Rindyanti Septiana S.Hi, Penulis |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama, KH Said Aqil Sirodj, meminta kurikulum pendidikan agama Islam disekolah dikaji ulang, pasalnya menurut beliau pada bab tentang sejarah terlalu didominasi cerita peperangan.
“Yang diperhatikan adalah kurikulum pelajaran agama di sekolah. Saya melihat pelajaran agama di sekolah yang disampaikan sejarah perang, misalnya perang Badar, perang Uhud, pantesan radikal,” katanya (29/07/2018, seperti dikutip antaranews.com
Bahkan beliau juga menilai ayat-ayat perang tidak menyejukan, dan seharusnya diganti dengan ayat-ayat yang menyejukan agar terwujud akhlak yang baik dan toleransi dari segenap umat Islam.
Lalu benarkah ayat-ayat perang akan memunculkan sikap radikal, dan demi terwujud toleransi kurikulum pendidikan agama harus diganti?
Radikal dan Tujuan Perang
Begitu besar kekhawatiran Tokoh PBNU, KH. Said Aqil Sirodj akan munculnya sikap radikal dari kaum muslimin jika masih mempelajari sejarah perang dan dimuat dalam kurikulum pendidikan agama.
Padahal sikap radikal yang selalu dicirikan menggunakan kekerasan untuk meraih kepentingan, yang selalu mencontohkannya ialah Amerika Serikat. Tindakan AS yang membumihanguskan Irak sekaligus membunuhi ratusan ribu penduduknya dengan alasan menyebarkan demokrasi, bahkan berbohong tentang senjata pemusnah massal.
Lalu sikap Barat dan AS yang selalu mendukung kekejaman Israel atas kaum Muslim Palestina serta menopang para rezim diktator di Dunia Islam khususnya, seperti Musharraf, Husni Mubarak, Islam Karimov, Bashar Ashad dll?
Sementara dengan mempelajari sejarah perang Rasul dan para shahabat kita dapat mengingat sungguh luar biasa Rasul dan para shahabat mati-matian memperjuangkan Islam, yang dengan itu kita dapat merasakan indahnya agama ini.
Seorang Muslim dididik dengan akhlak yang mulia melalui Al-qur’an dan sunnah. Izin berperang barulah muncul di saat umat Islam memang dihadapkan pada kondisi tempur. Dalam kondisi tersebut umat Islam harus membela diri dan agama mereka. Allah SWT berfirman :
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”…” (TQS. Al-Hajj:39-40)
Dalam ayat ini, penyebab disyariatkannya perang sangat jelas sekali. Yaitu, karena umat Islam dizalimi dan diusir dari negeri mereka tanpa alasan yang dibenarkan.
Dan harus dipahami dan disadari asas dari agama Islam adalah kedamaian dan menempuh jalan-jalan untuk damai. Seperti membalas sikap buruk dengan tidak melayani, memaafkan, bahkan membalas dengan yang lebih baik. Lalu mengapa Islam mengajarkan berperang?
Karena saat itu perang menjadi solusi. Sebagaimana dokter mengambil langkah operasi atau amputasi, karena saat itu operasi dan amputasi menjadi solusi. Jika tidak, maka dokter hanya menyarankan pasiennya istirahat atau minum obat.
Setelah perintah perang turun, nilai-nilai mulia pun tetap diperhatikan. Ada normanya: Jangan kamu melampaui batas, Allah benci orang-orang yang melampaui batas. Dan tujuan perang banyak sekali kebaikan di dalamnya. Yaitu, mempertahankan agama dan wilayah mereka. Umat Islam dapat beribadah dengan tenang setelah sebelumnya orang-orang non muslim mengusiknya. Dakwah Islam juga tersebar kepada seluruh manusia. Pembebasan diri dari penyembahan kepada manusia menuju penyembahan kepada Allah semata.
Begitu gegabah ketika menyatakan dengan mempelajari sejarah perang maka akan memicu sikap radikal.
