Yuchyil Firdausi, S.Farm., Apt |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Hingga hari ini Indonesia masih menyandang status Darurat Narkoba. Seakan tak pernah berhenti , permasalahan narkoba di negeri ini bukan semakin berkurang, justru semakin bertambah. Belum lama ini, narkoba menjerat sederet artis dan sutradara. Nunung, komedian beserta suaminya Iyan Sambiran ditangkap polisi lantaran ditemukan barang bukti narkotika jenis sabu seberat 0,36 gram di rumahnya (news.detik.com/22/07/2019).
Tidak lama setelah penangkapan Nunung, menyusul Jefri Nichol, artis peran yang sedang naik daun ini pun juga ditangkap dan menyeret nama sutradara Robby Ertanto (tribunnews.com/25/07/2019). Namun, sebelum kasus ini pun sederet nama artis juga pernah terjerat kasus narkoba. Bak fenomena gunung es, kasus yang nampak hanya permukaan saja, namun yang tidak nampak justru lebih banyak.
Lebih parah lagi, jumlah pengguna narkoba dari kalangan milenial pun meningkat drastis. Kepala BNN Heru Winarko menyatakan bahwa generasi milenial yang menggunakan narkotika semakin meningkat dari 24% menjadi 28% (tribunnews.com/26/06/2019). Generasi muda, usia produktif, para pelajar menjadi pasar bagi pengedar narkoba. Berdasarkan data dari BNN (Badan Narkotika Nasional) sepanjang tahun 2018 ada 2 Juta mahasiswa dan 1,5 Juta pekerja terlibat Narkoba (kompas.com/ 25/03/2019).
Disusul data survei BNN Juni 2019, sebanyak 2.3 juta pelajar mengkonsumsi narkoba (cnnindonesia.com/nasional/22/06/2019). Sungguh mengerikan, jika generasi muda sudah terkena narkoba, akan jadi apa negara ini di kemudian hari? Ini baru sebagian dari kasus pemakai narkoba di tingkat nasional. Belum lagi kasus para pengedar dan bandar narkoba, yang semakin hari pun juga semakin meningkat, tak hanya di kota metropolitan bahkan hingga ke daerah.
Sebut saja di Jawa Timur, dalam kurun waktu 2018-2019 penangkapan-penangkapan bandar narkoba terus terjadi dan lagi-lagi, para pelaku adalah usia produktif. Di Blitar, 5 Juli 2018 lalu bandar besar pil koplo ditangkap polisi dengan barang bukti 27.315 butir pil koplo (www.inews.id/05/07/2018). Tak jauh dari Blitar, di Nganjuk juga mengalami hal serupa. Pada Maret 2018, Tim khusus BNN Kabupaten Nganjuk meringkus seorang wanita muda berinisial N, 26 tahun dengan barang bukti sabu-sabu seberat 5,82 gram (matakamera.net/2018/03).
Hingga tahun 2019 pun peredaran sabu-sabu (SS) di Kota Angin, Nganjuk masih marak. Pasalnya, Kabupaten Nganjuk telah jadi pasar potensial barang haram ini. Jumat malam lalu (19/7), Satresnarkoba Polres Nganjuk meringkus seorang pengedar, Apriyanto Fajar Rismahendra, 37 tahun. Dari tangan resividis ini, petugas menyita SS seberat 0,29 gram (radarkediri.jawapos.com//22/07/2019).
Tak berhenti di situ, Kamis (25/7) malam Satresnarkoba Polres Nganjuk mengamankan satu karung dobel L berisi 70 ribu butir di Desa Kedungrejo, Tanjunganom. Barang ilegal itu disita dari Teguh Subiyanto, 35 tahun yang ditangkap saat tengah membawa pil koplo dalam perjalanan. (radarkediri.jawapos.com/read/27/07/2019). Pada Minggu lalu (28/7), berhasil lagi diringkus dua pengedar pil dobel L. Mereka adalah Ico Alfindo Ardie, 22 tahun dan Muhadi, 21 tahun, keduanya adalah mahasiswa. Penangakapan dua tersangka berdasarkan keterangan dari Ro, 17 tahun, pelajar asal Nganjuk. Saat itu, pelaku tertangkap membawa 15 butir pil koplo yang didapat dari Ico (radarkediri.jawapos.com/read/29/07/2019).
Setelah Blitar dan Nganjuk, menyusul di Jombang juga terjadi penangkapan 5 pelajar pengedar pil koplo yang merupakan siswa kelas 1 dan 2 tingkat SMA di Kabupaten Jombang dengan barang bukti 96.633 butir pil double L atau pil koplo, serta sabu-sabu sebanyak 161.45 gram. Barang bukti sabu-sabu, nilainya sekitar Rp 600 juta. Kepala Satuan Reserse Narkoba Polres Jombang, AKP Moch Mukid mengatakan, kelima pelajar yang menjadi pengedar pil koplo tersebut, rata-rata sudah menjalankan aksinya selama 1 tahun dan sudah mengkonsumsinya sejak SMP.
