Ernest Pugiye |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Kondisi Papua sekarang dalam berbagai aspek tidak berbeda jauh dengan masa lalu. Seperti sebelumnya, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih semakin kompleks untuk dituntaskan oleh pribadi Joko “Jokowi” Widodo selaku Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pemerintahannya. Dikatakan demikian karena, berdasarkan pengalaman, orang asli Papua (selanjutnya akan disebut orang Papua) masih tetap saja dibunuh, ditindas dan dibantai secara sistematis oleh NKRI dalam pemerintahan Jokowi. Pemerintahan Jokowi selama empat tahun ini masih terbukti sama dengan Presiden-Presiden sebelumnya yang tukang mengobral janji tanpa bukti nyata dalam membangunan Papua. Maka penderitaan orang Papua ini hingga sekarang masih dipertebal dalam berbagai bentuk kebijakan pemerintahan Jokowi yang tidak banyak menjawab kebutuhan dan harapan Papua.
Kegagalan pembangunan Papua
Seperti Presiden-Presiden sebelumnya, Presiden Jokowi dan kabinetnya masih tetap gagal membangun pembangunan kesejahteraan dan perdamaian Papua. Sama dengan kenyataan penderitaan orang Papua di aspek-aspek lain, kegagalan pembangunan Papua ini dapat dinyatakan melalui minimnya pelayanan kesehatan bagi Papua. Bahkan pemerintahan Jokowi pun membiarkan rakyat Papua dalam kondisi kesakitan, gisi buruk dan kematian structural. Ada banyak buktinya secara nyata, di Kabupaten Asmat, para petugas kesehatan dari kota Asmat sampai di Kampung-Kampung tidak pernah berada di rumah sakit. Mereka lebih gemar sibuk dengan mencari uang, proyek dan berburu jabatan. Mereka tidak mau lagi setia menjalankan tugas sebagai pelayan kesehatan bagi orang Papua di sana.
Sekalipun sejumlah rumah sakitnya telah dibangun gagal, tetapi petugasnya biasa dijumpai tidak berada setempat. Kondisi ini juga dipertebal dengan tidak adanya stok obat di rumah sakit. Para pasien pun tidak mau datang di sana. Karena isi gedung rumah sakitnya benar-benar kosong, sekalipun pemerintah pusat telah mengkucurkan dana 34 an meliar rupiah untuk memperbaiki wajah kesehatan orang-orang Asmat. Uang sebanyak itu hanya biasa hilang secara sistematis di kalangan pemerintah sendiri. Sementara itu, ada banyak masyarakat di Kabupaten Asmat masih mengalami penyakit malaria, kusta dan diare. Selama empat tahun pemerintahan Jokowi, masyarakat Asmat dibiarkan dalam kondisi sakit penyakit kusta, malaria dan TBC serta diare, gisi buruk dan sejenisnya.
Di tempat yang lain, di Kabupaten Dogiyai Distrik Mapiha Tengah, kita dikagetkan dengan pembakaran puskesmas di Modio pada Kamis 14 Juni 2018. Peristiwa pembakaran ini telah dihebohkan oleh kesemua masyarakat dan media massa di Papua. Puskesmas Modio ini didirikan sejak 80-an oleh para misionaris bersama rakyat di sana. Tapi mereka membakarnya. Peristiwa kebakaran ini telah dilakukan oleh masyarakat berdasarkan kesepakatan bersama karena dipicu oleh adanya kematian Ibu (18-35) dan anak berusia 0-10 tahun yang paling tinggi. Kematian ini diikuti dengan tidak adanya pelayanan kesehatan dari para petugas kesehatan bagi warga Modio di sana.
Pada tahun 2016, orang Abouyaga Distrik Mapia Barat, ada 30 anak berusia 0-4 tahun pernah meninggal dunia karena ditimpa penyakit diare dan muntaber (munta-berak). Kemudian di Modio pusat pelayanan puskesmas dan Distrik sendiri, ada 38 anak dan ibu meninggal dunia pada tahun 2016-2018. Sementara di Kampung Diyeugi Distrik Mapia Tengah, ada sebanyak 25 anak dan ibu yang seusia dini dan produktif pernah meninggal dunia tanpa mendapatkan pengobatan medis/ pelayan kesehatan. Kemudia Desa Putapa ada sebanyak 22 anak, ibu dan laki-laki dewasa yang telah meninggal dunia tanpa pelayanan medis. Penyakit yang paling mendominan ialah malaria dan batu/ TBC.
Data kematian anak dan ibu berdasarkan penelitian team Dewan Adat Tota Mapiha pada tahun 2015-2018 ialah ada sebanyak 12.000 jiwa di Dogiyai. “Orang Papua tidak akan sehat dalam pemerintahan Jokowi.” Diketahui, data ini saya menulis secara cermat berdasarkan sejumlah sumber penelitian dari team tersebut. Maka mereka yang meninggal karena kecelakaan, meninggal tiba-tiba dan minuman beralkohol, belum dicantumkan saya dalam data korban nyawa orang Papua di Dogiyai. Oleh karena itu, kita tidak heran jika masyarakat membakar sejumlah gedung rumah sakit (puskesmas) yang ada di pusat kota Distrik Mapia Tengah dalam Kabupaten Dogiyai Provinsi Papua pada Kamis 14 Juni 2018.