Toleransi dalam Islam
Radikalisme adalah gejala yang bersifat global. Di Indoneseia radikalisme hampir selalu dikaitkan langsung dengan Islam walau ini tidak dinyatakan secara terus terang. Cara ini justru berbahaya. Kesalahan terbesar media utama bukan pada penyebaran hoax tetapi pada penyembunyian fakta. Radikalisme terjadi dimana-mana, termasuk di negara-negara mayoritas Katolik, Kristen atau Budha dan Hindu.
Sekularisme sebagai paham yang memisahkan agama dengan politik yang dianut banyak negara-bangsa adalah paham radikal. Setiap isme yang bergelora dan inspiratif selalu bersifat radikal. Biasnya defenisi radikalisme dalam seruan pemerintah, dan kentalnya aroma islamophobia pada kebijakan deradikalisasi jelas terbaca.
“Akan datang kepada kalian masa yang penuh dengan tipu daya, ketika orang-orang akan mempercayai kebohongan dan mendustakan kebenaran. Mereka mempercayai para pengkhianat dan tidak mempercayai para pembawa kebenaran. Pada masa itu, Ruwaibidhah akan berbicara. Mereka bertanya.” Mereka bertanya , “Apakah Ruwaibidhah?” Rasulullah berkata, “Ruwaibidhah adalah orang-orang bodoh (yang berbicara) tentang urusan umat.” (HR Ibnu Hakim dalam Mustadrak)
Hadist ini menjelaskan tentang kelompok orang yang tidak peduli terhadap urusan agama. Mereka adalah budak hawa nafsu dan dunia. Mereka mengibarkan bendera Jahiliyyah. Menyeru kepada ideologi dan isme sesat dan merusak, seperti Kapitalisme, Sosialisme, Sekularisme dll. Seharusnya segala macam isme tersebut yang perlu dihilangkan dalam kurikulum pendidikan di negeri ini. Karena setiap isme tersebut yang memberi peluang munculnya paham radikal.
Sementara toleransi dalam Islam itu “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Bukan dengan mengikuti bahkan meramaikan hari ibadah agama lain. Jangan atas nama toleransi justru menggadaikan keyakinan sendiri, membuat aturan yang tak pernah Rasulullah lalukan.
Bahkan sikap toleransi yang diwujudkan dalam masa kepemimpinan Islam yaitu Khilafah seorang ulama dari Imam Mahzab Syafi’i bernama Al-Qarafiy berkata ,
“Sesungguhnya diantara kewajiban tiap Muslim terhadap kafir dzimmi (non muslim yang dilindungi dalam negara Islam) adalah berbuat lembut kepada kaum lemah mereka, menutup kebutuhan kefakiran mereka, memberi makan orang yang kelaparan dari kalangan mereka, memberi pakaian kepada mereka yang telanjang, mengajak mereka bicara dengan kata-kata yang lembut, menanggung penderitaan tetangga dari mereka semampunya, bersikap lembut pada mereka bukan dengan cara menakuti, bukan pula dengan cara penghormatan yang berlebihan. Ikhlas memberi nasihat kepada mereka dalam semua urusannya, melawan orang yang hendak menyerang dan mengganggu mereka, menjaga harta, keluarga, kehormatan, dan seluruh hak serta kepentingan mereka. Setiap Muslim bergaul dengan mereka sebaik mungkin dengan akhlak mulia yang dapat dia lakukan.” ( Ad-Daulah fil islam, Taqiyuddin An-Nabhani)
Maka tidaklah tepat dan tidak pula bijaksana untuk mengubah kurikulum pendidikan agama terkait sejarah perang dan digantikan dengan ayat-ayat yang menyejukkan. Perlu kembali memahami sejarah Islam dengan benar dan menyadari bahwa ketiadaan kepemimpinan Islam saat ini yang menimbulkan banyak konflik. Karena saat Islam memimpin peradaban, konflik bisa diminimalisir, sikap santun dan lembut diberikan pada kafir dzimmi (non muslim) serta pendidikan agama menjadi pondasi utama untuk menguatkan akidah kaum muslimin.[]
Rindyanti Septiana S.Hi
Penulis Buku Bidadari Penulis Dunia
Pembina Forum Muslimah Cinta Islam Johor (Medan)
Comment