RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Maraknya pemberitaan tentang korupsi yang ditayangkan di setiap media televisi seakan tidak membuat masyarakat bosan.
Kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah, lembaga negara, partai hingga swasta dianggap sebagai suatu hal yang wajar terjadi di era kehidupan materialistis yang serba mahal, di mana segalanya perlu uang.
Masih teringat oleh kita kasus mega korupsi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang melibatkan sejumlah petinggi negara dan perusahaan besar yang hingga kini belum tuntas. Akibatnya, negara mengalami kerugian sejumlah 3,7 triliun rupiah.
Dilanjutkan kasus E-KTP, kasus korupsi yang paling fenomenal dengan total kerugian mencapai 2,3 triliun rupiah, dengan 8 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, baik dari kalangan pejabat negara hingga pengusaha.
Kemudian kasus Hambalang, proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan sarana Olahraga, dengan nilai kerugian mencapai 706 miliar.
Di samping itu masih banyak lagi kasus-kasus lain yang terjadi di BUMN, lembaga pemerintahan, lembaga perwakilan rakyat, seolah tidak ada matinya.
Walaupun banyak yang sudah terungkap dan diselesaikan melalu rana hukum, tetapi kasus korupsi setiap tahunnya tidak kunjung berkurang, malah semakin menjadi-jadi.
Belum ada sebulan memasuki tahun 2020, gonjang-ganjing korupsi terkuak kembali. Korupsi yang dilakukan oleh petinggi BUMN di Indonesia, PT. Asuransi Jiwasraya, membuat masyarakat melongo terhadap apa yang dialami oleh salah satu badan asuransi tertua peninggalan Belanda ini.
Bahkan dalam tayangan ILC–TV One beberapa minggu lalu ada indikasi Jiwasraya dirampok, lalu siapa yang merampok? Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengungkapkan potensi kerugian nasabah Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera dan PT Asuransi Jiwasraya mencapai Rp. 40 Triliun – Rp 50 Triliun, yang akan ditanggung oleh 17.403 nasabah pemegang polis asuransi tersebut.
Walaupun sudah banyak pengawasan yang dilakukan oleh badan hukum (KPK, Kejaksaan Agung) serta Kepolisian, bahkan hingga dilakukannya OTT (Operasi Tangkap Tangan oleh KPK), tetapi lemahnya sistem dan aparatur berjiwa menjadikan budaya korupsi tetap subur di Indonesia.
Penerapan sistem liberalisme kapitalisme menjadi akar masalah kehidupan, dimana negara hanya mengambil peran sebagai pembuat aturan dan kebijakan, sedangkan urusan pelayanan publik dan kebutuhan rakyat diserahkan kepada pihak swasta yang tentunya keuntungan menjadi prioritas utama, bukan semata melayani masyarakat.
Penerapan sistem saat ini menjadikan kehidupan masyarakat penuh dengan permasalahan di segala bidang, baik di bidang sosial dengan gaya hidup hedonis, individualis, dan pergaulan bebas, bidang pendidikan yang mahal tapi tidak ada jaminan menghasilkan generasi berkepribadian mulia, bidang ekonomi liberalisasi dengan privatisasi asing pada kekayaan alam yang memiskinkan rakyat, serta liberalisasi perdagangan bebas yang berakibat pada sempitnya lapangan pekerjaan.
Hampir tidak ada lagi yang gratis saat ini, bahkan pemerintah pun akan segera mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan subsidi LPG, BBM, dan BPJS. Hal ini tentu akan berakibat pada biaya hidup yang tinggi dan melonjaknya harga kebutuhan pokok bagi rakyat.
Ditambah lagi bidang politik dengan penyelenggaraan sistem politik demokrasi budget tinggi, yang berarti hanya orang-orang dengan banyak uang dan mendapat dukungan dari pengusaha saja yang bisa mencalonkan diri dalam pilpres atau pilkada.
Penerapan kurikulum pendidikan sekuler yang tidak berbasis aqidah hanya akan melahirkan generasi berperilaku hedonis yang menjadikan gaya hidup materialistik sebagai puncak kebahagian dan kemulian hidup.
Dengan pemahaman aqidah sekuler ini, maka keterikatan hukum syara hanya dipandang sebatas pada ibadah saja, sementara dalam sistem ekonomi, sosial, politik demokrasi yang berbiaya mahal sangat terikat dengan sistem sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan manusia. Sehingga manakala ada kesempatan mendapatkan amanah, maka hawa nafsulah yang menjadi panglimanya.
Pun pemikiran yang disandarkan pada kehidupan liberalisasi akan melahirkan pemahaman yang berorientasi pada harta sebagai tolok ukur kebahagian tertinggi dalam hidup.
Maka pemenuhan kebutuhan hidupnya pun tidak lagi mengacu pada halal atau haram, melainkan pada manfaat yang akan diperolehnya.
Begitupun dalam bidang hukum, lemahnya produk hukum saat ini tidak mampu lagi membuat jera para pelakunya, apalagi produk hukum yang berasal dari politik transaksional yang membuat hukum mudah diperjual belikan.
Maka 1001 permasalahan yang mendera masyarakat saat ini perlu dikembalikan pada fitranya sesuai dengan tujuan penciptaannya semula, yaitu hanya untuk beribadah kepada Allah SWT, Sang Pencipta seluruh mahluk di alam semesta ini.
Dialah yang mengatur kehidupan dengan aturan yang sudah diturunkanNya, dimana akan menjadi rahmat dan sejahtera bagi seluruh mahluk yang mengikutiNya.
Untuk itu, umat perlu menegakkan hukum Islam secara sempurna, yang akan mengantarkan pada keadilan dan menghindarkan dari kedzaliman.
Sistem Islam mempunyai perangkat-perangkat yang mampu membangun nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat dan penguasa, termasuk jika ada yang korupsi, maka akan diterapkan hukuman yang berat; mulai dari penyitaan, pengurungan hingga hukuman mati.
Hukuman yang seperti ini memberikan efek jera bagi pelakunya, membuat korupsi menjadi sesuatu yang ditakuti sehingga dengan sendirinya tidak akan ada lagi yang berani melakukannya. Wallahu a’lam bishshawab.[]
Comment