Risnawati |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Tim Detasemen Khusus 88/Antiteror Polri menangkap sebanyak 21 orang terduga teroris jelang hari raya Natal 2018 dan Tahun Baru 2019. Meskipun, kepolisian belum menemukan indikasi serangan teror di dua perayaan itu. [CNN Indonesia]
Penangkapan ini dilakukan di sejumlah wilayah Indonesia dalam sebulan terakhir, sejak November hingga Desember 2018.
“Satu bulan ini, bahkan 21 orang sudah kami tangkap dan proses hukum,” kata Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Tito Karnavian di Markas Besar (Mabes) Polri, Jakarta Selatan, Rabu (19/12).
Dia membeberkan, enam dari terduga teroris itu ditangkap di Sumatera Utara, tiga di Jawa Barat, empat di Sulawesi Tengah, dua di Yogyakarta, tiga di Sulawesi Selatan, satu di Jambi, dua kembali dari Suriah.
Beberapa dari terduga teroris itu, lanjut mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tersebut, merupakan anggota kelompok Jamaah Anshor Daulah (JAD).
Jakarta, CNN Indonesia — Polisi mulai mengawasi ‘sel tidur’ jaringan terorisme yang dianggap berpotensi menimbulkan serangan jelang penutupan tahun 2018. Kerja sama dengan sejumlah aparat penegak hukum digalang untuk mencegah potensi penyerangan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo menjelaskan Polri akan mengerahkan kemampuan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror dan kepolisian daerah untuk mengawasi sel ini.
“Ada monitor kepada sleeping cell yang memiliki potensi dan akan mengganggu kegiatan masyarakat jelang akhir tahun,” kata Dedi Prasetyo di Jakarta, Rabu (28/11).
Merdeka.com – Menjelang perayaan Natal dan tahun baru, Polda Riau menyiagakan 940 personel untuk pengamanan. Langkah ini dilakukan melalui Operasi Lilin Muara Takus 2018 yang berlangsung selama 10 hari, sejak 23 Desember hingga 1 Januari mendatang.
“Dalam operasi Lilin Muara Takus 2018 ini, kami juga turut mendirikan 40 pos pengamanan dan 16 pos pelayanan,” Kapolda Riau Irjen Widodo Eko Prihastopo, Sabtu (22/12).
Proyek Pengkerdilan Islam
Sikap kritis masyarakat terhadap persoalan pokok terkait paradigma yang di jadikan basis untuk menyikapi isu terorisme oleh pihak pemerintah dalam hal ini institusi terkait seperti Polri, BNPT dll. Publik melihat adanya ambiguitas pada aspek penindakan yang dilakukan aparat penegak hukum jika mengacu kepada UU Terorisme yang baru.
Terorisme sudah dipandang oleh publik sebagai terminologi yang mengalami penyempitan makna bahkan tendensius di arahkan kepada kelompok agama tertentu yakni Islam dan umatnya. Dan terorisme menjadi “topeng” sebuah proyek kepentingan kelompok opuntunir.
Berkembang retorika di tengah-tengah Publik; bersandarkan UU terorisme yang ada maka bagaimana rezim saat ini menakar teror yang dilakukan oleh separatis OPM di Papua. Siapa yang layak di sebut teroris?? Mereka yang punya jaringan internasional, punya sayap politik, sayap militer, dan terbukti melakukan teror pembunuhan terhadap rakyat sipil dan militer, mereka punya ideologi dan motif politik yaitu Papua merdeka.
Ataukah seperti sekelompok orang atau individu dengan bom pancinya, dengan latar belakang bisnis kebab atau herbalnya, atau karena pernah terlibat jihad di Ambon, Poso atau di Afganistan dan mereka di identikan sebagai sekelompok muslim yang hendak mendirikan negara Islam atau Khilafah Islam?
Jika kemudian tindakan terorisme dimaknai dengan tindakan kekerasan untuk mencapai tujuan politik tertentu, maka mengapa negara Amerika yang telah memporak porandakan Irak dengan tujuan politik menguasai minyak tidak sebut tindakan terorisme? Mengapa genosida yang dialami oleh muslim rohingya, uighur tidak dikatakan sebagai tindakan terorisme?
Mengapa sebuah “bom panci” yang dilakukan oleh muslim dikatakan sebagai tindakan terorisme, sementara Bom Mall Alam Sutera yang dilakukan oleh non muslim tidak dikatakan sebagai tindakan terorisme? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan serupa yang intinya adalah mengapa jika pelakunya adalah muslim maka begitu cepat dikatakan tindakan terorisme, tapi jika pelakunya adalah non muslim maka tidak dikatakan tindakan terorisme?!
