RADARINDONESIANEWS. COM, JAKARTA – International Food Policy Research Institute (IFPRI) menyatakan rakyat Indonesia masih mengalami kelaparan kronis yang mematikan sebanyak 22 juta orang.
Kemudian data kementerian mencatat 80 daerah kabupaten yang ada di Indonesia masih berada pada kondisi rawan pangan.
Di sisi lain, Bulog merencanakan pembuangan beras yang sudah tidak bermutu dan tidak layak di konsumsi sebanyak 20 ribu ton disebabkan lamanya penumpukan yang terjadi yaitu sejak tahun 2017.
Penumpukan ini dikarnakan pemerintah selalu menggenjot impor tanpa ada penanggulangan sehingga terjadi penumpukan yang sangat banyak. Akibatnya, Bulog harus menanggung rugi sebesar Rp 160 miliyar dan hutang Bulog dari tahun ke tahun juga semakin tinggi.
Inilah potret negeri yang tidak menjadikan kelangsungan pangan dan hidup rakyat sebagai garis finish dalam melakukan kebijakan melainkan untung rugi yang hanya berorientasi pada bisnis semata.
Pemerintah dalam hal ini tidak menghargai petani dalam negeri dikarenakan nilai jual gabah petani yang tidak sebandingan dengan imfor Dan pemerintah juga melakukan kedzaliman yang amat besar.
Bagaimana tidak? Masyarakat Indonesia yang berada pada kondisi rawan pangan tidak diberi jaminan pangannya. Pembelian beras impor dari uang rakyat (pajak) lebih baik di timbun kemudian dibuang dari pada di bagikan ke rakyat yang sedang kesulitan pangan.
Tidak ada tindak lanjut pemerintah dalam menjamin, mengentaskan masyarakat yang mengalami kelaparan kronis dan penghambur-hamburan beras dengan alasan tidak layak konsumsi.
Bagaimana mau layak konsumsi jika penyimpanannya sudah dari tahun ketahun. Walaupun pihak Bulog menyebutkan karna ada kesalahan manajmen.
Apa yang terjadi dalam negeri ini sebenarnya bukan dari bagus atau tidaknya manajmen yang di jalankan Bulog ataupun pemerintahan tapi ada kesalahan akar mendasar yang di jalankan di negeri tercinta ini.
Selama akar jelek itu subur maka selama itu pula batang daun akan tumbuh jelek juga dan demikian sebaliknya.
Apakah akarnya itu? Layaknya sebuah pepohonan sebagai pondasinya akan di sebut akar namun jika sebuah negara, pondasinya itu adalah sistem. Sehingga baik dan buruknya penerapan kebijakan sebuah negara akan tergantung pada sistem apa yang dipakai.
Dan termasuk Indonesia yang menerapkan sistem kapitalistik sebagai sistem perekonomiannya. Maka ketika kita mendapati berbagai problem yang mencekik rakyat adalah sesuatu yang wajar-wajar saja terjadi dalam negeri ini karna asas dari kapitalistik adalah keuntungan bukan kemaslahatan rakyat banyak.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan konsep dan penerapan ekonomi yang di diatur dengan sistem Islam, dimana pemerintah adalah sebagai Raain (pelayan) dan Junnah (pelindung) bagi rakyat.
Sehingga kedaulatan pangan rakyat akan senantiasa dijamin baik segi 8pendistribusian langsung bantuan pemerintah ataupun di apresiasikannya petani pribumi dalam menghasilkan padi-padi yang berkualitas dengan mengutamakan hasil dalam negeri ketimbang impor juga penimbunan tidak akan terjadi dalam penerapan sistem islam apalagi masih sangat banyak rakyat membutuhkannya.
Ketika tidak ada penimbunan yang kemudian mematikan kualitas barang maka tidak akan ada pembuangan barang begitu saja, apalagi sistem islam sangat menolak yang namanya pemubaziran taupun penyebabnya.
Dengan penerapan nilai-nilai diatas maka rakyat tidak akan khawatir lagi dengan pemenuhan perutnya karna sudah ada jaminan dari negara atau seorang khalifah.
Namun nilai-nilai dan kesejahteraan rakyat ini tidak akan pernah tercalai jika akarnya tadi masih kapitalistik yang bersumber dari sistem kapitalisme.
Oleh Karena itu maka! bersegeralah kita mencampakkan sistem yang tidak pernah pro kepada rakyat ini mulai dari sekarang dan menggantinya sistem ekonomi Islam agar kesejahteraan rakyat tercapai. Wallahu’alam.[]
Comment