual), peningkatan keterwakilan politik perempuan, dan penerapan perlindungan sosial yang adil gender.

Perempuan dipandang rentan mengalami praktik eksploitatif, perkosaan, human trafficking, gaji tidak dibayar, situasi kerja tidak layak.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Indonesia darurat masalah perempuan. Pada akhirnya aspirasi kesetaraan gender atau paham feminis disuarakan.

Ide kesetaraan gender sebenarnya muncul akibat kondisi yang tidak ideal di mana berkembang budaya patriarki. Dengan kata lain gerakan feminisme merupakan bentuk pertentangan terhadap budaya patriarki di Eropa.

Saat itu perempuan di Eropa mendapat perlakuan diskriminatif, dianggap masyarakat kelas dua, diperjualbelikan, dan hanya sebagai pemuas birahi bagi pria.

Kemudian mereka ingin mengatakan bahwa bentuk fisik dan gender tidak bisa dijadikan alasan perempuan boleh mengalami penindasan.

Mereka pun ingin mendapatkan kebebasan dan hak sebagaimana laki-laki, baik dalam pekerjaan, pendidikan, peran publik, status sosial, dan sebagainya. Lahirlah paham keperempuanan yang tegak atas dasar liberalisme. Feminisme.

Berdasarkan asasnya, feminisme meniscayakan kebebasan berperilaku, yang kemudian juga menyentuh ranah agama.

Kaum feminis menentang syariah berjilbab sebab dianggap mengekang kebebasan. Mereka tidak menerima kewajiban mengurus suami dan mendidik anak sebab dianggap menghalangi karir.

Bahkan dapat kita lihat feminisme ini malah menyuburkan kapitalisasi. Banyak iklan dan perusahaan yang memanfaatkan eksploitasi aurat wanita untuk menarik pelanggan dan keuntungan.

Bukan baju gue yang porno, tapi otak lo! katanya, sungguh miris.

Banyaknya angka perceraian, kasus bullying, pembunuhan suami-istri, anak terjerat narkoba dan seks bebas, besar disumbang oleh paham feminisme yang membuat wanita salah menempatkan diri dan keluar dari kodratnya.

Feminis salah mengindera fakta dan akar permasalahan. Akar permasalahan perlakuan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan, bahkan umat manusia secara umum, adalah karena diterapkannya sekularisme.

Hal yang sama sudah terjadi pada zaman jahiliyah di Mekkah sebelum Rasul Muhammad SAW diutus. Anak perempuan yang baru lahir dibenamkan ke tanah. Orang tua harus memilih antara mengubur anaknya hidup-hidup atau membiarkannya tumbuh namun menanggung kehinaan yang luar biasa.

Setelah Islam menjadi hukum dan peraturan masyarakat, perbudakan perlahan dihapuskan, tidak ada lagi budaya mengubur bayi perempuan. Hanya keadilan yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Syariah berjilbab dan menutup aurat bagi muslimah justru menjaga dan memuliakannya.

Tidak ada diskriminasi antara pria dan wanita dalam Islam. Keduanya sama-sama diperintahkan untuk melaksanakan syariah, menjadi hamba yang taat dan bertakwa.

Begitu juga peran seorang wanita sebagai pengurus suami dan anak-anak merupakan amanah yang mulia.

Karena di balik laki-laki yang sukses ada wanita yang hebat. Menyiapkan pendidikan anak sebagai generasi penerus merupakan hal penting, sehingga wanita sangat boleh berpendidikan tinggi.

Dalam Islam, wanita juga memiliki peran publik disamping peran domestik, yaitu dakwah, kontrol masyarakat dan mengkritisi kebijakan pemimpin.

Dalam Islam, negara wajib menjaga kehormatan dan menjamin keadilan bagi masyarakatnya, tak terkecuali para wanita.

Islam telah lebih dulu datang membawa konsep yang sempurna, termasuk bagaimana memandang perempuan.

Islam memuliakan wanita dan wanita akan mulia dengan Islam. Sebab ia datang dari yang Mahapencipta. Hanya dengan Islam, keadilan bisa diwujudkan.

 

*Mahasiswi Pendidikan Matematika UM, Malang

Comment