Aisyah Karim, S.H*: Memerangi Kemiskinan Struktural

Opini633 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara dalam sambutannya pada acara Program Keluarga Harapan (PKH) Appreciation Day di Makassar, Rabu (27/11/2019) menyebut kemiskinan merupakan akar dari perbuatan radikalisme dan terorisme.

Juliari berjanji akan berjuang memerangi kemiskinan untuk mencegah terorisme di Indonesia.

Anggota Komisi IV DPR RI Nevi Zuairina mengatakan, pengkategorian penduduk miskin di Indonesia berada dibawah standar dunia. Standar kemiskinan dunia itu 2 dollar AS, sedangkan Indonesia hanya 1 dollar AS. Jika kita mengikuti standar dunia, maka akan terjadi lonjakan kemiskinan yang sangat drastis di negara kita.

Pada Maret 2019 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis standar kemiskinan masyarakat Indonesia adalah Rp 425.250 per kapita per bulan. Adapun komposisi garis kemiskinan makanan Rp. 313.232 (73,66 persen) dan garis kemiskinan bukan makanan Rp 112.018 (26,34 persen). Hal ini menunjukkan bahwa orang miskin Indonesia memiliki pendapatan sebesar Rp. 14.175 setiap harinya atau sekitar 1 dollar AS.

BPS juga mengeluarkan peta sebaran kemiskinan di Indonesia. Tiga provinsi di pulau Jawa memiliki penduduk miskin yang lebih banyak dibanding provinsi lainnya. Tiga provinsi itu adalah Jawa Timur dengan 4,11 juta jiwa penduduk miskin, Jawa Tengah dengan 3,74 juta jiwa, dan Jawa Barat dengan 3,4 juta jiwa.

Total penduduk miskin di pulau Jawa mencapai 12,74 juta jiwa, atau separuh total penduduk miskin di Tanah Air. Namun, secara persentase, jumlah penduduk miskin dipulau Jawa jauh lebih rendah dibanding provinsi-provinsi di Indonesia Timur yang memiliki penduduk miskin di atas 20 persen.

Deretan angka kemiskinan di atas tentu saja menimbulkan keheranan. Bagaimana bisa negeri yang berlimpah kekayaan alam ini bisa berada pada posisi yang demikian sulit. Secara umum kemiskinan adalah suatu kondisi ketika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti kebutuhan pangan, sandang, tempat tinggal, pendidikan dan kesehatan.

Kemiskinan biasanya ditentukan oleh pemerintah melalui penetapan garis kemiskinan yang ditentukan dengan ekonomi. Karena tingkat kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh kebijakan ekonomi pemerintah. Nah, pada titik inilah kemiskinan terjadi justru disebabkan oleh gagalnya program pengembangan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah.

Kemiskinan juga dapat diartikan sebagai kekurangan dalam kesejahteraan dikarenakan oleh adanya perampasan terhadap kebebasan untuk mencapai sesuatu dalam hidup seseorang. Seharusnya dinegara yang dijuluki “Zamrud Khatulistiwa” ini tidak menghasilkan angka pengangguran fantastis, dengan predikat pengangguran tertinggi kedua di Asia Tenggara. Namun apa daya justru regulasi pemerintah terhadap peraturan ketenagakerjaan justru telah merampas hak anak negeri dan membuka kran bagi pekerja asing seluas-luasnya.

Wacana pengadaan kartu-kartu oleh pemerintah sebagai solusipun tak berpengaruh untuk mengentaskan kemiskinan. Justru kartu-kartu tersebut merupakan akibat pembangunan yang tidak efektif. Jika ekonomi membaik, maka kartu pra kerja tidak perlu ada. Jika pembangunan berhasil, tentu akan menyerap tenaga kerja dan menurunkan tingkat pengangguran sekaligus menurunkan angka kemiskinan.

Demikian pula program pengembangan UMKM melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan program pemberdayaan desa yang belakangan justru kasak-kusuk karena terkuaknya data desa fiktif. Program-program lainnya saling berlomba semakin memiskinkan rakyat. Berbagai kebutuhan publik berupa barang dan jasa dinaikkan tarifnya mencekik rakyat. Bagaimana pula kemiskinan hendak diurai?

