RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Masalah demi masalah tidak kunjung usai melanda negeri tercinta Indonesia. Mulai dari kemiskinan, kekerasan, korupsi, kesehatan, ketidakadilan dalam hukum dan masih banyak lagi.
Persoalan sosial, ekonomi yang terus menghimpit rakyat dengan kenaikan barang kebutuhan rumah tangga, listrik dan BBM bahkan hutang luar negeri belum terselesaikan. Sementara koruptor, perampok harta milik rakyat kelas kakap hidup nyaman.
Jika melihat masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia hari ini, seperti kata Mantan Wapres Jusuf Kalla, adalah masalah ketidakadilan. Bukan Radikalisme.
Masalah ketidakadilan di hadapan hukum, ekonomi, politik, dan sebagainya. Dalam bahasa Rocky Gerung, Kabinet Maju ini jelas memenuhi kepentingan Oligarki.
Maka, alih-alih menyelesaikan masalah yang ada, justru membuat banyak masalah. Apa yang dinyatakan oleh Mantan Wapres memang benar, bahwa masalah Indonesia saat ini bukanlah Radikalisme. Tetapi, ketidakadilan. Mestinya inilah yang harus diselesaikan.
Seorang ekonomi senior Rizal Ramli mengungkapkan diakun twitternya, “dibalik isu radikalime ini ada maksud lain pemerintah dangan terus memasifkan isu tersebut yaitu Menutupi fenomina ekonomi yang kembali memburuk tahun ini. Rizal Ramli mengungkapkan jika ekonomi Indonesia tidak sampai 5%”
Radikalisme salah bidik?
Kata radikalisme terdiri dari 2 kata, yaitu radikal dan isme. Radikal dalam KBBI artinya 1.secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip) 2.amat keras menuntut perubahan (undang-undang pemerintahan) 3.maju dalam berfikir atau bertindak. Sementara isme adalah suatu faham tertentu.
Dilihat dari artinya radikalisme bukannlah sebuah monster yang harus ditakuti apalagi akan menghancurkan negeri ini. Dari maknanya radikal cukup netral dan sangat tergantung dari konteks mengantar (radikal) dalam hal apa, jika menuturkan perubahan mendasar.
Perubahan yang positif karena kondisi konstelasi politik yang tidak kondusif dan menghasilkan berbagai permasalahan akibat dari “akar” penerapan sistem yang salah. Tentang makna radikal akan menjadi makna yang positif bagi tubuh, sebaliknya seperti halnya pahlawan kemerdekaan Pangeran Diponegoro dicap sebagai radikal oleh Belanda, begitu pula pahlawan petani Banten tahun 1888, perlawanan rakyat Blitar 1888 dan perlawanan arek-arek Surabaya pada tahun 1904 disebut sebagai radikal
Umat Islam, sebagai mayoritas penduduk di negeri ini, justru terus dipinggirkan. Bahkan, dipojokkan, dituduh, dan sebagiannya telah dikriminalisasi. Bukan hanya umatnya, ajaran agamanya juga terus diserang. Setelah Khilafah, Bendera Tauhid, jihad, kini cadar, celana cingkrang, hingga pemisahan antara anak laki dan perempuan yang bukan mahram pun dipersoalkan. Ini adalah bukti, bahwa Islam dan umatnya sebagai pemegang saham terbesar di negeri ini diperlakukan tidak adil.
Cap “radikal”, “fundamentalis”, “ekstremis” dan lain sebagainya seolah menjadi virus yang mematikan dan harus dihindari oleh kaum Muslim. Akibatnya, sadar atau tidak, kepribadian umat bergeser menjadi kepribadian yang tidak lagi berpegang teguh pada Islam, karena khawatir mendapatkan label-label negatif tersebut.
Dalam jangka panjang, kepribadian umat yang cenderung tidak mau terlalu terikat dengan Islam ini akan melahirkan potret umat Islam yang suram karena makin jauh dari Islam.
Politik “Belah Bambu
Di balik isu radikalisme yang sebetulnya merupakan isu lanjutan dari isu terorisme yang cenderung terus-menerus dimunculkan. Dibalik isu radikalisme ini sebetulnya ada propaganda untuk menguatkan satu arus pemikiran dan sikap tertentu, yakni yang selama ini diklaim oleh sejumlah kalangan sebagai “Islam moderat”, seraya terus-menerus mengucilkan kelompok-kelompok lain yang dituduh “Islam radikal”.
Padahal semua istilah tersebut tidak dikenal dalam Islam. Baik istilah “Islam moderat” atau “Islam radikal” hanyalah ciptaan Barat penjajah demi kepentingan mereka, memecah-belah kaum Muslim.
