Watini Alfadiyah, S.Pd: Arah Kemerdekaan Belajar; Kemerdekaan Berfikir Mau Dikemanakan?

Opini597 Views

RADARINDONESIANEWS. COM, JAKARTA – Keberhasilan pendidikan suatu bangsa akan membawa kemajuan, namun adanya banyak problem di dunia pendidikan dan kualitas output pendidikan memang menjadikan suatu masalah tersendiri. Seiring dengan masalah tersebut Mendikbud Nadiem Makarim menyampaikan empat program pokok kebijakan pendidikan merdeka belajar.

Program tersebut meliputi perubahan pada Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan peraturan Penentuan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.

“Empat program pokok kebijakan pendidikan tersebut menjadi arah pembelajaran kedepannya yang fokus pada arahan presiden dan wakil presiden dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia,” Kata Nadiem di Jakarta, Rabu 11 Desember 2019.

USBN pada tahun 2020 diselenggarakan oleh sekolah, melalui hal itu guru dan sekolah lebih merdeka dalam penilaian hasil belajar siswa.

“Selanjutnya mengenai Ujian Nasional pada tahun 2021 akan diubah menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan pendidikan karakter,” kata Mendikbud.

Sedangkan untuk penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Kemendikbud akan menyederhanakan nya dengan memangkas beberapa komponen. Dalam kebijakan baru tersebut guru secara bebas dapat memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP. Tiga komponen inti RPP terdiri dari tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen.

Dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), Kemendikbud tetap menggunakan sistem Zonasi dengan kebijakan yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dari kualitas di beberapa daerah.(5/11/2019, TEMPO.CO, Jakarta)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menjelaskan konsep Merdeka Belajar yang diusungnya.

“Merdeka belajar adalah kemerdekaan berpikir. Dan terutama esensi kemerdekaan berpikir ini harus ada di guru dulu. Tanpa terjadi di guru, tidak mungkin bisa terjadi di murid,” kata Nadiem dalam Diskusi Standard Nasional Pendidikan, di Hotel Century Park, Jakarta Pusat pada Jumat, 13 Desember 2019.

Nadiem menyebut, semua guru harus berpikir secara mandiri. Dia menyebut, pembelajaran tidak akan terjadi jika hanya administrasi pendidikan yang akan terjadi. “Paradigma merdeka belajar adalah untuk menghormati perubahan yang harus terjadi agar pembelajaran itu mulai terjadi diberbagai macam sekolah.”(30/11/2019, TEMPO.CO, Jakarta)

Problem di dunia pendidikan dan kualitas output memang menjadi salah satu masalah, namun kebijakan baru Mendikbud dalam rangka untuk memperbaiki kualitas output pendidikan seolah lebih berorientasi pada penyiapan kerja saja, sementara konsep pemahaman akan jati diri mereka sebagai manusia yakni hidup ini darimana, untuk apa, dan hendak kemana justru semakin diliberalkan.

Mendikbud Nadiem telah meluncurkan empat kebijakan pendidikan dalam program “merdeka belajar” meliputi USBN, UN, Rencana Pelaksanaan RPP, dan peraturan PPDB Zonasi. Sedangkan Mendikbud memaknai kemerdekaan belajar adalah kemerdekaan berfikir yang harus dimulai dari guru kemudian diturunkan dan untuk ditanamkan kepada siswa.

Lalu, apakah maknanya ditengah kampanye massif melawan radikalisme dan intoleran sementara Mendikbud memaknai kemerdekaan belajar adalah kemerdekaan berfikir, bahkan sudah jelas cap radikal ditujukan kepada kaum muslim manapun yang berusaha terikat untuk taat menjalankan tuntunan agamanya.

Jadi makna dari arah kemerdekaan belajar adalah kemerdekaan berfikir disini tidak lain memberikan kebebasan (liberal) dalam memaknai materi pelajaran dan berujung pada perilaku dan karakter liberal tanpa dikungkung batasan yakni agama Islam.

Memang dunia pendidikan tidak boleh menghasilkan SDM yang hanya pandai menghafal tanpa memahami makna dan menginternalisasi pemahamannya, namun saat ini dunia pendidikan hanya akan menghasilkan generasi yang materialistik dan egois bila pemahamannya di isi oleh insan berliterasi dan berkarakter universal lepas dari tuntunan wahyu.

Sementara dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian integral dalam proses menuntut ilmu. Setiap menerima wahyu Rasul Saw langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk menghafalnya.

Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu Beliau Saw menafsirkan dan menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru diwahyukan. Sebagaimana Allah Swt. berfirman : “(mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan Az-Zikr(Al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.”(TQS. An-Nahl (16) : 44). Demikian halnya dengan menghafal Al- Hadits.

Dari interaksi antara Al-Qur’an dan Al- Hadits tersebut, kemudian berkembanglah aktivitas intelektual di kalangan umat Islam. Serta melahirkan konsep yang utuh tentang pandangan hidup dalam Islam, epistemologi dan ilmu-ilmu keislaman. Wallahu a’lam bi as-showab.

Comment