Aisyah Karim, S.H*: Netflix Antara Solusi Dan Dualisme Sikap YLKI

Opini734 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA -Beberapa hari belakangan, isu blokir perusahaan asal Los Gatos California, Netflix melambung.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta agar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk memblokir konten-konten yang bermuatan pornografi, SARA, hingga Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT) dan melanggar norma kesusilaan yang ada di Netflix.

Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo mengatakan Kemenkominfo memiliki wewenang untuk melakukan pemblokiran sesuai dengan Undang-Undang ITE.

Kewenangan take down seperti dikutip laman cnnindonesia (21/1/2020), ada di Kominfo. Seharusnya tanpa perlu menunggu laporan dari masyarakat, Kominfo wajib melakukan monitoring. Kalau itu bertentangan minimal menegur atau bisa take down Netflix.

Jadi ancaman take down itu bisa memperkuat posisi tawar Indonesia,” kata Sudaryatmo dalam sebuah diskusi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (20/1). Selain itu, Sudaryatmo juga meminta agar pemerintah bisa mengedukasi masyarakat di Indonesia serta menekankan parenting guideline.

Netflix Mesin Uang Kapitalis

Kehadiran Netflix di Indonesia menjadi berkah bagi para pecinta film. Apa itu Netflix?

Netflix adalah pelopor layanan sewa film online, didirikan sejak 1997, Netflix mengakomodasi arsip film paling lengkap dengan wilayah pengoperasian terbanyak.

Netflix menyediakan layanan yang memungkinkan pengguna menonton tayangan kesukaan di manapun, kapanpun dan dapat diakses medium apapun (smartphone, smartTV, tablet, PC dan labtop).

Netflix ibarat toko penyewaan DVD, tetapi menawarkan film digital di dunia maya. Netflix bisa juga disamakan dengan layanan video berbayar di You Tube. Mirip langganan televisi berbayar (cable tv), Netflix bersih dari iklan, penonton tak perlu menunggu jadwal penayangan serial televisi, dan bisa menentukan sendiri konten yang ingin dinikmati.

Kemudahan akses netflix dibayar dengan harga berlangganan yang relatif murah, mulai dari Rp 109 ribu. Netflix sendiri sudah tersedia di 190 negara, termasuk Indonesia.

Hingga akhir tahun ini, layanan yang didirikan Marc Randolph and Reed Hastings tersebut menargetkan 200 negara. Pada November 2018 Netflix mencatat rekor pendapatan terbesar dalam sejarah perusahaan.

Menurut Laporan TechCrunch, Netflix meraup pendapatan sebesar USD 86,6 juta.

Kapitalisme Membunuh Idealisme

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, Dr. Seto Mulyadi, S. Psi., M. Si, menyebut dirinya prihatin dengan fenomena Netflix. Menurutnya, pencegahan agar anak-anak tak terpapar konten negatif bukan sekadar tugas orangtua.

Pemerintah dan operator telekomunikasi seharusnya memiliki kewajiban yang sama untuk melakukan pencegahan peredaran konten semacam ini di Indonesia.

Kak Seto mengapresiasi langkah Telkom dan Telkomsel memblokir layanan Netflix. Menurutnya langkah Telkom merupakan wujud kepedulian sosial Telkom grub untuk menjaga kepentingan nasional khususnya menjaga tumbuh kembang jiwa anak.

Lain halnya denga YLKI, meski khawatir dengan konten-konten yang melanggar norma kesusilaan namun YLKI tidak menyetujui solusi pemblokiran.

Pemblokiran Netflix saat ini dilakukan oleh Telkom Grup, bukan oleh negara. Oleh karena itu, Sudaryatmo meminta agar masyarakat membedakan antara pemblokiran oleh korporasi dengan pemblokiran oleh negara.

Apabila memang alasannya karena konten, lebih baik Telkom atau penyedia jasa internet lain tidak melakukan pemblokiran tapi melakukan edukasi konsumen terkait batas-batas umur tayangan.