Mari telusuri akar kemiskinan agar kita memahami mengapa kita tak pernah bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan tersebut. Sejatinya kemiskinan di negara ini adalah kemiskinan struktural, bukan kemiskinan alami. Kapitalisme yang diterapkan meniscayakan liberalisme pasar. Sistem ini menitik beratkan perhatiannya pada aspek produksi barang dan jasa bukan pada aspek pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Sementara kemiskinan yang harus dipecahkan adalah kemiskinan yang menimpa individu. Yang seharusnya dilakukan adalah menjamin pemenuhan kebutuhan pokoknya dan mendorong mereka untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya.

Cara yang harus ditempuh adalah menciptakan distribusi ekonomi yang adil ditengah-tengah masyarakat.

Namun karena sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan, terciptalah jurang yang tidak manusiawi di masyarakat, yaitu kelas-kelas. Adanya kelas majikan, kelas budak, kelas tajir kaya melintir dan kelas miskin melarat. Di dalamnya dipenuhi oleh ketidakadilan, kehinaan, kedzaliman, kerakusan, kebohongan, eksploitasi bahkan perbudakan modern.

Kapitalisme berhasil membentuk mental koruptif pada rezim. Hal ini terjadi karena simbiosis mutualisme antara penerapan politik demokrasi dengan ekonomi liberal materialistis. Pemerintah tidak lagi berperan aktif dalam menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa. Pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator saja, rakyat dibiarkan berjuang sendiri.

Rakyat terbiasa auto pilot, menyelesaikan problemnya tanpa kehadiran pemerintah. Contohnya, kegagalan pemerintah menciptakan lapangan kerja formal, disikapi rakyat dengan menumbuhkan sendiri sektor informal seperti ojek online hingga perdagangan digital.

Penurunan kemiskinan semu hanya dilakukan dengan mengandalkan aliran bantuan sosial. Tidak aneh jika klaim kemiskinan menurun tidak sejalan dengan penurunan tingkat kesenjangan (gini ratio). Masalahnya, lagi-lagi pemerintah membebek pada parameter kemiskinan sesuai dikte kaum kapitalis liberal. Yang melihat kemiskinan hanya dari pengeluaran bukan pendapatan, sehingga gap-nya tidak menggambarkan ketimpangan riil di Indonesia.

Selain itu negara mengambil langkah penanganan kemiskinan melalui utang luar negeri tanpa memikirkan imbasnya bagi generasi mendatang. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah per 31 Oktober 2019 berada di angka Rp 4.756,13 triliun. Dengan angka tersebut, rasio utang pemerintah terhadap PDB menjadi 29,87 persen.

Joseph E Stiglitz Dalam bukunya berjudul “Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional”, mengungkapkan intervensi lembaga internasional dalam hal pelaksanaan reformasi dan penanggulangan kemiskinan kadangkala malah menimbulkan permasalahan yang jauh lebih kompleks dan kontraproduktif.

Liberalisasi perdagangan yang dipaksakan untuk diterapkan oleh IMF di Ethiopia, kata dia, menyebabkan penghasilan petani merosot dan memperburuk situasi ekonomi yang sudah parah.

Radikalisme dan terorisme menjadi menu pemberitaan sehari-hari namun baru kali ini ada pejabat negara yang secara terbuka menyatakan bahwa kemiskinanlah yang justru menjadi pemicu tindakan tersebut.

Secara dzalim para punggawa negeri telah menyematkan radikalisme dan terorisme pada umat Islam. Tentu ini adalah sebuah penyesatan untuk menutupi masalah yang sebenarnya, yaitu kegagalan pemerintah dalam menata negeri.

Dalam paradigma Islam, fungsi pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Allah telah mencukupkan kebutuhan manusia, kemiskinan yang terjadi justru bukan disebabkan oleh terbatasnya sumber daya namun lebih kepada buruknya distribusi kekayaan. Tidak ada pilihan lain untuk mengentaskan kemiskinan kecuali berganti sistem secara revolusioner. Menerapkan Islam sebagai kepemimpinan politik dan negara.

Islam telah menyediakan seperangkat solusi untuk mengatasi kemiskinan, diantaranya:

Pertama, Islam mewajibkan laki-laki untuk bekerja menafkahi diri dan keluarganya. Islam juga memerintahkan keluarga dekat membantu finansial saudaranya, sebagaimana mewajibkan kepada kaum muslim secara umum menolong anggota masyarakat yang miskin. Disamping negara juga bertanggung jawab menanggung beban warganya yang miskin.

