Sania Nabila Afifah*: Mengapa Ramai Penolakan RUU Ketahanan Keluarga?

Opini607 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Penolakan RUU Ketahanan Keluarga, ramai perbincangkan. Harapan terwujudnya ketahanan keluarga demi menciptakan keluarga yang harmonis sejahtera di tengah maraknya kekerasan seksual, penyimpangan seksual justru dipersoalkan.

Dikutip dari Liputan6.com, Jakarta Rancangan Undang Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang merupakan usulan dari lima anggota fraksi DPR ditolak dari berbagai pihak.

Dasar dari penolakan lantaran pasal-pasal tersebut menuai kontroversi. Karena dipandang terlalu mencampuri urusan rumah tangga.

Hal yang sama juga dilontarkan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono. Dini menilai ketahan keluarga terlalu menyentuh ranah pribadi.
“saya ngk tahu sih, tapi katanya ada pasal yang mewajibkan anak laki-laki perempuan pisah kamar, ‘terlalu menyentuh ranah pribadi’, ” ujar Dini di Kantor Sekretariat Kabinet Jakarta, Jumat (21/2/2020).

Arus Liberalisasi dan makin banyaknya wujud keberhasilan kampanye liberal, RUU seperti ini dianggap ide mundur menggugat kemampuan (kesetaraan gender, peran publik perempuan, perlakuan terhadap LGBT) serta terlalu memcampuri ranah privat.

Menanggapi polemik RUU Ketahanan Keluarga, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengingatkan, bahwa Indonesia merupakan anggota Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan begitu, seluruh produk Undang-Undang maupun kebijakan harus berdasarkan prinsip dan standar Hak Asasi Manusia (HAM).

“Itu juga berlaku pada RUU Ketahanan Keluarga. Jadi seharusnya RUU Ketahanan Keluarga juga harus berdasarkan prinsip dan standar Hak Asasi Manusia,” kata Beka kepada Liputan6.com, Kamis, 20 Februari 2020.

Lantas apa yang harus dilakukan untuk memperkuat bangunan keluarga dan masyarakat di tengah buruknya dampak hegemoni sistem sekuler demokrasi kapitalisme neoliberal?

Tentu saja banyak yang sudah dilakukan. Namun sayang solusinya masih parsial dan tak menyentuh akar persoalan. Pemberdayaan ekonomi perempuan, penyuluhan prapernikahan, penyuluhan-penyuluhan agama, dan lain-lain, nampak tak mampu menyelesaikan persoalan.

Sebagian kalangan yang memiliki kepedulian pun telah menggagas sebuah solusi dengan membentuk rancangan undang-undang ketahanan keluarga. Isinya, mencoba mengembalikan fungsi keluarga dengan mengukuhkan seluruh aspek pendukung ketahanan keluarga, termasuk memperbaiki dan menguatkan peran, fungsi dan pola relasi suami isteri dan lain sebagainya.

Namun upaya ini pun ternyata memicu pro dan kontra. Yang tak sepakat, menilai bahwa RUU ini terlalu masuk ke ranah privat dan tak sesuai dengan prinsip kesetaraan gender yang selama ini diperjuangkan. Apalagi RUU ini dipandang terlalu kental dengan nuansa ajaran Islam sehingga dipandang tak sesuai dengan spirit kebinekaan yang selama ini diagung-agungkan.

Padahal sesungguhnya, hanya Islam yang mampu mewujudkan ketahanan keluarga, sekaligus mengukuhkan bangunan masyarakat hingga negara. Karena Islam memiliki seperangkat aturan yang menjamin terwujudnya seluruh aspek yang dibutuhkan.

Peran Negara Menjaga Ketahanan Keluarga

Sistem Islam berbeda dengan sistem Kapitalisme. Khilafah Islam adalah sebuah konsep pemerintahan yang didasarkan pada akidah Islam. Seluruh aspek bermasyarakat dan bernegara diatur dengan syariat Islam. Penerapan Islam oleh negara mewujudkan tidak hanya kesejahteraan rakyat, namun juga ketenteraman hidup setiap warganya.

Dalam Islam, sekalipun negara tidak mencampuri urusan privasi sebuah keluarga, akan tetapi negara memastikan setiap anggota keluarga mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik, sehingga mampu melahirkan generasi berkualitas. Negara memastikannya melalui serangkaian mekanisme kebijakan yang lahir dari hukum syariat.

Dalam islam, Negara berkewajiban memastikan setiap individu, keluarga, dan masyarakat bisa memenuhi tanggung jawabnya memenuhi kesejahteraan.

Negara memastikan setiap kepala keluarga memiliki mata pencaharian dan mewajibkan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap perempuan dan anak-anak untuk memenuhi hak mereka dengan baik.
Islam mewajibkan kepada suami atau para wali untuk mencari nafkah (QS Al-Baqarah 233, QS An-Nisa 34), negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki agar dapat memberi nafkah pada keluarga mereka, memberikan pendidikan dan pelatihan kerja, bahkan jika dibutuhkan akan memberikan bantuan modal.

Perempuan tidak harus bekerja keluar rumah dan berpeluang mendapat perlakuan keji. Mereka tidak perlu berpayah-payah mendapatkan uang karena telah dipenuhi suami atau walinya. Islam akan menindak suami yang tidak memenuhi kebutuhan keluarganya dengan baik melalui khalifah.

