Mustina Ningsi, S. Si |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Dunia perpolitikan nasional saat ini semakin memanas, terlebih mendekati pergantian tahun menuju tahun 2019. Tahun ini disebut sebagai tahun politik karena rakyat akan kembali digelarkan “pesta” demokrasi untuk memilih presiden dan anggota legislatif yang konon katanya pemilihan ini diadakan agar rakyat bisa memilih sesuai dengan aspirasinya.
Pasangan calon presiden yang diloloskan oleh komisi pemilihan umum (KPU) hanyalah dua kandidat. Kejadian ini mengulang peristiwa yang terjadi pada pemilihan umum (pemilu) 2014 silam. Tidak mengherankan jika ada keinginan untuk pergantian rezim. Tagar 2019 ganti presiden, makin hari kian meyeruak. Meski tidak lepas dari pro dan kontra, gaungnya makin membahana. Hampir disetiap aksi, massa selalu berteriak 2019 ganti presiden . Katakanlah saat aksi super damai Reuni 212 awal Desember lalu, tidak luput dari pekikan tersebut. Bahkan kejadian terbaru, ribuan orang yang berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Cina di Jakarta berteriak “2019 ganti presiden” saat menggelar aksi damai membela etnis monoritas Uighur pada Jumat (21/12), (cnn.indonesia, 23/12/2818).
Keinginan untuk melakukan perubahan ini sebenarnya wajar saja bahkan sudah seharusnya. Karena tidak akan ada asap jika tidak ada api. Bagaimana tidak, rezim saat ini dianggap telah gagal total memenuhi segala janji-janji kampanyenya.
Sekedar contoh, saat kampanye dulu Sekretaris Jenderal (sekjen) PDI Perjuangan, Tjahyo Kumolo menyataka Jokowi-JK secara tegas akan menolak penambahan utang luar negeri baru apabila terpilih menjadi presiden dan wakil presiden di periode 2014 -2019. Hal ini tertuang dalam visi misi Jokowi – JK, (liputan.com, 23/12/208). Fakta yang terjadi setelah hampir lima tahun menjabat, utang Indonesia bukannya berkurang malah semakin menggunung. Utang tersebut sampai menembus angka USD 360,7 miliar atau setara dengan Rp. 5.480 triliun (kurs Rp. 15.200 per USD), (merdeka.com, 23/12/2018).
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, menilai Jokowi gagal menunaikan janjinya. Di bidang pertanian, Jokowi ingin membangun kedaulatan pangan. Namun kondisi pertanian RI saat ini terpuruk. Vietnam yang dahulu mengimpor beras dari negeri kita, kini sebaliknya. Bagaimana bisa berkedaulatan pangan jika ketika petani panen, pemerintah justru impor beras. Di bidang kesehatan berjanji akan membangun lima puluh ribu puskesmas. Namun realitanya belum terwujud. Di bidang energi, berjanji menjadikan Pertamina lebih hebat dari Petronas Malaysia yang terjadi malah makin hari Pertamina semakin tenggelam dalam utang-utangnya. Dan masih banyak janji-janji lain yang tidak ditepati, (detik.id, 23/12/2018).
Janji perubahan untuk kehidupan yang lebih baik ternyata jauh panggang dari api. Bahkan dipenghujung kekuasaan pun, tidak ada peningkatan kesejahteraan rakyat. Yang terjadi justru sebaliknya, rakyat kecil kian hari kian terpinggirkan seolah hidup di negeri autopilot, negeri tanpa pemimpin. Mengapa kejadian serupa selalu berulang, padahal rezim telah berganti berkali-kali?
Pemimpin Ingkar Janji Produk Kapitalisme
Perpolitikan Indonesia tidak lepas dari peta perpolitikan dunia. Dan peta perpolitikan dunia tidak akan lepas dari peranan negara adikuasa. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa negara nomor satu saat ini adalah Amerika Serikat (AS), sehingga Indonesia sebagai negara pengikut (negara yang terikat dengan negara lain dalam politik luar negeri dan sebagian masalah dalam negerinya) akan terikat dengan dengan beberapa kebijakan yang diemban negara ini. AS dengan ideologi kapitalismenya, berhasil menguasai sebagian besar negara yang ada di dunia dengan metode bakunya, imperialisme (penjajahan).
Khusus Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan 1945 praktis berada di bawah penjajahan non fisik (perang pemikiran). Berbagai paham yang bersumber dari ideologi ini seperti demokrasi dengan empat kebebasan yang diusungnya: kebebasan beragama, kebebasan bertingkah laku, kebebasan memiliki dan kebebasan perpendapat, sukses menjadi opini umum.
Pergaulan bebas merajalela, agama (baca : Islam) bisa dilecehkan dengan dalih kebebasan berpendapat, gonta-ganti agama menjadi hal lumrah sampai pada kebolehan memiliki pulau jika modal tersedia. Dengan adanya kebebasan ekonomi akhirnya menimbulkan akumulasi kekayaan yang melimpah ruah di tangan segelintir orang yang disebut para kapitalis. Dengan kelebihan kekayaan itu, mereka berubah menjadi satu kekuatan hegemonik yang menguasai dan mengendalikan berbagai masyarakat dan negara.