Pernyataan YLKI yang tidak menyepakati pemblokiran menunjukkan bahwa YLKI setengah hati merumuskan solusi.

Satu sisi lembaga perlindungan konsumen ini mengkhawatirkan moral masyarakat rusak oleh tayangan Netflix yang ugal-ugalan, namun menolak untuk di blokir dan hanya menginginkan `diatur’ saja.

Mengapa YLKI bersikap pragmatis? Tentu saja ini tidak lepas dari supply dan demand terhadap Netflix itu sendiri. Inilah kapitalisme, apapun bisa di kompromikan sepanjang hal tersebut menguntungkan.

Dalam hal ini Kominfo diminta untuk tidak fokus pada blokir melainkan pajak Netflix yang harus dikejar.

Konten asusila memang memenuhi sajian Netflix, kapitalis tidak pernah peduli soal moral ambyar atau soal rambu-rambu syariat. Realitas ini bahkan telah hadir sejak bisnis ini dimulai.

Fakta bahwa para pelanggan pertama Netflix mendapatkan konten porno bukan isapan jempol.

Melansir dari IDN TIMES, Tahun 1998 Marc Randolph, co founder Netflix ingin menawarkan video rekaman Presiden Bill Clinton memberikan testimoni mengenai keterlibatannya dengan Monica Lewinsky. Namun video tersebut tercampur secara acak, akibatnya para pelanggan mendapatkan DVD porno dari China.

Konon, Nadiem Makarim, Mendikbud juga akan berkolaborasi dengan Netflix dalam rangka membawa karya anak bangsa untuk ditonton di seluruh dunia. Entahlah, generasi seperti apa yang mengisi kehidupan bangsa nantinya. Tahun lalu Netflix memiliki lebih dari 50 juta subscriber.

Jika diakumulasikan seluruhnya dapat menonton 100 juta jam konten hanya dalam waktu sehari. saat ini ada satu juta pengguna Netflix di Indonesia, negeri muslim terbesar di dunia. Apa yang akan terjadi pada mereka ?

Setidaknya menonton adalah aktivitas yang cenderung pasif, karena hanya cukup duduk manis saja untuk menikmatinya.

Selain itu seseorang yang terlalu banyak menonton mempunyai rentang fokus yang pendek akibat terbiasa menyerap informasi melalui stimulus visual dibanding mendengar.

Kebiasaan menonton juga mampu menurunkan performa akademis. Curhatan ini hampir memenuhi laman-laman konseling parenting. Termasuk mencontohkan sikap dan kata-kata baru karena anak adalah peniru yang paling baik. Tontonan yang tidak tepat dapat memicu agresifitas dan perilaku bullying.

Penelitian di University of Sydney juga menyebutkan bahwa terlalu banyak menonton dapat mempersempit retina mata. Menonton juga dapat meningkatkan gaya hidup konsumtif. Membeli sesuatu hanya karena ingin mengikuti tren yang mereka dapatkan melalui tontonan. Suatu penelitian bahkan menyebutkan bahwa banyak menonton dapat menimbulkan risiko obesitas.

Di atas semua bahaya itu masih ada resiko yang lebih besar yaitu resiko aqidah.

Apa yang akan terjadi jika generasi muda kaum muslim duduk terpaku menatap Netflix sepanjang waktu? Lalu siapa yang akan mewujudkan bisyarah Rasul, menjadi Penakluk Roma? Siapa yang akan melanjutkan estafet perjuangan ini? Netflix sepantasnya ditutup dan tidak diberi akses di negeri ini.[]

*Aisyah Karim, S.H, Lingkar Studi Perempuan Dan Peradaban, Aceh

Terkait dualisme sikap YLKI terhadap Netflix ini, redaksi telah menghubungi pengurus harian YLKI melalui whatsap namun tidak mendapat jawaban.

Comment