Hanif Kristianto |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Siapapun manusia pasti memiliki identitas dalam ekspresi jiwanya. Begitupula aksi 212 yang awalnya dari Aksi Bela Islam, kini bergerak mewujudkan eksistensinya. Gerakan aksi 212 seiring berjalan waktu terjadi bongkar pasang dan pembelokan arus. Meski demikian, tatkala gerakan 212 dalam langkah dilandasi aqidah dan ukhuwah, niscaya menjadi gelombang persatuan umat.
Potensi persatuan umat dalam identitas keislaman bukan hal baru. Sebab, semenjak Rasulullah Saw diutus dan prosesi hijrah dilalui, landasan aqidah dan ukhuwah menjadi kunci. Keabadian kunci itu tak mampu diotak-atik siapapun.
Reuni 212 pada 2 Desember 2018 menjadi titik tolak dalam meneguhkan eksistensi. Eksistensi sebagai umat Islam sejati di bawah naungan satu panji: laa ilaha illallah muhammad rasulullah. Lontaran perendahan pertemuan akbar ini, sesungguhnya menunjukan ketidaksukaan kembalinya izzul islam wal muslimin. Bolehlah diketengahkan alasan yang sifatnya materi dan kemanusiaan, tapi dorongan aqidah dan spiritual menembus batas itu semua.
Islam di Indonesia, pasca sikap politik yang dikatator dan intimidatif, umat menemukan satu titik cahaya kebangkitan. Seperti halnya keingingan umat Islam untuk kembali kepada Allah dan rasul-Nya, serta diatur dengan syariah. Kondisi inilah yang tidak disukai oleh kafir penjajah dan orang-orang yang sudah silau dengan tsaqofah asing yang sekular dan liberal. Ketidaksukaan itu lebih didasari pada kecintaan dunia dan kekuasaan yang sementara, yang pada akhirnya terkubur seiring masuk kubur.
Upaya pengaborsian umat untuk kembali disatukan dalam tauhid tampak pada sikap pecah belah, adu domba, dan monsterisasi ajaran Islam. Simbol-simbol Islam mudah dihinakan. Pikiran Islam dan ghirah Islam ditekan habis-habisan dan dikotakkan. Ujaran kebencian dialamatkan pada Islam dan umatnya. Hal itu dilakukan terang benderang tanpa malu lagi. Baik di media nyata atau media sosial. Sungguh persitiwa demi peristiwa telah menorehkan guratan luka di negeri dengan mayoritas muslim yang jauh dari Islam.
Agar reuni ini memiliki makna ghirah bela tauhid dan himmah ukhuwah, maka umat Islam bisa memiliki langkah stategis:
Pertama, arah perjuangan umat harus mulai digambar jelas dan memiliki road map. Jangan sampai umat berkali-kali jatuh ke lubah yang sama, karena dimanfaatkan sekelompok partisan dan pragmatisme. Baik yang ingin meraih keuntungan politik atau pun materi.
Kejelasan arah perjuangan umat akan tampak dari kesadaran sama-sama bergerak karena dorongan iman yang tinggi. Tanpa dorongan iman, niscaya perjuangan mudah dibelokkan dan diliputi keputusasaan. Ujungnya berhenti dan pindah haluan.
Kedua, umat harus memiliki kesadaran politik yang sahih dari Islam. Kesadaran ini meliputi pemahaman utuh bahwa konstelasi politik nasional dan internasional akan selalu meminggirkan dan meniadakan peran umat Islam. Umat harus waspada dari janji palsu kaum pemuja kekuasaan dan pencuri suara umat.
Ulama yang mukhlis dan haris saat ini tidak boleh diam melihat kedzaliman yang sistemik. Ulama’ harus bersuara lantang dan membela hak-hak umat Islam yang termarjinalkan. Kekuatan ulama’ menjadi kunci untuk menarik gerbong rakyat dalam melakukan perubahan.
Ketiga, tahu kawan dan tahu lawan. Adu domba antar umat Islam merupakan standar baku untuk melemahkan kekuatan. Ulama’ dan umat harus mampu mengidentifikasi kawan dan menyingkirkan lawan. Sesama umat Islam adalah kawan, meski ada tangan-tangan jahat yang menggunakan komponen umat Islam untuk memukul saudara seiman. Sementara itu, lawan nyata umat Islam yakni penjajah yang siang malam merongrong bumi Indonesia dan mengotak-kotakan umat dalam kebodohan dan kejahiliyahan.
Jika ada saudara muslim yang masih saja merendahkan dan menggembosi perjuangan umat Islam, segeralah sadar sebelum ditinggal umat dan jamaahnya. Ingatlah perjuangan umat itu mengokohkan bukan meruntuhkan.
Keempat, ghirah bela tauhid terwujud tak hanya dengan pengibaran dan pembelaan pada bendara. Harus ada langkah maju yakni pentauhidan aturan kehidupan. Indonesia ke depan harus kembali kepada aturan Allah sebagai konsekuensi ketauhidan. Bukankah ketundukan hanya pada hukum Allah? Selain itu, tauhid berwujud pada keyakinan di hati, diucapkan di lisan, dan tampak pada perbuatan. Hakikat inilah yang harus dipahami umat Islam.
Kelima, himmah ukhuwah. Tanpa ukhuwah mustahil umat bersatu dalam satu suara. Tanpa ukhuwah umat Islam di Indonesia berpecah belah. Tanpa ukhuwah perjuangan umat akan teraborsi dan terkooptasi materi duniawi. Himmah ukhuwah inilah yang terwujud dalam satu gerakan dan irama sama untuk menuntut ada pemimpin yang bertaqwa dan amanah. Lebih-lebih pemimpin yang mau menerapkan syariah kaffah.
Semangat reuni 212 hasilnya harus kembali bergelora. Mengguncang Indonesia dan memberi sinyal kebangkitan umat Islam Indonesia untuk kembali pada Allah dan Rasul-Nya. Insya Allah.[]
Penulis adalah analis politik dan media
Comment