Muslim Arbi.[Dok/radarindonesianews.com] |
RADARINDONESIANEWS.CO, JAKARTA – Di antara banyak hal yang dapat mencederai demokrasi yang berjalan masif adalah branding Quick Count (QC) sejumlah lembaga survei (LS). Mereka menjual opini sesat pasangan calon (paslon).
Tentunya jual beli paslon pada QC itu didukung oleh pemodal (pemilik kapital) besar, parpol juga aktifis dan pengamat abal-abal Maka, jangan heran kalau hasil QC meleset jauh dibanding oleh real count apalagi hasil akhir KPU.
Effendi Zarkasi, seorang aktifis (alumni UI) menyebut sebagai kejahatan demokrasi. Itu semua karena liberalisasi politik yang menegasikan moral dan akal sehat. Padahal sejatinya demokrasi adalah moral dan akal sehat. Rupanya dalam kamus liberalisasi politik tidak ada akal sehat dan moral? Yang ada adalah money. Money can buy everything.
Ya, uang membeli segalanya. Membeli QC untuk pengaruhi opini pemilih; meski belum tentu dagangan opininya laku di pasar; meski para pemilih adalah dari kalangan klas bawah sekali pun.
Maka, sepakat dengan sejumlah pengamat agar para produsen QC itu perlu diberi sanksi sosial dan politik. Pabrik-pabrik QC dilarang gelar dagangan abal-abal by design karena pesanan. Bahkan karena pesanan itu makanya kebanyakan QC menyimpang jauh.
QC semacam itu pastinya menciderai nilai-nilai dan proses demokrasi, Demokrasi berjalan tidak selayaknya dan menjadi “demokrasi error”. Karena dari sumber pendanaan maupun sumber data QC dirahasiakan. Sehingga by design karena order yang diterima oleh Pabrik QC.
Alih-alih QC bukan mendidik masyarakat agar bertambah pemahaman demokrasi malah sebaliknya menyesat kan masyarakat karena opini yang diproduksi QCtersebut. Sekali lagi; money can buy everything. Uang menjadi faktor segalanya dalam demokrasi liberal. []
Comment