Kedua,  Islam memiliki pengaturan kepemilikan sehingga memungkinkan masalah kemiskinan dapat diatasi dengan sangat mudah. Kepemilikian tersebut terdiri dari kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Negara juga berkewajiban secara langsung melakukan pendistribusian harta kepada individu rakyat yang membutuhkan. Misalnya, negara memberikan sebidang tanah kepada soseorang yang mampu untuk mengelolanya.

Bahkan, setiap individu berhak menghidupkan tanah mati, dengan menggarapnya; yang dengan cara itu dia berhak memilikinya. Sebaliknya, negara berhak mengambil tanah pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut. Semua itu menggambarkan, bagaimana syariat Islam menciptakan distribusi kekayaan, sekaligus menciptakan produktivitas sumber daya alam dan sumber daya manusia, yang dengan sendirinya dapat mengatasi masalah kemiskinan.

Ketiga, penyediaan lapangan pekerjaan sekaligus penyediaan layanan pendidikan oleh negara.

Dalam kitab al-Amwaal karangan Abu Ubaidah, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau mengawinkan kaum muslim yang tidak mampu; membayar utang-utang mereka, dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya. 

Kondisi politik seperti ini terus berlangsung hingga masa Daulah Umayyah di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu, rakyat sudah sampai pada taraf hidup ketika mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz menerima kelebihan uang Baitul Mal secara berlimpah dari gubernur Irak.

Beliau lalu mengirim surat kepada gubernur tersebut, “Telitilah, barang siapa berutang, tidak berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah utangnya”. Kemudian, gubernur itu mengirim jawaban kepada beliau, “Sesungguhnya aku telah melunasi utang orang-orang yang mempunyai tanggungan utang, sehingga tidak ada seorang pun di Irak yang masih mempunyai utang, maka apa yang harus aku perbuat terhadap sisa harta ini?” Umar bin Abdul Aziz mengirimkan jawaban, “Lihatlah setiap jejaka yang belum menikah, sedangkan dia menginginkan menikah, kawinkanlah dia dan bayar mas kawinnya”.

Gubernur itu mengirimkan berita lagi bahwa dia sudah melaksanakan semua perintahnya, tetapi harta masih juga tersisa. Selanjutnya, Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat lagi kepadanya, “Lihatlah orang-orang Ahlu adz-Dzimmah  yang tidak mempunyai biaya untuk menanami tanahnya, berilah dia apa-apa yang dapat menyejahterakannya.” Dalam kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai, untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai manusia! Adakah di antara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Ke manakah anak-anak yatim?” Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut.
 
Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini, tidak hanya diberikan kepada kaum muslim, tetapi juga kepada orang nonmuslim. Dalam hal ini, orang-orang nonmuslim yang menjadi warga negara Daulah Khilafah, mempunyai hak yang sama dengan orang muslim, tanpa ada perbedaan.

Sebagai contoh, dalam akad dzimmah yang ditulis oleh Khalid bin Walid untuk menduduk Hirah di Irak yang beragama Nasrani, disebutkan: “Saya tetapkan bagi mereka, orang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu bekerja atau ditimpa suatu penyakit, atau tadinya kaya, kemudian jatuh miskin, sehingga teman-temannya dan para penganut agamanya memberi sedekah; maka saya membebaskannya dari kewajiban membayar jizyah.

Untuk selanjutnya dia beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, menjadi tanggungan Baitul Mal kaum muslim.” Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.

Umar bin Khatab r.a. pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang sedang mengemis. Ketika ditanyakan kepadanya, ternyata usia tua dan kebutuhan telah mendesaknya untuk berbuat demikian. Umar segera membawanya kepada bendahara Baitul Mal dan memerintahkan agar ditetapkan bagi orang itu, dan orang-orang seperti dia, sejumlah uang dari Baitul Mal yang cukup baginya dan dapat memperbaiki keadaannya.

Umar berkata, “Kita telah bertindak tidak adil terhadapnya, menerima pembayaran jizyah darinya kala dia masih muda, kemudian menelantarkannya kala dia sudah lanjut usia.

Sistem Islam meniscayakan duduknya orang-orang bertakwa dalam jajaran pemerintahan, yang melaksanakan amanah memimpin dengan penuh tanggung jawab semata-mata untuk meraih keridhaan Allah SWT. Demikianlah keluhuran pemimpin dalam Islam, rasa takut akan melalaikan hak-hak rakyatnya mengalahkan cinta pada dunia. Dalam kondisi kepemimpinan yang demikian, terorisme bahkan tak terdengar eksistensinya.[]

*Aktivis muslimah Aceh

Comment