Ahsani Ashri*: Sertifikat Layak Nikah, Perlukah?

Opini585 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – “Maukah kamu menikah denganku, Dek?”
“Mau Bang… Tapi apakah Abang sudah memiliki SIM?”
“SIM apa, Dek?”
“Surat Izin Menikah, Bang….”
“Hah, dari mana mendapatkan surat seperti itu, Dek?”
“Di KUA Bang…. Nih, aku sudah punya… Abang cari dulu sana….”

Dialog imajiner di atas merupakan sebentuk kerinduan tersendiri, andai situasi itu benar-benar bisa terjadi. KUA tidak akan memproses pernikahan apabila calon pengantin belum mengikuti program Pembekalan Menjelang Pernikahan atau Kursus Calon Pengantin yang dilaksanakan oleh KUA atau lembaga yang ditunjuk sebagai mitra KUA.

Kebijakan baru mengenai sertifikat nikah yang datang dari Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan, Muhajir Efendy yang ke udian menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat Indonesia.

Program sertifikat nikah yang akan menjadi salah satu syarat untuk menikah ini menurutnya mulai akan diterapkan pada tahun 2020 mendatang.

Seperti di lansir laman kompas, Ia menekankan pasangan yang tidak memiliki sertifikat ini tidak boleh menikah. Program ini bertujuan untuk memberikan bekal kepada pasangan yang akan menikah mengenai wawasan terkait kehidupan pernikahan untuk menekan angka perceraian, kesehatan reproduksi. Termasuk kesehatan anak untuk mencegah stunting.

Secara umum program sertifikat nikah ini terlihat baik, namun apakah benar bisa menjadi solusi? Pertama, masalah tingginya angka perceraian Rekapitulasi data angka perceraian di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya bahkan sudah mencapai tahap menghawatirkan.

Dikutip dari website Mahkamah Agung, pada tahun 2018 angka perceraian mencapai 419.268 pasangan. Dari jumlah ini, perceraian paling banyak dari pihak perempuan sebanyak 307.778 dan laki-laki sebanyak 111.490. Angka ini adalah kasus pernikahan muslim saja, belum termasuk yang nonmuslim.

Pertanyaannya, bisakah sertifikat nikah ini menjadi solusi mengurangi tingginya angka perceraian? Menurut direktur pembinaan administrasi Peradilan Agama Badan Peradilan Agama (badilag) Mahkamah Agung, faktor dominan tingginya angka perceraian ini adalah ekonomi.

Sulitnya mencari pekerjaan bagi suami, tingginya kebutuhan hidup membuat suami istri menjadi rentan berselisih hingga terjadinya KDRT. Hal ini yang menyebabkan perceraian, di samping minimnya pemahaman agama setiap individu.

Maka dari itu perbaikan taraf ekonomi masyarakat, penyediaan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat lah yang bisa menjadi solusi, dan ini merupakan peran besar Negara bukan peran dari setiap individu.

Kedua, masalah kesehatan atau stunting.

Stunting adalah kurangnya gizi pada anak-anak yang dapat menyebabkan anak gagal tumbuh. Apakah benar masalah stunting ada kaitannya dengan sertifikat nikah?

Pemerintah berpendapat kurangnya pemahaman orang tua dalam memenuhi gizi anak menjadi salah satu penyebab stunting. Sehingga melalui sertifikat nikah calon orang tua akan diberi bekal mengenai perawatan kesehatan anak.

Namun coba kita lihat lebih detail, apa faktor utama penyebab masalah stunting ini. Menurut kementerian kesehatan yang menyebabkan stunting adalah kurangnya gizi dalam waktu yang lama, penyebabnya adalah karena rendahnya akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan termasuk akses lingkungan yang bersih (sanitasi dan air bersih).

Dari sinilah semestinya negara berperan dalam memudahkan masyarakat untuk mengakses makanan bergizi dengan harga yang terjangkau. Karena persoalan kurang gizi ini tidak terlepas dari masalah ekonomi.

Rendahnya penghasilan memicu orang tua tidak mampu mencukupi asupan gizi anak. Negara juga berperan dalam menyediakan pelayanan kesehatan yang layakbagi masyarakat, termasuk dalam penyediaan air bersih dan lingkungan yang bersih. Dari sinilah stunting benar-benar bisa dicegah.

Menikah adalah suatu bentuk ibadah yang tertera di dalam AlQur’an, adalah bersatunya dua manusia yaitu antara laki – laki dan perempuan dalam janji suci, sehingga menghalalkan hubungan antar keduanya.

Seperti yang telah dijelaskan dalam surat AzZariyat ayat 49 yaitu Artinya : “Dan segala sesuatu Kami Ciptakan Berpasang – pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” Menikah memang bukanlah hal yang mudah, karena menikah memulai hidup yang baru bersama pasangannya, berusaha menyatukan dua perbedaan, dua karakter untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrohmah.

Memilih pasangan hendaknya yang se-akidah dan mempunyai visi pernikahan yang sama.Namun tidak baik juga jika kita mempersulit dalam pelaksanaan pernikahan.

Seperti saat ini yang sedang ramai diperbincangkan, orang yang ingin menikah mereka harus mempunyai sertifikat layak nikah.

Dalam islam sudah ada rukun dan syarat nikah, rukun nikah dalam islam diantaranya : Ada mempelai laki – laki,adanya mempelai perempuan, wali, ada dua orang saksi laki laki, dan ijab qabul. Adapun syarat nikah adalah : Beragama islam ( terutama laki – laki ), bukan laki – laki mahrom bagi calon istri, mengetahui wali akad nikah, tidak sedang melaksanakan haji, dan tidak karena paksaan.

Sejatinya sertifikat nikah ini tidak menjadi solusi atas masalah yang ada, justru berpeluang menimbulkan masalah baru.

Jika sertifikat nikah menjadi syarat wajib, hal ini mungkin menjadi lahan baru terjadinya korupsi. Demi memenuhi keinginan untuk menikah bisa jadi jalan suap akan di tempuh.

Untuk menghilangkan seluruh persoalan ini, mau tidak mau sistem yang ada saat ini harus berasal dari Sang pencipta kita. Karena Islamlah yang dapat memberikan solusi dan jalan keluar bagi hambaNya.

Islamlah rahmat bagi seluruh alam bukan hanya untuk kaum Muslim. Wallahu’alam.[]

*Nutritionist

Comment