HTI: Sisi Politik dan Pemberitaan Media [1]

Berita453 Views
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) kian fenomenal. Bak sebuah ayunan, HTI layaknya bandul. Jika dahulu dihina dan dijelekan karena membawa ide utopia. Kini bak hantu, idenya menuju nyata. Jika dahulu dikira sebagai ormas Islam seperti lainnya. Kini bak batu sandungan politik bagi rezim berkuasa. Jika dahulu HTI dipandang dengan mata satu. Kini kedua mata memelototi sepak terjangnya. HTI memang berkelas. Cita rasanya khas dan tak berubah: syariah dan khilafah, meski banyak pihak memberi saran berbeda. 
Banyak pula yang mendorong HTI menjadi partai politik agar bisa ikut parlemen dan merubah konstitusi. Layaknya beberapa partai yang berawal dari ormas, seperti Perindo, Partai NU, Syarikat Islam, dan lainnya. Bahkan, ada yang siap jadi ketua DPC HTI jika jadi partai politik, meski belum tahu dalaman HTI. Ya, manusia boleh usul, tapi HTI lah yang menentukannya. 
Ada anomali besar, tatkala keberadaan HTI dipersoalkan di Indonesia. Benar-benar tidak ada konsisten dalam ucapan dan tindakan. Namanya politik selalu dinamis. Kalaulah bilang khilafah utopia dan ide gila. Lantas, mengapa saat ini HTI dan khilafah menjadi ancaman dengan ragam tuduhan? Sampai-sampai Perppu Ormas disahkan sesegera mungkin. Perubahannya pun menabrak hierarki hukum, serta menjadikan pancasila sebagai pentung.
Fenoma ini menarik jika dikaji dari sisi politik dan media. Pasalnya, tak mungkin HTI menjadi besar jika tanpa rekayasa politik. Tak mungkin pula HTI dibicarakan tanpa ada peranan media, berlepas dari pro dan kontranya.
Sisi Politik
Secara politik, sebuah gerakan massa ekstra parlemen memiliki kualitas yang berbeda ketika di dalam parlemen. Adanya keterwakilan di parlemen, sering menjadikan gerakan di parlemen mandul. Nyaris tanpa suara dan koor bersama. Sebaliknya, gerakan di luar parlemen, memiliki ide dan massa yang secara gagasan fundamental.
Dalam kacamata sosiologi politik, HTI menjadi ancaman rezim. Hal ini dikarenakan, HTI mampu membongkar makar dan kebobrokan politisi yang despotik dan ingkar janji. Meski ada partai oposisi dan koalisi, hal ini tidak menjadi ancaman nyata. Karena, masing-masing mempunyai kartu rahasia untuk saling membuka pada waktunya. Di sisi lain, koalisi dan oposisi merupakan hal biasa dalam berdemokrasi.
Sebaliknya, bagi rezim yang didukung dari kalangan sekular liberal, HTI dianggap memiliki ‘pure ide’ Islam dan ‘enggagment’ dengan rakyat kelas menengah ke bawah. Dua hal itulah yang tidak dimiliki rezim saat ini. Sampai kapanpun Islam Politik akan menjadi musuh bagi rezim. 
Indonesia dalam lintasan sejarah berawal dari Presiden Soekarno dengan kecerdikan politiknya, mampu meredam keinginan tokoh ulama politik dari Islam. Kata Syariat Islam saja dihapus. Hukum-hukum Islam dikotakan sebatas pernikahan dan waris. Masa orde baru, Presiden Soeharto dengan tangan besinya menutup segala pintu berbau Islam. Umat Islam ketika terus ditekan, ada gumpalan kemarahan yang siap meledak. Hal ini akhirnya disadari pada tahun 90-an yang akhirnya Soeharto menunaikan ibadah haji dan membentuk ICMI. Sikapnya mulai melunak. Soeharto paham betul, mustahil dia bisa bertahan selama 32 tahun jika tanpa dukungan umat Islam. Gerakan Islam politik maupun gerakan lainnya di masa orde baru perkembangannya tak signifikan.
Secara politik, rezim manapun ketika menghadapi HT dibuat ketar-ketir. Gagasan lugasnya dalam persoalan politik di semua bidang tak terelakkan, yang akhirnya membuat kocar-kacir bangunan politik. Memiliki kuasa memang bisa berbuat apa saja. Aturan bisa dimodifikasi sesuai selera dan kepentingan. Terkadang, dengan ketidaksiapan intelektual menghadapi HT, akhirnya dibuat-buat alasan. Publik pun memahami bahwa rezim telah kalah secara intelektual dalam gagasan konsep politik menyelesaikan persoalan rakyat.
Ada hal unik memandang HT dari sisi politik:
Pertama, gagasannya sering dipandang radikal karena mengakar. Semua buku panduannya bisa dibaca oleh siapa pun dan tersebar luas. Ada pula yang terkagum-kagum dengan isi bukunya yang menunjukan sebagai gerakan berkelas. Di sinilah sering, orang yang benci dengan gagasan HTI tak mau berdiskusi secara jantan dan intelektual. 
Kedua, tindakan dan aktifitasnya begitu santun, damai, dan menentramkan jiwa. Seringnya orang lain menuduh HT hanya berdasar asumsi. Kalau begini, nanti begitu. Kalau begitu, nanti begini. Keberadaan HT juga tak pernah berbuat onar, apalagi sikap arogan dalam tindakan di luar. Di sinilah tampak HT mendapat simpati dan hati rakyat. Jika dikaitkan dengan keterikatan hukum Islam, maka HT konsisten dalam perjuangannya.
Ketiga, Khilafah yang sering digaungkan oleh HT sebagai entitas negara, sesungguhnya telah menjadi bahan kajian di kalangan ilmuwan politik persoalan kenegaraan. Nah, harus ada uji publik terkait dengan konsep khilafah jika dibandingkan dengan negara kesatuan dan republik. Sayangnya, pembahasan konsep kenegaraan secara intelektual ini sering diaborsi oleh kepentingan politik. Rakyat yang tidak memahami politik akhirnya dibuat takut dengan gagasan Khilafah. Jika sudah menghilangkan nilai intelektual dalam kajian, lalu di mana bentuk netralitas dalam kaca mata akademik? 
Keempat, keberadaan HT di Indonesia menjadi wahana tersendiri dalam nuansa pergerakan. Jika banyak gerakan atau kelompok yang menjauhi sisi politik, justru HT konsisten dengan gagasan politiknya. Politik yang dipahami HT yaitu cara mengurusi rakyat dengan syariah Islam dalam lingkup kehidupan. Baik dalam negeri, maupun luar negeri. Jika diamati, seringnya gerakan atau kelompok Islam di Indonesia lebih memilih jalur pendidikan, kesehatan, panti asuhan, sosial, thoriqoh, sufiyah, dan lainnya. Keunikan HT mampu meramu konsep Islam dan politik dalam gerakannya yang sistemis dan dinamis. 
Karenanya, secara politik HT bisa menjadi tantangan dari Partai Politik yang terdaftar di KPU untuk membuktikan keberpihakannya pada rakyat. Begitu pun menjadi tantangan bagi kelompok dan gerakan Islam untuk mampu menjawab solusi dari problematika hidup yang mendera umat Islam. Ini bukan persoalan banyak-banyaknya jumlah. Lebih pada persoalan politik untuk memandu umat keluar dari kejumudan berfikir dalam perubahan. [Bersambung…..]
Penulis: Hanif Kristianto 
Analis Politik dan Media

Comment