Tidak adanya rasa kepemilikan
Kondisi di atas menunjukkan tidak adanya rasa kepemilikan dari pemerintahan Jokowi terhadap rakyat Dogiyai dan Asmat secara khusus dan Papua secara umum. Adanya rasa ketidakkepemilikan ini menunjukkan belum adanya realasi nyata dari berbagai kebijakan Jokowi dan para kabinetnya bagi pembangunan perdamaian dan kesejahteraan Papua. Kebijakan Jokowi dipromosikan sejak 2014 tentang Indonesia sehat bagi Papua hanya menjadi simbolitas saja tanpa isi dan tujuan di saat sekarang. Belajar dari kondisi kesehatan dan pendidikan di Dogiyai dan Kabupaten sekitarnya, kebijakan Jokowi tentang kartu Papua sehat bagi Papua masih belum menebus maraknya kenyataan masalah kesehataan orang-orang Papua yang sudah semakin memprihatinkan itu.
Melalui adanya kebijakan kesehatan yang masih dipandang simbolis dan bernuasa ide-ide janji, Jokowi bersama para menterinya justru telah mematikan nyawa rakyat yang tidak sedikit. Pribadi Jokowi selaku Presiden Indonesia ke 07 tidak pula menjadi harapan dan jawaban bagi realitas masalah kesehatan Papua yang semakin berlapis ini. Karena Jokowi dan jajarannya tidak punya rasa kepemilikan atas kesehatan orang-orang Papua, ia sekarang diniliai tidak lagi pula menjadi bagian integral dari keseluruhan penderitaan Papua.
Orang Papua yang sedang ditimpa oleh berbagai penyakit dan kematian structural tadi justru tetap akan mempertebal ketidakpercayaan dan kecurigaan mereka terhadap kebijakan Jokowi bagi Papua ke depan. Meskipun Presiden Jokowi akan menggunakan sejuta bahasa dan cara terbaru untuk merebut kembali kepercayaan orang Papua, ingatan orang Papua secara kolektif atas pengalaman pahitnya tidak akan pernah disembuhkan. Dalam kondisi inilah, orang Papua sudah akan terus membutuhkan pemimpin gila bangun Papua.
Butuh orang gila
Kondisi kepemimpinan Jokowi yang sedemikian mempertebel harapan orang Papua akan hadirnya seorang pemimpin orang gila bagi mereka. Karena harapan ini sudah tentunya merupakan kebutuhan dan jawaban yang perlu dipenuhi pemerintah. Kebutuhan ini lahir dari berbagai pergumulan hidup tentang konflik Papua dan ideologi perdamaiannya. Maka berdasarkan pergumulan penderitaan yang paling panjang, orang Papua butuh orang gila untuk mengangkat mereka dari penderitaan dan kemelaratan.
Patut dijelaskan bahwa istilah orang gila yang dibutuhkan orang-orang Papua sekarang, menurut pendapat saya, ialah seorang pemimpin rakyat yang berjiwa besar, pendamai dan tidak pantang mundur dalam upaya membangun pembangunan karakter anak bangsa. Juga dibutuhkan pemimpin yang menghadirkan diri bersama dengan dan untuk mereka. Bahkan mereka pun membutuhkan pemimpin yang membuat orang-orang Papua menyadari masalahnya dan sekaligus ikut bertindak membebaskan diri mereka dari berbagai belenggu dan jeratan konflik Papua. Maka ia harus mengalami dan mendengarkan penderitaan orang-orang Papua dari sumber masalah mereka menuju pembebasan abadi.
Sebagai pemimpin gila, ia siap selalu bertindak menyelesaikan tidak hanya masalah kesehatan dan pendidikan saja, tetapi juga ia mampu menyelesaikan berbagai masalah antara rakyat Papua dan pemerintah Indonesia selama 57 tahun itu. Dalam pengertian ini, ia mutlak perlu punya inisiatif pribadi untuk menuntaskan konflik Papua melalui dialog Jakarta-Papua. Maka dialog sudah wajib digunakan pemerintah sebagai jalan untuk mengindetifikasikan dan menganalisis masalah-masalah kesehatan orang-orang Papua, menetapkan indikator-indikator dan target-target nyata demi terciptanya perdamaian Papua.
Seperti kata Jokowi sendiri sebelumnya, rakyat mesti perlu diajak bicara dari sumber masalah mereka di kampung-kampung. Pikiran-pikiran dan harapan-harapan rakyat pinggiran mesti perlu diterima dan didengarkan Jokowi. Karena orang Papua butuh pemimpin yang selalu berusaha mengajak mereka bicara tentang masalahnya. Dialog tentang masalah-masalah mendasar mereka inilah yang sempat dijanjikan untuk akan setia didengarkan dengan segenap hati dan dengan kepala dingin oleh pemerintah Jokowi dan dapat dirumuskan dalam kebijakan-kebijakan yang berpengharapan Papua. Maka untuk melahirkan kebijakan pemerintah yang berpihak secara produktif kepada rakyat, dialog mesti perlu dilakukan mulai dari kampung, tingkat kabupaten, provinsi dan sampai kepada pemerintah pusat. Sejatinya, sebagai seorang pemimpin gila bangun Papua damai, ia tidak lagi memandang dialog Jakarta-Papua sebagai gerakan separtisme Papua, tetapi mendorong dialog sebagai media bersama yang paling mendesak, perlu digunakan untuk menyelesaikan konflik Papua dan mencari solusi komprehensif dan permanen hanya melalui sarana dialog bagi perdamaian Papua.
Penulis adalah Alumnus pada Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur” Abepura
#Tulisan asli tanpa edit dari redaksi. Hanya judul yang diubah dari aslinya, “Papua Masih Gagal Dibangun Pemeritahan Jokowi”
Comment