Meski perempuan tidak bekerja dan tidak mempunyai uang, kedudukan mereka tidak menjadi rendah di depan suaminya dan berpeluang besar dianiaya. Sebab, istri berhak mendapatkan perlakuan baik dari suaminya dan kehidupan yang tenang.

Islam menetapkan bahwa pergaulan suami-istri adalah pergaulan persahabatan. Satu sama lain berhak mendapatkan ketenteraman dan ketenangan. Kewajiban nafkah ada di pundak suami, yang bila dipenuhi akan menumbuhkan ketaatan pada diri istri. Pelaksanaan hak dan kewajiban suami-istri inilah yang menciptakan mawaddah wa rahmah dalam keluarga.

Pelaksanaan aturan Islam secara kâffah oleh negara akan menjamin kesejahteraan ibu dan anak-anaknya, baik dari aspek keamanan, ketenteraman, kebahagiaan hidup, dan kemakmuran.

Dengan penerapan hukum Islam kemuliaan para ibu (kaum perempuan) sebagai pilar keluarga dan masyarakat demikian terjaga, sehingga mereka mampu mengoptimalkan berbagai perannya, baik sebagai individu, sebagai istri, sebagai ibu, maupun sebagai anggota masyarakat.

Peran politis dan strategis mereka pun berjalan dengan begitu mulus, hingga mereka mampu melahirkan generasi umat yang mumpuni, yang berhasil menjadi penjaga kemuliaan Islam dan kaum muslimin dari masa ke masa.

Di pihak lain, anak-anak pun bisa menikmati tumbuh kembang yang sempurna dalam binaan penuh sang ibu yang cerdas dan terdidik, di mana keberlangsungan pemenuhan hak-hak mendasarnya memang dijamin oleh sistem; baik kebutuhan ekonominya, pendidikan, kesehatan maupun keselamatan diri dan jiwanya.

Jaminan ini terus berlangsung hingga anak tumbuh dewasa dan menjadi ”manusia sempurna”.

Sebaliknya, para ibu bisa menikmati karunia Allah berupa kemuliaan menjadi ibu tanpa harus dipusingkan dengan segala kesempitan ekonomi, beban ganda, tindak kekerasan, dan pengaruh buruk lingkungan yang akan merusak keimanan dan akhlak diri dan anak-anaknya.

Semua itu telah dijamin pemenuhannya oleh negara melalui penerapan seluruh hukum Islam yang satu sama lain saling mengukuhkan. Mulai dari sistem ekonomi, politik, sosial, pendidikan, sistem sanksi, dan lain sebagainya.

Mereka akan merasakan betapa indah hidup dengan Islam dan dalam sistem Islam.

Sehingga karenanya, mereka tak akan terpalingkan oleh ide-ide sekuler mana pun –termasuk ide kesetaraan gender– karena semua ide ini justru terbukti melahirkan kerusakan dan berbagai persoalan.

Sedangkan terkait dengan kebutuhan pokok berupa jasa seperti keamanan, kesehatan, dan pendidikan, pemenuhannya mutlak sebagai tanggung jawab negara.

Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiganya termasuk ”pelayanan umum” dan kemaslahatan hidup terpenting.

Negara berkewajiban mewujudkan pemenuhannya bagi seluruh rakyat, di mana seluruh biaya yang diperlukan ditanggung baitulmal.

Adapun mekanisme untuk menjamin keamanan setiap anggota masyarakat adalah dengan menerapkan sistem sanksi (uqûbat) yang tegas bagi para pelanggar.

Jika ada suami yang tidak memenuhi nafkah anak dan istri ataupun melakukan tindak kekerasan kepada istri atau anaknya, maka ia akan diberi peringatan atau sanksi tegas.

Jaminan kesehatan dilaksanakan dengan cara menyediakan berbagai fasilitas, baik berupa tenaga medis, rumah sakit, maupun aspek-aspek penunjang lain yang bisa meningkatkan taraf kesehatan masyarakat dan bisa diakses secara mudah, bebas biaya, atau murah.

Demikian pula dengan pendidikan, di mana negara melaksanakan sistem pendidikan berdasarkan paradigma yang lurus, berbasis akidah yang bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya umat hingga menjadi umat terbaik.

Tentu ini akan semakin memudahkan tugas perempuan sebagai pendidik generasi, sekolah pertama (madrasatul uula) bagi anak. Kaum ibu tidak akan khawatir dengan kesalehan anak yang sudah terbentuk dari rumah kemudian rusak oleh lingkungan sekolah dan sikap guru-gurunya.

Semua fungsi-fungsi negara ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saw., dan dilanjutkan oleh Khulafaur-Rasyidin serta para khalifah sesudahnya. Hingga pada masa itu, seluruh masyarakat tanpa kecuali bisa merasakan kesejahteraan hidup yang tidak ada tandingannya.

Telah sangat jelas bahwa kesakinahan, kebahagiaan dan kesejahteraan hanya bisa diraih dalam keluarga yang menerapkan aturan Islam.

Setiap pasangan suami istri harus memiliki komitmen untuk melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan Islam untuknya.

Keluarga yang terikat syariat dalam menjalani biduk rumah tangganya akan menjadi keluarga muslim pembangun peradaban.

Betapa Islam dengan hukum-hukum syariat yang diterapkan mampu memosisikan umatnya, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa atau anak-anak, pada posisi yang mulia dan terhormat. Wallahu a’lam bishshawwab.[]

*Muslimah Rindu Jannah, Jember

Comment