Rismayanti Nurjannah: Kala Guru Terjebak Kastanisasi

Berita435 Views
Rismayanti Nurjannah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – 25 November berlalu setiap tahun. Beragam seremonial dan penghargaan tertakdis pada tanggal tersebut. Mereka menyebutnya sebagai “Hari Guru”. Sayangnya, tak semua guru merasakan momen tersebut. “Penghargaan” tak kunjung menyambangi. Nasib baik tak jua bertandang. Kesejahteraan hanya jadi dambaan. Begitulah sekelumit kisah guru honorer.
Tampuk kepemimpinan di negeri ini terus bergulir. Beragam kebijakan senantiasa diperbaharui. Namun, nasib guru honorer tetap saja menyedihkan. Beragam kisah kerap terdengar memilukan. Entah kapan nasib baik segera menyambangi.
Gaji yang didapat tak sebanding dengan peluh yang bercucuran. Wajar saja, desakan terus menggeliat. Apalagi saat biaya hidup kian membengkak. Pemerintah pun seolah lepas tangan soal ini. Sebagaimana yang terjadi di Cianjur, ribuan guru honorer mempertanyakan kejelasan janji Pemkab Cianjur yang akan memberikan insentif pada guru honorer. 7 miliar katanya. Sayangnya, janji tersebut tak kunjung ada kejelasan. Bak bola pingpong, lempar sana lempar sini. “Janji tersebut, hingga saat ini tidak ada kejelasannya. Kami sudah bertanya ke dinas dan DPKAD, namun kami selalu dipingpong. DPKAD berdalih sudah mengajukan, namun pengajuan dari dinas belum ada. Informasi terakhir pengajuan tersebut ditolak,” ungkap Ketua Forum Honorer Cianjur, Magfur (okezone.com, 01/11/17)
Pemerintah rupanya tak mampu membayar harga dari ilmu dan dedikasi. Mengabdi untuk anak negeri tak berbuah penghargaan. Sebagian saja, mereka yang peluhnya berbayar rupiah yang sepadan. Sebagian lagi terjebak dalam khayali. Berharap segera mendapat status pegawai negeri, belasan tahun mengabdi malah terkastanisasi. 
Betapa penghargaan terhadap pendidik anak negeri amat rendah sekali. Apakah memang begini fenomena hidup di sistem demokrasi? Wajar saja, anak negeri kini kian tak tentu arah. Karena negara saja yang seharusnya mengurus urusan rakyatnya, termasuk para guru tak jelas pengurusannya. Guru honorer akhirnya harus bersusah payah meraup rupiah dari kerja sampingan. Apa kabar dengan anak didik mereka? Ah jangankan anak didik, anak sendiri pun belum tentu tercukupi.
Di masa kejayaan Islam, penghormatan terhadap guru amat luar biasa. Baik dari sisi masyarakat maupun negara. Sebagaimana dulu Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi, menghormati dan memuliakan gurunya, Syekh Najmuddin Al-Khabusyani dengan menggaji 50 dinar (setara Rp 110,000,000) per bulan. Raghib As-Sirjani dalam kitab “Mādza Qaddama al-Muslimūna li al-‘Ālām” (2009: 1/244) menyebutkan beberapa contoh penghormatan terhadap guru pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid.
Posisi guru di mata Khalifah Harun Ar-Rasyid sangat agung, sehingga diperlakukan dengan penuh rasa hormat dan martabat tinggi. Banyak sekali dana yang digelontorkan pemerintah pada masa itu. Bahkan dalam beberapa pemerintahan, bentuk penghormatan pemerintah terhadap guru diwujudukan dalam mencukupi kebutuhan anak-anak guru. Kebutuhan pokok dan biaya sekolah ditanggung pemerintah sehingga membuat hidup mereka menjadi nyaman. 
Tak ayal saat para guru mengajar pun penuh dengan dedikasi yang tinggi. Tak heran, output yang dihasilkan begitu cemerlang. Misal, anak usia 8 tahun sudah hafal Alquran atau anak usia 11 tahun sudah menguasai fiqih dan ilmu lain. Amat berbeda bukan dengan kondisi sekarang? Baik dari sisi penghargaan terhadap guru maupun output pendidikan.

Penulis adalah Ibu Rumah Tangga dan anggota Revowriter Tangsel

Comment