RADARINDONESIANEWS. COM, JAKARTA – Memprihatinkan. Begitulah bila kita mengamati kondisi kaum muslimin yang saat ini semakin jauh dari aturan Islam.
Mereka mengimplementasikan syariat Islam tak ubahnya seperti sebuah prasmanan. Sungguh sangat memprihatinkan.
Para ulama yang berusaha mengembalikan nilai-nilai Islam kepada kaum muslimin dianggap ulama sesat dan kearab-araban bahkan bukan itu saja, pengikutnya pun diberi label radikal dan teroris. Hal ini sama persis sebagaimana Chinmemperlakukan suku Uighur di Xinjiang.
Adat istiadat semestinya tidak memengaruhi Islam itu sendiri, tetapi justru Islamlah yang menyaring mana adat istiadat yang masih boleh untuk diambil dan mana yang tidak.
Seperti yang dilakukan Nabi saw di Makkah ketika beliau mendakwahkan Islam sebagai rahmatan lil’alamin, tak sekadar akhlaq tetapi melingkupi seluruh aspek kehidupan.
Namun fakt terbalik, adat istiadat justru menjadi hal utama untuk diangkat.
Sebagai pribadi muslim.
Beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari dan ittiba’ kepada Nabi saw merupakan ladang ibadah yang tak bisa dihitung dengan kacamata manusia. Seperti yang telah termaktub dalam surah Az- Zariyat : 56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya : Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Ibadah itu bukan saja rukun Islam, dari syahadat sampai dengan haji. Ibadah mempunyai pengertian yang lebih luas dan dalam. Ibadah bermakna, semua amal perbuatan yang harus dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan hanya mengharapkan rida Allah semata.
Dalam beramal, seorang muslim harus memahami, ketika ia berbicara dan menampakkan perilakunya harus selaras dengan iman dan ilmu. Maka pantaslah jika dalam sebuah hadits dikatakan, derajat orang berilmu lebih tinggi dibandingkan ahli ibadah.
Seorang sahabat Nabi saw yang digelari Jundub bin Abdillah oleh penduduk Bashroh, mengamalkan ilmu yang ia dapat dari Nabi saw tercinta; Iman sebelum Al-Qur’an Al-Qur’an sebelum adab Adab sebelum ilmu Ilmu sebelum amal.
كُنَّا غِلْمَانًا حَزَاوِرَةً مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَتَعَلَّمَنَا الإِيمَانَ قَبْلَ الْقُرْآنِ ، ثُمَّ تَعَلَّمَنَا الْقُرْآنَ ، فَازْدَدْنَا بِهِ إِيمَانًا وَإِنَّكُمُ
الْيَوْمَ تَعَلَّمُونَ الْقُرْآنَ قَبْلَ الإِيمَ
Jundub bin Abdillah: “Kami bersama Nabi saat kami masih remaja; kami belajar iman sebelum Al-Quran. Kemudian ketika kami belajar Al-Quran, bertambahlah iman kami” (Sunan Ibnu Majah no. 60).
Sahabat nabi bagaikan bintang bagi para pejalan malam. Ia seperti matahari yang menyinari bumi untuk kebaikan makhlukNya. Sahabat Nabi saw adalah penyambung ilmu antara generasi muslim saat ini dengan Rasulullah saw.
Tahapan tersebut yang kini menjadi pendidikan awal bagi anak-anak muslim, dimulai dari akidah (iman). Akan tetapi hal tersebut terlewatkan generasi sebelumnya yang lebih mengedepankan logika dan akal dibandingkan iman sebagai dasar ketauhidan.
Dalam Islam, ketika seorang muslim beribadah khususnya beramal saleh, kriteria amal saleh atau amalan terbaik ini harus terpenuhi, baik dari sisi niat maupun amal. Mengapa? Jika salah satunya tidak lurus maka ia akan tertolak karena tidak berittiba’ kepada Nabi saw.
Gambarannya seperti ini : Niat salah amal salah maka tertolak Niat benar amal salah maka tertolak Niat salah amal benar maka tertolak Niat benar cara benar maka diterima.
Oleh karenanya, kita beramal hendaknya selalu menyadari bahwa segala sesuatunya adalah ibadah (tujuan hidup manusia) maka wajib mengikuti Sunah Rasulullah saw (ittiba’). Allah berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya
[al-Hasyr : [1].Wallahua’lam
Comment