Pada akhirnya dalam sistem yang menerapkan demokrasi ini yang katanya : dari, oleh dan untuk rakyat, – rakyat sebagai sumber kedaulatan – hanyalah sebatas pemikiran tanpa realisasi. Karena yang sebenarnya berlaku adalah kedaulatan pemilik modal. Negara ada bukan untuk mensejahterakan rakyat, tetapi hanya untuk menjalankan fungsi regulator yang memastikan terpenuhinya keinginan para kapitalis melalui mekanisme undang-undang.
Sehingga penguasa yang ada, sebaik apapun akhlaknya, sesederhana apapun kehidupannya, itu hanya berlaku bagi kehidupan pribadinya. Di ranah kepemimpinannya, dia tidak akan pernah lepas dari belenggu rantai demokrasi yang menjadikan pemilik modal sebagai pembuat undang-undang sesungguhnya. Menjadi pemimpin yang tidak amanah atau pemimpin yang ingkar janji pun, pasti terjadi pada mereka yang menyandarkan diri pada ilusi demokrasi.
Mahfud MD beberapa tahun silam pernah mengatakan bahwa pemilu tidak menghasilkan pemimpin yang baik. Setelah reformasi, demokrasi dalam pelaksanaan pemilu terus dibangun, meski ditemukan banyak kecurangan. Ironisnya, setiap tahun tingkat kecurangan tersebut justru meningkat. Bila pada 1999 kecurangan dilakukan per orangan atau kelompok tertentu, saat ini dilakukan secara sistemik. Kecurangan yang didominasi motif politik uang menjadi marak. Karena jabatan politik lebih banyak disetir oleh cukong yang cenderung berorientasi keuntungan finansial.
Sehingga, alur pelaksanaan pemilu yang memungkinkan sengketa hasil pemilu bisa diusut kepada lembaga peradilan juga digunakan untuk memuluskan keinginan pihak tertentu. Saat biaya politik semakin mahal, elite juga semakin jelek karena sistem yang dibangun mendorong ke arah korupsi. Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis juga, (republika.co.id, 23/12/2018).
Islam Melahirkan Pemimpin Amanah
Ketika Islam berbicara tentang kepemimpinan, maka Islam tidak hanya berbicara mengenai individu yang memimpin tetapi juga berbicara mengenai sistem yang akan diterapkan oleh pemimpin. Ibarat kapal laut, sampainya penumpang kapal ke tujuan tidak hanya ditentukan oleh nakhoda tetapi juga ditentukan oleh kondisi kapal itu sendiri.
Mengenai individu pemimpin, Islam mensyaratkan tujuh hal yang wajib ada pada pemimpin, sebagaiman yang dipaparkan oleh syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Nizham al hukm fi al Islam yaitu muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil (tidak fasik), merdeka dan mampu melaksanakan amanah kepemimpinan berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah.
Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab al afkar as-siyasiyah juga menyebutkan sifat-sifat yang yang diutamakan bagi seorang pemimpin adalah kekuatan, ketakwaan, kebaikannya terhadap warga negara, serta tidak bersikap menakutkan.
Abu Musa al-asy’ari r.a., saat diutus menjadi wali/gubernur di Yaman, menyatakan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:
“Gembirakanlah (rakyat) dan janganlah engkau hardik. Permudahlah (urusan) mereka dan jangan engkau persulit. ” (HR. Bukhari).
Sedangkan mengenai sistem kepemimpinan, maka sistem yang dipakai adalah sistem Islam atau khilafah. Dimana sistem ini didasarkan pada dua prinsip yaitu kedaulatan di tangan syariah dan kekuasaan di tangan rakyat.
Kedaulatan di tangan syariah adalah kedaulatan tertinggi untuk membuat hukum hanya ada di tangan Allah SWT. Manusia, termasuk khalifah tidak ada kewenangan dalam membuat hukum. Khalifah hanya berkewajiban mengadopsi hukum yang digali dari hukum syariah untuk diterapkan kepada seluruh rakyat.
Sedangkan makna kekuasaan di tangan rakyat adalah kewenangan mengangkat penguasa ada di tangan rakyat yang dilaksanakan melalui metode baiat. Penguasa diangkat untuk mengatur urusan mereka berdasarkan hukum yang telah diadopsi tadi. Jadi dalam pandangan Islam, penguasa ada untuk melayani kepentingan rakyat. Bukan kepentingan para kapitalis. Segala kebutuhan dasar rakyatnya – muslim ataupun ahlul dzimmah, kaya atau miskin – harus dipenuhi dengan semestinya. Inilah peranan vital dari penguasa.
Untuk mewujudnya tugas tersebut berjalan dengan baik, maka negara akan memberikan tunjangan untuk menghidupi diri sekaligus keluarganya, tentu saja dengan tunjangan yang bisa memberikan penghidupan yang layak. Jika terjadi penyalahgunaan kekuasaan, menelantarkan rakyat ataupun tindak pidana, maka negara akan memberikan sanksi tegas tanpa melihat kedudukannya sebagai penguasa.
Demikianlah bagaimana hukum Islam akan senantiasa menjaga siapapun yang berusaha bertindak melanggar syariah. Sehingga kepemimpinan yang amanah akan lahir dari sistem ini. Wallahu ‘alam bisshowab.[]
Comment