“Islam moderat” tidak lain adalah Islam yang bisa menerima semua unsur peradaban Barat seperti demokrasi, HAM, pluralisme, kebebasan, sekularisme dll. “Islam moderat” inilah yang dikehendaki Barat. Sebaliknya, Islam yang anti peradaban Barat akan langsung mereka cap sebagai “Islam radikal”.
Tidak aneh jika Barat juga menuduh kelompok-kelompok yang memperjuangkan Islam kâffah melalui penerapan syariah Islam secara total melalui institusi Khilafah sebagai kelompok “Islam radikal”.
Inilah yang terbaca dari ungkapan sejumlah pejabat/mantan pejabat di negara-negara Barat sendiri seiring dengan isu terorisme yang mereka lambungkan.
Jelas ke mana arah Proyek Radikalisme ini. Proyek ini merupakan “Proyek Pertempean” umat Islam. Dengan kata lain, dengan Proyek Radikalisme ini, umat Islam yang menjadi batu karang ini hendak dijadikan tempe, agar tidak bisa menjadi penghalang yang akan mengancam kepentingan mereka untuk menguasai negeri ini. Tetapi, pertanyaannya, apakah mereka akan berhasil?
Sejarah sebagai Bukti
Sejarah membuktikan, bahwa serangan sedahsyat apapun tak akan bisa mengalahkan umat Islam, yang mempunyai akidah Islam yang luar biasa dahsyat. Bagaimana penduduk Syam, seperti Suriah, yang dibantai dari berbagai penjuru, hingga kini masih bisa bertahan.
Penduduk Palestina, juga sama, bahkan selama puluhan tahun hidup di bawah pendudukan Yahudi, tetap tak bisa ditundukkan. Sejarah Indonesia, yang dijajah Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang hingga 350 tahun tetap tidak bisa ditundukkan.
Semua ini karena umat Islam mempunyai akidah Islam. Andai bukan umat Islam, pasti mereka sudah punah. Sejarah ini bukan sekali dua kali. Lihat, bagaimana pembantaian kaum Kristen Spanyol terhadap umat Islam di sana, begitu juga kejahatan rezim Komunis Uni Soviet terhadap umat Islam di wilayahnya. Semuanya tak bisa membumihanguskan Islam dan umatnya.
Lihatlah, ketika Tatar membantai 1,5 juta jiwa di Baghdad, karena pengkhianatan Wazir al-Qumi, penganut Syiah fanatik, dan 35 tahun mereka menguasai umat Islam, nyatanya tak mampu mengalahkan umat Nabi Muhammad. Justru Tatarlah yang kemudian berbondong-bondong masuk Islam.
Itulah sejarah Islam dan umatnya. Karena itu, Isu seperti ini tidak akan pernah bisa mengalahkan Islam dan umatnya.
Paling-paling hanya bisa memengulur-ulur waktu, memberikan nafas kepada mereka, yang sudah kehabisan nafas, untuk bisa mengulur waktu. Sementara Islam dan umatnya tetap tak terkalahkan.
Begitu juga pengkhianatan demi pengkhianatan yang dilakukan oleh segelintir umat Islam tidak akan pernah bisa mengalahkan Islam dan umatnya. Begitulah sejarah Islam dan umatnya ini membuktika.. di masa lalu, kini dan yang akan datang.
Semuanya itu, karena Islam dijaga oleh Allah. Allah menjaga Islam dengan melahirkan generasi khaira ummah, generasi kesatria, yang luar biasa. Generasi ini selalu ada dalam sepanjang sejarah. Meski kelahirannya tidak dengan sendirinya, tetapi harus dilahirkan. Tetapi, mereka selalu ada dalam setiap sejarah kebangkitan, kemenangan dan kejayaan Islam.
Jika generasi Shalahuddin al-Ayyubi lahir dari Madrasah Nidzamiyah yang dibangun oleh Hujatu al-Islam al-Imam al-Ghazali, kemudian diteruskan oleh Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani, maka begitu juga generasi Muhammad al-Fatih lahir dari Madrasah ‘Aq Syamsudin dan Ahmad al-Qurani.
Dari sini kita paham, mengapa Proyek inDeradikalisasi, yang tak lain adalah Proyek Sekularisasi Radikal, atau Proyek Pertempean, itu diikuti dengan Kriminalisasi Ulama? Karena, ulama adalah mesin yang akan menggerakkan, dan mencetak generasi-generasi Shalahuddin al-Ayyubi dan Muhammad al-Fatih berikutnya.
Mereka bukan ulama biasa, tetapi ulama Rabbani. Ulama yang mempunyai kesadaran politik, karena tanggungjawabnya kepada Allah, Rasul dan kaum mukmin. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Comment