Rindyanti Septiana S.Hi, Penulis |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Menurut pengakuan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahwa tahun depan pemerintah menghadapi tantangan cukup berat khususnya dalam mengelola anggaran karena utang jatuh tempo yang besar. Sedikitnya besar utang jatuh tempo yang harus dibayar pemerintah di tahun 2019 mencapai Rp 409 Triliun,dikutip binis.tempo.co,(17/7).
Bahkan Mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli menyatakan bahwa kondisi perekonomian Indonesia, khususnya masalah utang sedang dalam kondisi yang kurang sehat. Namun, pemerintag selalu mengelak dengan menyatakan bahwa utang Indonesia masih aman. Pemerintah dinilai selalu membandingkan rasio utang Indonesia lebih baik dengan negara lain seperti Amerika Serikat dan Jepang. Padahal, katanya, perbandingan tersebut tak sesuai untuk dilakukan, finance.detik.com, (3/7).
Belajar dari Khilafah Utsmani
Posisi utang negara Ustmaniyah pada dua masa sultan sebelumnya, yaitu Abdul Majid (ayah Abdul Hamid) dan Abdul Aziz (pamannya) telah mencapai 252juta Lira emas (tahun 1881 M), dan jumlah tersebut harus segera dibayar karena jatuh tempo.
“Saat saya memangku jabatan Kekhilafahan, total utang kami sekitar 300 juta Lira dan berhasil ditekan hingga 30 juta Lira, atau tinggal sepersepuluhnya saja.”Begitu tulis Sultan Abdul Hamid II (1842-1918), salah seorang Khalifah Utsmaniyah di dalam catatan hariannya (Lihat, Mudzakaraat as-Sulthan Abdul Hamid, karya Dr. Muhammad Harb, hal 26)
Saat memegang tampuk kekuasaan, Sultan Abdul Hamid dihadapkan pada berbagai permasalahan, seperi pemberontakan di Serbia dan Montenegro, yang dimulai sejak akhir pemerintahan Sultan Abdul Aziz. Demikian juga keberadaan para pejabat pengkhianat Islam dan sebagian gubernur yang serakah, diantaranya Khudaiwi Ismail, gubernur Utsmaniyah di Mesir, yang mengajak antek Inggris, yang telah menjabat sejak masa pemerintahan pamannya, sultan Abdul Aziz.
Gubernur Ismail telah berhasil memaksa Sultan Abdul Aziz untuk menerima utang luar negeri dari Inggris dan Prancis sebesar 100 juta Poundsterling. Tindakan Abdul Aziz menerima usulan Khudaiwi Ismail ini telah membuat Utsmaniyah jatuh ke dalam kubangan utang luar negeri. Sifat serakah Khudaiwi Ismail ini juga telah mendorongnya menjual saham-saham pribadinya atas kepemilikan Terusan Suez pada November 1875 di pasar gelap.
Untuk menghentikan laju bertambahnya utang luar negeri dan berpindahnya kepemilikan aset-aset strategis negara ke tangan musuh. Sultan Abdul Hamid segera memecat para pejabat rakus termasuk diantaranya gubernur Mesir, Khudaiwi Ismail. Ismail dipecat melalui dekrit tahunan yang dikeluarkan pada 25 Juli 1879 M.
Pemerintah Khalifah Abdul Hamid sangat terbebani dengan banyaknya utang luar negeri. Sementara itu, sumber pendapatan negara dari hari ke hari semakin menciut. Produktivitas dalam negeri pun hari demi hari semakin menurun, sehingga sepanjang periode pembenahan tersebut, Sultan Abdul Hamid harus mendatangkan barang-barang kebutuhan bagi rakyatnya dari Eropa.
Komoditas tekstil Eropa ada dimana-mana, membanjiri negara. Kondisi ini berdampak pada bangkrutnya sejumlah pabrik di dalam negeri, karena pendapatan yang terus menurun. Pemasukan cukai lintas batas pun mengalami penurunan hingga pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Keadaan ini sebagai konsekuensi dari diberlakukannya perjanjian perdagangan dengan negara-negara besar yang dilakukan oleh para Khalifah sebelumnya.
