RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Pada tanggal 3 Februari 2020 Turki mengatakan bahwa enam tentaranya ditembak mati pasukan pemerintah Suriah di bawah kepemimpinan Basar Al Assad.
Turki merasa heran ada pasukannya yang ditembak oleh rezim Suriah padahal kehadiran mereka di Suriah untuk membantu rezim setempat memberantas mujahidin pemberontak.
Seperti diberitakan oleh kantor berita Reuters, ketika Turki menganggap bahwa Rusia dibalik penyerangan militer Suriah ke pasukan Turki di Kota Sarakib 9 Km arah Timur Kota Idlib, Rusia mengatakan bahwa hal itu terjadi karena pasukan Suriah tidak mengetahui keberadaan pasukan Turki di Idlib.
Turki menganggap Rusia berbohong karena Turki selalu memberikan informasi kepada Rusia setiap saat tentang keberadaan mereka.
Apakah akan terjadi konfrontasi militer balasan yang nyata antara Turki dengan Pasukan Pemerinta Suriah dengan Rusia? Atau kejadiannya seperti Jenderal Soleiman Qosani, pimpiman Garda Quds Iran yang setelah tewas tak nampak pembelaan dari Iran untuk menggerakkan segenap usahanya menyerang AS.
Sebelumnya perlu diperhatikan dulu awal mula perang atau krisis Suriah. Peristiwa ini bermula pada tahun 2011 ketika arah Arab Spring (Revolusi Arab) tidak berjalan dengan baik di Suriah. Revolusi yang ingin terjadi di negeri ini termyata memerlukan waktu yang sangat panjang.
Presiden bergaya diktator, Basar Al Asad, berhasil mempertahankan jabatannya dari serangan Mujahidin Suriah. AS terlibat di Suriah bukan saja karena kepentingan eksplorasi minyak bumi namun juga untuk menyelesaikan konflik Presiden Basar dan Kubu Mujahidin yang dianggap pemberontak oleh AS.
AS pun didukung oleh militer tiga negara yakni Turki, Iran dan Rusia. Diduga keterlibatan Turki di Suriah adalah mendukung kepemimpinan Presiden Basar, bukan karena kesamaan agama.
Buktinya Turki tidak mengerahkan pasukannya untuk menyerang Israel sebagai penjajah Palestina. Diduga Turki tak memandang Israel sebagai kekuatan yang akan mengancam negerinya.
Sedangkan Iran telah terbiasa mengirimkan pasukannya untuk melindungi Presiden Suriah. Bagi mereka Presiden Basar adalah sekutu yang paling menguntungkan bagi Iran dan sebagai perisai Iran di Utara Timur Tengah.
Adapun Rusia sangat loyal menjadi sahabat Presiden Basar dengan. Kantor Berita Reuters memberitakan Rusia rajin menjatuhkan ribuan bom di Suriah dalam rangka memperkuat rezim Suriah.
Amerika Serikat tentunya memahami setiap aktivitas politik negara di dunia demi menjaga posisi adidaya negaranya tidak diambil pihak lain.
AS membiarkan Turki, Iran dan Rusia memasuki kota-kota di Suriah guna menghabisi Mujahidin. Padahal AS sebagai polisi dunia yang tahu Rusia adalah lawan politik, Iran punya senjata nuklir dan Turki mengancam menghabisi Israel.
AS juga tahu penggunaan senjata kimia yang mematikan oleh Rezim Basar Al Asad di Ghouta pada tahun 2017 namun enggan memberikan sangsi kepada rezim Suriah itu.
Namun, AS membiarkan kejadian demi kejadian militer asing di sana untuk penghematan biaya militernya. AS menambahkan ribuan pasukannya di pangkalan militernya di Arab Saudi, sebagaimana yang dilansir Cnbc Indonesia. AS berharap bisa terus menguasai ladang minyak di Timur Tengah dan menghalang kebangkitan mujahidin di Suriah, Irak dan Afghanistan.
Ada dugaan kuat AS membentuk ISIS di Suriah untuk melawan dan mencitraburukan Mujahidin di Suriah. AS juga menggunakan “konfliknya” dengan Iran agar pasukannya tetap bertahan di Irak. Irak terpengaruh dengan “ancaman” yang akan datang dari Iran.
Namun ISIS tak berhasil di Suriah. Sama seperti kasus Al Qaidah di Irak yang ternyata adalah kekeliruan besar. ISIS pun sampai saat ini belum berhasil ditumpas walaupun tentara gabungan AS, Rusia, Iran dan Turki telah menyisir setiap wilayah Suriah. ISIS malah bebas menyerang faksi-faksi militer mujahidin di Suriah untuk membantu pasukan militer rezim Basar Al Asad.
Sikap diam AS terhadap tiga negara koalisi di Suriah ini tak seperti sikap Inggris yang banyak berseberangan dengan Inggris. Media Inggris banyak menyoroti kasus yang terjadi di Suriah.
Kantor berita Reuters milik Inggris selalu menanyangkan berita tentang Suriah dan konflik-konfliknya. Sedangkan harian Times milik Amerika lebih menyuarakan pada kasus impeachment (pemakzulan) terhadap Trump dan kasus Virus Corona (diduga sebagai strategi menghancurkan China via opini dan ekonomi).
Semoga Suriah cepat keluar dari perang dan menjadi kondusif. Sebab rakyatlah yang selama ini menderita menjadi korban perang kehilangan harta, keluarga dan nyawa. Semoga Suriah segera bebas dari “hutan rimba” karena kepentingan bisnis minyak bumi negara tertentu.[]
*Pemethati politik asal NTT
Comment