Tidak jelasnya apa definisi dan cakupan tindakan terorisme, menjadikan negeri ini mudah saja distigma menjadi sarang terorisme. Sementara kebrutalan yang dialami oleh muslim Uighur tidak menjadikan negara Cina dikatakan sarangnya teroris. Sungguh sebuah ketimpangan intelektual yang sangat nyata! Dengan membawa predikat sarang teroris, negeri ini dipaksa untuk percaya bahwa hilangnya saling menghargai di tengah keberagaman budaya akan bisa memicu tindakan terorisme.
Akibatnya, dengan bingkai berpikir ini, superioritas kaum muslim dengan kemuliaan agamanya harus dibatasi agar memiliki kedudukan yang sama dengan agama lainnya. Segala bentuk upaya untuk menjadikan Islam sebagai aturan kehidupan bagi semua kaum tak terkecuali non muslim adalah bentuk intoleran yang bisa merusak keberagaman budaya dan sifat saling menghargai. Negeri ini pun dipaksa untuk percaya bahwa ada sebuah jaringan terorisme yang terus menerus melakukan perekrutan untuk melakukan tindakan teror.
Padahal, justru ketika Islam dijadikan cara pandang hidup itulah yang menjadikan pemeluk agama lain yang minoritas bisa hidup berdampingan dengan muslim yang mayoritas. Kaum muslim menerima non muslim untuk bisa hidup berdampingan dan bisa saling bermuamalah bukanlah karena dorongan bhineka tunggal ika, bukan pula karena dorongan pancasila, tapi semata-mata agama Islam memerintahkan demikian.
Amat berbeda ketika muslim menjadi minoritas di suatu wilayah, jangankan untuk bisa hidup berdampingan bahkan kaum muslim susah menjalankan ibadah perayaannya seperti yang dialami kaum muslim di Tolikara Papua. Jika memang bhineka tunggal ika dan pancasila sebagai pemersatu bangsa ini, maka semestinya tidak akan ada pembakaran masjid di Tolikara Papua.
Demikianlah ketika Islam dijadikan aturan kehidupan praktis, mampu menyelesaikan masalah kemiskinan dan pengangguran secara tuntas dari akarnya. Dengan kesejahteraan yang merata, masyarakat pun tidak mudah terprovokasi untuk melakukan tindakan terorisme.
Ancaman sesungguhnya pangkal dari segala kerusakan adalah ketika diabaikannya Islam sebagai aturan kehidupan. Maka pangkal perbaikan atas segala kondisi yang terjadi termasuk dalam penanggulangan terorisme adalah kembali ke aturan Islam. Islam sangat jelas melarang segala tindakan teror, bahkan untuk sekedar menodong pisau dengan maksud bercanda dilarang. Rasul saw bersabda, “Janganlah salah seorang kalian menunjuk kepada saudaranya dengan senjata, karena dia tidak tahu, bisa jadi setan mencabut dari tangannya, lalu dia terjerumus ke dalam neraka.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah ra) Dengan prinsip ini, maka pengaitan terorisme dengan Islam adalah suatu kesalahan yang sangat fatal.
Justru dengan Islam, tindakan terorisme mudah untuk dirumuskan dan siapa pelakunya. Yakni, segala tindakan kekerasan yang tidak dihalalkan oleh Allah adalah sebuah tindakan teror. Dengan begitu, pembakaran masjid oleh nasrani bisa dinilai teror sebagaimana pengeboman di sejumlah gereja oleh muslim. Genosida yang dialami oleh muslim Rohingya, Uighur juga bisa dinilai teror sebagaimana bila hal yang serupa dialami oleh non muslim. Oleh karena itu, penerapan Islam sebagai aturan kehidupan bukanlah ancaman. Justru pengkerdilan Islam hanya sebatas agama ritual itulah ancaman yang sesungguhnya! Jangan tuding umat Islam sebagai terorisme!
Begitu pula definisi tentang Jihad adalah bagian yang tidak terpisahkan dari syariat Islam karenanya makna dan hakikanya pun sangat jelas yaitu syariat Allah untuk melindungi dan Islam dan kaum Muslimin sebagaimana firman Allah: “Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (Qs Al-Baqarah 216). Wallahu a’lam.[]
Risnawati, penulis buku Jurus Jitu Marketing Dakwah
Comment