Adapun, sasarannya adalah rekan sesama pelajar atau remaja putus sekolah. Sementara itu, selama 7 bulan terakhir, jajaran Polres Jombang menangkap 240 orang terkait peredaran dan penyalahgunaan narkoba (kompas.com/regional/read/2/08/2019).
Kasus narkoba harus menjadi perhatian semua pihak. Pasalnya kasus demi kasus terus berlangsung baik di tingkat Nasional maupun daerah. Apalagi kasus narkoba sering menjerat generasi muda, milenial, dan usia produktif. Bagi pemakai, alasan pemakaian narkoba ini dianggapnya mampu meningkatkan imun dan merasa lebih enerjik (tribunnews.com/26/06/2019). Narkoba seringkali dijadikan pelarian atas permasalahan hidup seperti keluarga yang broken home, stress dengan kehidupan kerja, stress dengan sekolah bahkan putus sekolah, hingga stress apabila melihat orang lain lebih sukses.
Itulah sebabnya mengapa generasi milenial menjadi sasaran yang empuk bagi para pengedar narkoba. Bagi pengedar, alasan para pengedar tetap menjalankan bisnis haram ini adalah keuntungan besar yang yang diraup dengan waktu cepat. Pasalnya salah satu dari yang tertangkap ternyata merupakan resividis dari kasus yang sama (radarkediri.jawapos.com//22/07/2019). Tanpa memperhatikan apakah bisnis yang dijalaninya merusak generasi atau tidak, haram atau halal, para pelaku tetap saja menjalankan bisnis ini. Hukuman mati gembong narkoba, Freddy Budiman 2016 silam pun ternyata tak membuat bandar narkoba maupun gembong yang lain jera dan takut.
Maraknya penyalahgunaan narkoba di tengah-tengah masyarakat membuktikan bahwa tingkat permintaan dan produksi barang haram ini masih tinggi. Semakin menjamurnya narkoba menunjukkan bahwa supplier narkoba di negeri ini masih besar dan sulit untuk diberangus. Tentu kasus narkoba ini tak lepas juga dari pandangan hidup manusia saat ini. Pandangan hidup manusia saat ini adalah sekuler kapitalis. Sekuler artinya meniadakan agama dalam segala aspek peraturan hidup, agama tak lebih hanya dijadikan sebagai ibadah ritual di masjid-masjid. Akibat paham sekuler inilah maka gaya hidup manusia menjadi bebas dan semaunya (baca: liberal).
Manusia tidak lagi melihat apakah perbuatan yang dilakukannya halal atau haram, yang dipentingkan hanya bagaimana bisa meraup keuntungan sebesar-besarnya. Manusia tidak lagi mempedulikan apakah aktivitas yang dijalankan nya merusak generasi atau tidak. Bagi penganut sekuler-kapitalis, hidup bahagia adalah ketika keinginan-keinginan materi dapat diraih.
Padahal telah diketahui bahwa narkoba haram hukumnya. Hal ini harus menjadi perhatian oleh semua pihak. Bukan hanya fokus pada kasus pemakai dan pengedarnya, lebih jauh harus juga mampu diungkap ada apa di balik semakin maraknya penyalahgunaan narkoba. Bukan tidak mungkin, bahwa ada campur tangan oknum pejabat dalam peredaran narkoba sehingga memuluskan peredaran barang haram ini di Indonesia (kompas.com/05/03/2019).
Oleh karenanya negara harus memiliki kekuatan pula untuk memberantas narkoba sebab memutus rantai narkoba tidak bisa jika hanya mengandalkan benteng individu masyarakat namun juga dibutuhkan peran negara.
Negaralah yang punya power untuk menghentikan peredaran dan penggunaan narkoba secara sistemis. Negara wajib menutup akses masyarakat terhadap narkoba, misalnya dengan menutup tempat hiburan, mencegah produksi dan distribusi minuman keras, serta mengawasi secara ketat peredaran bahan pangan dan obat-obatan.
Pemerintah hendaknya memutus rantai narkoba bukan hanya di level akar rumput namun juga perlu ada keberanian menghentikan impor narkoba skala massive yang dilakukan oleh para mafia. Lalu memberi sanksi tegas bagi para pelakunya. Sanksi ini haruslah yang bisa memberikan efek jera bagi pelaku dan memberi efek pencegah bagi yang belum terjerat narkoba. Pemerintah perlu serius menjaga nasib generasi bangsa dengan langkah strategis dari hulu hingga ke hilir.[]
*Apoteker
Comment