RADARINDONESIANEWS. COM, JAKARTA – Dari sebuah kejauhan, ia tampak menebar senyum dengan tatapan mata penuh pesan, seakan ada banyak hal yang akan disampaikan.
Tak berpikir panjang, akupun segera menghampiri dan memberi salam sambil menjabat tangannya, diikuti bungsuku yang ikut dalam perjalanannku.
Seketika sang ibu tengah baya itu menawarkan ragam kue tradisional yang berjajar rapi di meja berukuran 1,5 m x 90 cm.
“Silakan dicoba mbak, kue bugisnya masih hangat. Kue cincin dan bacangnya juga enak. Ini juga ada rangginang dan rempeyek kacang,”. Ujarnya membujukku yang memang sudah merasakan sedikit keroncongan.
“Ade pulang sekolah ya? Kelas berapa? habis borong apa sama bunda?” tanyanya akrab layaknya seorang nenek kepada cucunya.
Akupun membeli beberapa kue bugis ketan item yang memang masih hangat. Aku menikmati kue tersebut sambil numpang duduk di lapaknya berjualan. Tanpa direncanakan kami pun saling berkenalan.
Kali ini aku yang mencoba mengakrabkan diri dengan melontarkan beberapa pertanyaan kepadanya.
“ibu sudah berapa lama berjualan di sini? Tanyaku
“Baru beberapa tahun mbak. Ibu sebenarnya berjualan hanya untuk mencari kesibukan. Buat ibu sendiri makan gak banyak, ya jualan ini hanya untuk kebutuhan sendiri saja”. Sergahnya.
Akupun bertanya-tanya dalam hati, hemm buat mencari kesibukan saja, buat makan sediri saja.hmm
“Maaf ibu hidup sendiri maksudnya apa Bu?” Tanyaku penasaran.
“Iya dirumah saya tinggal sendiri, suami saya sudah meninggal beberapa tahun lalu. Ya walau saya memiliki rumah besar namun kalau sendiri di rumah saja kan kesepian mbak, jadilah ibu berjualan disini,” Ujarnya menjelaskan.
“Ibu juga gak mau merepotkan anak-anak untuk kebutuhan hidup ibu. Listrik memang ditanggung oleh anak laki-laki ibu, tapi ibu juga punya kebutuhan. Karenanya ibu berjualan di sini untuk makan sendiri saja. Namun berjualan di sini juga gak setiap hari. Setiap Rabu ibu kadang libur untuk mengikuti kajian di masjid pasar ini di lantai atas.” Jelasnya kepadaku sambil sesekali membereskan kue di meja lapaknya.
“Ibu memiliki berapa anak? dan apakah tidak ada anak ibu yang mau tinggal bersama ibu?”. Tanyaku singkat.
“Ya itulah mbak, ini mungkin kesalahan ibu mendidik anak-anak, ibu memiliki 3 anak yaitu 2 anak laki-laki dan 1 anak perempuan. Semua sibuk, gak ada yang mau tinggal bersama ibu. Mereka semua sudah memiliki rumah masing-masing. Bahkan sudah dua lebaran tak ada satu orang anak atau cucu yang berkumpul di rumah ibu, karena sibuk semua”. Ucap sang ibu lirih dengan tetesan air matanya.
Mendengar kisahnya, begitu menyayat hatiku. Aku saja kangen sekali dengan ibu yang sudah 5 tahun tiada. Ini begitu pilu seorang ibu yang sangat rindu dengan anak-anaknya, namun mengapa mereka tak kunjung datang jua.
“Ya Allah mbak, ibu senang lihat mbak dan anak yang Sholih ini (anak bungsuku) cium tangan ibu, dan mbak mau mendengarkan cerita ibu.” ujarnya sambil menatap kedua mataku.
“Suami ibu dulu kontraktor, namun sakit dan akhirnya meninggal. Anak-anak ibu jauh, telponpun jarang. Beberapa hari lalu ibu sakit. Jangankan berjualan di pasar, mau bangun saja gak bisa. Akhirnya ada tetangga ibu yang baik yang mengirimkan makanan, Alhamdulilah”. Sambungnya berkisah.
“Ah mbak kalau diingat hidup ibu, ibu yang salah didik anak-anak kali ya, sehingga membuat anak-anak gak dekat dengan ibu. Anak perempuan ibu juga keras karakternya. Jadi ibu gak ingin berseteru dengan anak. Ah sudahlah jalanin hidup tanpa menyusahkan anak, walau ibu terkadang kesal dengan anak-anak, namun ibu gak ingin dendam kepada mereka. Bisa jadi ini karena kesalahan ibu yang kurang mendidik mereka dengan ilmu agama”. Ujarnya yang membuatku semakin lirih.
