Herliana, S.Pd*: Tiada Asa Untuk Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Opini574 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Nasib guru nampaknya akan semakin suram terlebih bagi guru honorer. Pasalnya. sejak wacana penghapusan guru honorer oleh pemerintah pusat dan DPR digaungkan, para guru khususnya honorer resah akan nasibnya.

Belum tuntas masalah gaji yang tidak sepadan dengan beban kerja dan nunggak berbulan-bulan ditambah akan ditiadakan alias dihapus status honorer karena dianggap memperberat anggaran pusat.

Penghapusan tenaga honorer sendiri sudah disepakati Kementerian PAN-RB dan BKN dengan Komisi II DPR. Ke depannya, pemerintah juga mengimbau kepada seluruh pejabat negara untuk tidak merekrut tenaga honorer.

Apalagi larangan tersebut sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 tahun 2005 Pasal 8. Sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 5 tahun 2014 tentang aparatur sipil negara (ASN), yang dimaksud ASN adalah PNS dan PPPK. Di luar itu maka tidak dianggap.
(https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4873047/tjahjo-sebut-tenaga-honorer-jadi-beban-pemerintah-pusat).

Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyid mengkritik rencana pemerintah menghapus tenaga honorer yang bekerja di lingkungan pemerintahan.

Unifah menilai sekolah akan lumpuh bila tenaga dan guru honorer dihapuskan oleh pemerintah.(https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200122131543-20-467621/pgri-sekolahlumpuh-jika-tenaga-honorer-dihapus-sekarang)

Pemerintah menyebut ini bukan penghapusan tetapi peningkatan status pegawai dari honorer menjadi PNS/ ASN melalui seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Namun, hingga saat ini belum jelas apakah seluruh pegawai honorer dapat diangkat menjadi pegawai P3K, karena masih menunggu petunjuk teknis (Juknis) dari pemerintah pusat.

Alih-alih menyelesaikan masalah, kebijakan ini justru menambah ruwet masalah. Dari data Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengumumkan kuota penerimaan CPNS dan PPPK yang dibutuhkan oleh pemerintah tahun ini totalnya ada 254.173 lowongan di pemerintah pusat dan daerah. (tribunnews.com, 12/7/2019).

Sementara Ketua Forum Honorer Kategori 2 Indonesia (FHK2I) Titi Purwaningsih mengingatkan pemerintah masih punya kewajiban mengangkat 380 ribu orang pegawai honorer K2 menjadi pegawai negeri sipil (PNS). (cnnindonesia.com/nasional/22/2/2020).

Inilah potret suram dan realita dunia pendidikan di indonesia. Status guru yang harusnya menjadi profesi mulia sebagai pemberi ilmu justeru dianggap membebani negara.

Padahal profesi seorang guru tidaklah mudah. Guru tidak sekedar mentransfer pelajaran, tetapi memastikan ilmunya diterapkan agar kelak menjadi generasi berakal dan berkepribadian luhur sebagaimana tujuan pendidikan nasional yang termaktub dalam UU No.20 tahun 2003.

Namun sangat disayangkan bahwa model kebijakan pendidikan di indonesia justeru melenceng dari Undang undang yang digariskan tersebut. Pendidikan mengalami distorsi dan disorientasi.

Kebijakan dan orientasi pendidikan lebih cenderung bertolak dari model kapitalis yang hanya melihat sisi untung rugi belaka.

Keberadaan guru honorer dimaksudkan untuk mengurangi jumlah pengangguran namun sekarang dengan kondisi ekonomi nasional yang kurang kondusif, eksistensi guru honorer menjadi beban bagi pemerintah.

Dihapusnya guru honorer memberi gambaran bahwa negara tak mampu menyelesaikan masalah penyaluran tenaga kerja dan lagi lagi yang dikorbankan adalah rakyat.

Para guru harus berjuang mengadu nasibnya tanpa jaminan kesejahteraan yang pasti. Hilanglah asa bagi sang pahlawan tanpa tanda jasa. Pahlawan bagi generasi bangsa.

Kondisi yang sangat jauh berbeda bila kita bercermin dengan dengan sebuah kondisi saat islam di masa keemasannya.

Sejarah telah mencatat bahwa guru dalam masa peradaban dan kejayaan islam dengan model pemerintahan khilafahnya ditempatkan pada posisi dan mendapatkan penghargaan tinggi dari negar dengan pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya.

Di riwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dar al- Wadl-iah bin Atha, bahwasanya ada tiga orang guru di Madimah yang mengajar anak-anak dan Khalifah Umar bin Khattab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas; bila saat ini 1 gram emas Rp. 500 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar 31.875.000). Sangat fantastis.

Peradaban islam telah membuktikan sebuah penghargaan yang sangat tinggi terhadap guru yang memiliki peran penting dalam proses pendidikan. Guru tidak lagi dikenal dengan sebutan honorer di saat itu.

Dengan demikian, guru dapat melaksanakan seluruh rangkaian tugasnya secara maksimal karena jaminan kesejahteraan yang memadai. Guru tidak lagi dipusingkan dengan mencari tambahan di luar profesinya.

Bahkan guru dalam sejarah kejayaan islam saat itu memperoleh sarana dan prasarana secara cuma cuma untuk menunjang kemajuan profesionalitas dalam mengajar.

Selain gaji yang besar, mereka juga mendapatkan kemudahan untuk mengakses sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas mengajarnya.

Hal ini tentu membuat guru bisa fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM berkualitas yang dibutuhkan negara untuk membangun peradaban dan generasi yang agung dan mulia.

Sayangnya, kisah kesejahteraan guru seperti di atas hanya menjadi sebuah mimpi di siang hari.

Sungguh bahwa kesejahteraan guru hanya bisa didapat bila kita memiliki kemauan besar mencontoh dan menerapkan kebijakan yang pernah ditempuh oleh para pemimpin di masa kejayaan islam dahulu.

Kapitalisme meninggalkan jejak buruk bagi pejuang dan pahlawan tanpa tanda jasa.[]

*Penulis adalah anggota konunias menulis Revowriter

Comment