Kondisi buruk ini diperparah dengan adanya persoalan tanah tempat tinggal dan lapangan pekerjaan bagi jutaan Muslim Utsmaniyah yang eksodus dari Bulgaria ke Istanbul. Eksodus ini sebagai akibat dari adanya perang yang terjadi antara Rusia dan Utsmaniyah yang berlangsung dari tahun 1877 sampai 1878 M. Sebagai solusi atas persoalan ini, dibuatlah perjanjian untuk mengakhiri perang pada 31 Januari 1878 M.
Keseriusan Sultan Abdul Hamid untuk melunasi utang ini dilakukan, antara lain, dengan memangkas pengeluaran, serta menangguhkan gaji para pegawai pemerintahan. Memang, kondisi ini telah menyebabkan para pegawai negara, terutama para pemegang kebijakan gelisah karena gaji mereka dibayarkan terlambat.
Besarnya utang luar negeri Khilafah Utsmaniyah ini juga telah dimanfaatkan oleh Yahudi Eropa sebagai jalan untuk mendapatkan tanah Palestina. Para Yahudi menjanjikan Sultan untuk membantu melunasi utang-utang negaranya. Namun, tipu muslihat mereka yang keji dan licik itu tidak mendapatkan respon positif dari Sultan Abdul Hamid.
Pada tanggal 28 Juni dan 7 Juli 1890 M, Sultan mengeluarkan dua instruksi Sultan, yaitu ditolaknya keinginan Zionisme untuk memiliki tanah-tanah Utsamniyah dan mengembalikan mereka ke asal mereka. Sultan Abdul Hamid telah menetapkan perintah itu dengan suatu pandangan bahwa Khilafah Utsamniyah tetap memelihara aset palestina dan tidak menjual tanahnya kepada para imigran yang datang kepadanya.
Meski, kebijakan yang terakhir ini membuat kaum Yahudi itu marah besar. Mereka kemudia merancang skenario untuk menggulingkan Sultan Abdul Hamid. Karena, mereka mustahil mengambil Palestina dari tangan kaum Muslim selama Khilafah ini masih ada. Benar saja, egitu Sultan Abdul Hamid digulingkan, dan Khilafah Utsmaniyyah dibubarkan, Palestina akhirnya benar-benar jatuh ke tangan Yahudi dengan cuma-cuma.
Jerat Utang, Islam Solusinya
Dalam alam demokrasi, utang telah menempati peran penting memlalui mekanisme ekonomi kapitalis. Dalam konsep kapitalisme, utang berperan dalam penempatan modal awal yang akan digunakan untuk memulai suatu usaha dampai dengan ekspansi bisnis yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan. Padahal tanpa terasa di dalamnya mengandung riba karena adanya perhitungan time value of money. Kita bisa lihat hal ini dalam skala kecil industri menengah, multinasionalk, baik usaha maupun di perusahaan bursa hingga pemerintah.
Ditinjau dari pemasukan negara dalam sistem pemerintahan Islam, sumber-sumber pendapatannya diperoleh dari kepemilikan negara (milkiyyah ad-daulah) seperti ‘usyue, fa’i, ghonimah, kharaj, jizyah dan lain sebagainya. Selain itu dapat pula diperoleh dari pemasukan pemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) seperti pengelolaan hasil pertambangan, minyak bumi, gas ala, kehutanan dan lainnya.
Negara bertanggung jawab atas optimalisasi dari harta kepemilikan umum dan negara tersebut tanpa adanya liberalisasi dalam lima aspek ekonomi, yaitu liberalisasi barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil. Dan juga diperoleh dari zakat maal (ternak, pertanian, perdagangan, emas dan perak). Tiga pos ini mengalirkan harta baitul maal karena bertumpu pada sektor produktif. Harta baitul maal juga selalu mengalir karena tidak terjerat utang ribawi. Dengan demikian, kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi penutupan kebutuhan anggaran dari utang luar negeri dapat dihindari.[]
Comment