“Pesan ibu, jaga, asuh dan didik anak-anak dengan ilmu agama ya mbak, agar kelak tua jangan seperti ibu ini. Ibu telah gagal mendidik anak- anak dan sekarang merasa hanya hidup seorang diri. Family atau sanak saudarapun di sini juga gak ada.” pesannya kepadaku yang setia mendengar curahan hatinya itu.
“Karenanya setiap masuk ke rumah, saya hanya tinggal menunggu malaikat maut saja mbak, pasrah.” ujarnya dengan suara rendah menggugah hati.
Mendengar kisah sang ibu itu, hatiku luruh dan aku memeluknya sambil berbisik dan berdoa untuk kebaikannya. “Ya Allah ibu yang sabar ya.”
Sahabat..
Itu hanyalah secuil kisah yang memilukan. Seorang ibu memiliki beberapa anak namun merasa hidup sebatang kara. Rumah besar tiada arti jika anak tidak menjadi penyejuk hati dan pandangan. Kesuksesan dengan berlimpahnya materi yang dimiliki anak-anak, semua nihil tiada arti jika kesibukan mereka sampai mengabaikan kondisi orangtuanya. Semua itu tak dapat dibanggakan.
Ingat pesan Baginda Rosulullah SAW, didiklah anak menjadi qurrota’ayyun yang dapat menyejukan hati dan pandangan, yang selalu hadir dan merespon dengan cepat tatkala diri kita mendapatkan kesulitan.
Sadarilah, sejatinya setiap orangtua tidak ingin merepotkan keluarga anak-anaknya, namun fahamilah bagaimana Islam mensyariatkan anak-anak harus tetap “birrul walidain” (berbuat baik kepada kedua orangtua) sekalipun memiliki aqidah yang berbeda.
Tatkala seorang ibu menjadi janda maka Islam menyariatkan kewajiban nafkah jatuh kepada anak laki-lakinya, saudara laki-lakinya, ayahnya, kakeknya dan seterusnya menjadi tanggung jawab kaum laki-lakinya baik jalur keatas maupun kebawah.
Di era mulkan Jabbariyyan ini, begitu banyak fitnah tersebar akibat syariat Allah diabaikan, bahkan banyak anak yang tidak faham perannya terhadap orang tua.
Banyak sebab membuat kerusakan hubungan antara orangtua dengan anak, terutama miskinnya ilmu agama.
Sahabat …
Bersyukurlah jika diri masih memiliki orangtua, karena kita masih memiliki nikmat besar darinya yaitu doa dan keridhoannya. Maka jagalah mereka dengan penuh kema’rufan dan kelembutan.
Sahabat …
Doakan selalu kedua orangtua kita, karena amalan yang tak pernah putus, salah satunya adalah doa anak-anak yang Sholih.
Sahabat…
Ingatlah pesan Baginda Rosulullah SAW, berbuat baik kepada orangtuapun tak berhenti saat mereka masih hidup saja. Tatkala mereka tiadapun, anak-anak harus tetap berbuat baik kepada mereka,
Islampun memberikan tuntunannya.
Sebagaiman Hadits Rosulullah SAW :
Suatu saat kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu ada datang seseorang dari Bani Salimah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya (masih tetap ada bentuk berbakti pada keduanya). (Bentuknya adalah) mendo’akan keduanya, meminta ampun untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan keluarga kedua orang tua yang tidak pernah terjalin dan memuliakan teman dekat keduanya.” (HR. Abu Daud & Ibnu Majah)
Sahabat…
Jangan, jangan biarkan orangtua kita menghadapi sakaratul maut tanpa talqin anak-anak di sisinya. Ini adalah detik-detik yang sangat menyakitkan. Lantunan dzikir dan surah Yasin Akan menyejukkan pembaringannya.
Jangan, jangan biarkan jasad orangtua tiada kita ketahui karena abainya perhatian anak-anak terhadap kondisi orangtua, apalagi yang hidup di rumah tanpa didampingi seorangpun.
“Kasih sayang terindah orangtua kepada anak-anaknya adalah penanaman pemahaman agama yang mumpuni hingga menjadi qurrota’ayyun”
“Kasih sayang terindah anak kepada orangtuanya adalah pengurusan masa tua dengan penuh kema’rufan dan kelembutan”.
Semoga kelak masa tua kita tak menyusahkan anak-anak, dan anak-anak tiada melupakan kasih sayang orangtua hingga pengurusan yang terbaik sampai sakaratul maut menjemputnya. Aamiin ya Robbal’aalamiin.[]
*Sebuah catatan perjalanan
Comment