RADADRINDONESIANEWS. COM, JAKARTA – Sebagai sebuah negara besar, ternyata Indonesia kaya akan prestasi buruk. Salah satu prestasi itu adalah korupsi.
Praktek korupsi di negeri ini telah mewarnai hampir seluruh level jabatan, di daerah maupun di pusat. Meskipun telah dibentuk lembaga anti korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2005.
Ironisnya, pelaku tindak korupsi adalah mereka yang berlatar pendidikan alias kaum intelek yang secara akademis telah melewati jenjang pendidikan tinggi.
Meminjam istilah menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, sebagaimana dikutip laman vivanews.com, dunia perguruan tinggi sedang menjadi “terdakwa” dari kekacauan tata kelola pemerintahan dan munculnya korupsi di mana-mana.
Hal itu dikemukakan Mahfud saat menyampaikan stadium generale pada acara wisuda 750 sarjana dan magister Universitas Islam Kadiri, di Kediri, Jawa Timur, Sabtu, 21 Desember 2019.
Sebutan “terdakwa” itu oleh Mahfud dialamatkan kepada perguruan tinggi, karena umumnya pelaku korupsi adalah sarjana yang merupakan produk dari lembaga ini.
Masih menurut Mahfud, pelaku korupsi umumnya sarjana tukang yang keahliannya bisa diperdagangkan sesuai pesanan.
Tentu tidak bijak jika hanya menyalahkan lembaga pendidikan yang ada, kemudian menjadikannya sebagai ” terdakwa”.
Kenapa lantas lembaga pendidikan yang dijadikan terdakwa? Padahal para pelaksana pendidikan juga dipaksa untuk tunduk kepada aturan kebijakan negara sebagai pemilik sistem.
Diakui atau tidak, negeri ini menganut sistem kapitalis sekuler. Out put dari lembaga pendidikan sekuler ini cenderung menjadi tukang dari pemilik modal/kapitalis. Sistem pendidikan materialistik memberikan siswa basis pemikiran yang serba mengukur segala sesuatu secara materi, jauh dari keimanan dan dan rasa takut terhadap Allah SWT.
Maka adalah hal wajar bila kemudian pendidikan di negeri ini menghasilkan lulusan yang berorientasi materi semata. Sistem yang dianut inilah yang menjadi biang keladi dari persoalan terkait. Bukan dari lembaga pendidikannya.
Paradigma yang keliru terkait pendidikan tersebut, serta melihat output pendidikan yang hanya melahirkan lulusan berorientasi pada materi, seharusnya menyadarkan kita akan pentingnya pendidikan kepribadian. Kepribadian ( syakhsiyah) yang berlandaskan keimanan atau aqidah. Pendidikan yang tidak memisahkan antara keimanan dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Islam sebagai agama dan solusi bagi problem kehidupan manusia telah membuktikan terhadap masalah pendidikan.
Kita bisa melihat para penemu saintek di dalam islam ternyata juga ulama. Ibnu Rusyd, misalnya, atau yang dikenal sebagai Averroes, merupakan seorang filosof dan pemikir dari Al-Andalus. Dia juga merupakan penulis dalam bidang disiplin ilmu, termasuk filsafat, akidah atau teologi Islam, kedokteran, astronomi, fisika, fikih atau hukum Islam, dan linguistik.
Sistem pendidikan Islam menjadikan aqidah Islamiyah sebagai dasarnya. Karena itu keimanan dan ketakwaan juga akhlak mulia akan menjadi fokus yang ditanamkan pada sisiwa. Siswa dicetak untuk menjadikan halal dan haram sebagai standar dalam berbuat. Dengan demikian, akan selalu mengaitkan peristiwa dalam kehidupan mereka dengan keimanan dan ketakwaan.
Dengan semua itu, akan melahirkan pribadi muslim yang taat kepada Allah, mengerjakan perintah dan meninggalkan laranganNya.
Ajaran Islam dijadikan standar dan solusi mengatasi seluruh persoalan kehidupan. Ketika kepribadian tersebat kemudian disandingkan dengan materi iptek, tentu akan menghasilkan manusia manusia yang bertakwa dan ahli iptek, yang akan mampu membangun negeri, bukan malah membebaninya dengan tindak korupsi.
Untuk mewujudkan semua itu, Islam menetapkan bahwa negara wajib menyediakan pendidikan yang baik dan berkualitas secara gratis untuk seluruh rakyatnya. Negara wajib menyiapkan sarana dan prasarana pendidikan.
Dengan sistem pendidikan Islam yang memiliki konsep kurikulum berbasis aqidah, didukung dengan pembiayaan negara yang memadai, akan bisa diharapkan output yang baik, yaitu lulusan yang tak hanya mahir di bidang iptek, namun juga memiliki kepribadian islam. Kepribadian yang menolak kecurangan, termasuk korupsi karena takut terhadap Allah.
Alhasil, bila ingin praktek korupsi lenyap di negeri ini, maka harus dibangun paradigma baru tentang pendidikan, yaitu diterapkan sistem pendidikan islam.
Seberapa banyak pun Perguruan Tinggi didirikan, bila sistem pendidikan masih dipisahkan dari islam, jangan berharap dihasilkan lulusan berkepribadian baik. Wallahu a’lamu bishowab.[]
*Penulis bekerja di salah satu RS Tulungagung
Comment