Dewi Tisnawati, S.Sos |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Upaya menaikkan umur perkawinan perempuan saat ini semakin digencarkan, sebagaimana dilansir Jakarta, NU Online bahwa Anggota Komnas Perempuan, Masruchah merekomendasikan agar batas minimal usia pernikahan perempuan ditetapkan berdasarkan kematangan kesehatan reproduksi.
“Usia ideal perempuan menikah adalah setelah matang kesehatan reproduksinya, yakni 20 tahun. Tetapi untuk mempertimbangkan kesetaraan usia perkawinan dengan laki-laki adalah 19 tahun,” ujar Masruchah pada NU Online, Sabtu (6/12).
Putusan MK yang disiarkan Kamis (13/12) secara tertulis memerintahkan DPR untuk merevisi UU Perkawinan tentang batas usia perkawinan anak. Indonesia telah masuk dalam kondisi darurat karena perkawinan anak semakin meningkat. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, sebaran angka perkawinan anak di atas 25 % ada di 23 provinsi.
Berbagai alasan yang dilontarkan dengan menjelaskan dampak buruk dari pernikahan dini bagi perempuan yang seolah-olah semuanya benar. Sehingga penaikkan umur pernikahan perempuan dapat dibenarkan dan harus disegerakan mengingat banyaknya dampak buruk darinya.
Palangkaraya, Kalimantan Tengah (ANTARA News), bahwa Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Kalimantan Tengah, Rian Tangkudung menilai pernikahan anak usia dini berkorelasi terhadap perceraian karena ketidakmatangan memasuki dan membina suatu keluarga.
Meskipun belum dilakukan pendataan soal ini, menurutnya pernikahan anak usia dini berhubungan erat dengan perceraian keluarga di antaranya karena secara mental, kondisi psikologis belum siap, fisik belum matang dan ekonomi belum kokoh. Pemberian pemahaman kepada para orang tua juga perlu dilakukan agar mereka memahami dampak pernikahan anak usia dini pada masa depan anak-anak mereka.
Ia juga mengatakan, pernikahan dini dapat menyebabkan anak yang dilahirkan cacat karena alat reproduksi calon ibu belum sempurna, hal itu sekaligus meningkatkan risiko kematian ibu pada saat melahirkan. Selain itu, meskipun ibu dan bayi selamat dalam proses persalinan, namun kondisi psikologis ibu yang masih anak-anak belum siap untuk mendidik anak mereka sendiri menjadi orang dewasa yang berkualitas.
Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait batas usia perkawinan anak. Menteri Yohana berencana untuk menaikkan usia perempuan dan laki-laki yang siap menikah, sehingga anak-anak berusia dini seperti 16 tahun bisa dicegah untuk menikah.
Umat perlu dipahamkan adanya agenda gender dan liberalisme di balik upaya ini. Fika Komara memberikan komentar terkait “upaya penaikkan usia perkawinan anak” bahwa pada dasarnya pernikahan anak di dunia Islam selalu menjadi sorotan media liberal juga LSM gender. Pernikahan usia anak disinggung dalam forum global, antara lain agenda pembangunan berkelanjutan pasca MDGs atau Sustainable Development Goals (SDGs).
Salah satu fokus SDGs adalah terwujudnya kesetaraan gender yang menekankan pada terpenuhinya hak-hak perempuan dan mengakhiri segala bentuk diskriminasi, kekerasan, dan semua praktik berbahaya seperti pernikahan dini yang kerap terjadi pada perempuan. Masih maraknya pernikahan usia anak mencerminkan belum terwujudnya kesetaraan gender.
Di Indonesia Menteri Yohana Yambise meluncurkan kampanye stop pernikahan dini telah merujuk pada data dari CFR (Council of foreign relations), sebuah lembaga think tank di AS, dimana disebutkan CFR, Indonesia merupakan peringkat ketujuh di dunia dengan angka absolut tertinggi perkawinan anak dan menjadi tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja.
Dalam pertemuan Tinjauan Akhir Tahun (Annual Review) Tahun 2016 yang diselenggrakan oleh Bappenas bekerja sama dengan UNICEF 2016-2020. Kontribusinya yakni kajian perkawinan usia anak dalam mendukung pencapaian target pembangunan nasional dalam sasaran RPJMN 2015-2019 di bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan dan keadilan anak serta pencapaian tujuan Pembangunan Millenium (MDGs), saat ini dilanjutkan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs.
Kerjasama Pemerintah Indonesia dan UNICEF untuk menunjukkan pentingnya masalah perkawinan usia anak di Indonesia dan memberikan rekomendasi kunci untuk reformasi kebijakan dan investasi program oleh para pengambil keputusan bahwa kemitraan merupakan salah satu strategi kunci dari CPAP 2016-2020.
Kesalahan terbesar dunia Islam adalah masih mempercayai nilai yang dipromosikan Barat melalui agensi-agensi internasionalnya. Melalui propaganda ending child marriage, para pemimpin dunia Islam tidak menyadari bahwa musuh-musuh Islam sedang melemahkan generasi muslim melalui generasi yang lambat memiliki kematangan berfikir dan kesiapan memikul tanggungjawab yang lebih besar.
Berbagai Undang-undang yang digulirkan di Indonesia justru memperlambat kedewasaan anak. Istilah “anak” pun dikaburkan. Undang-undang perkawinan yang berlaku saat ini pun telah memundurkan target kedewasaan berfikir seorang anak, dari usia akil baligh menjadi 16 tahun. Itupun sekarang semakin diperlambat lagi dengan usulan 20 tahun.
Adapun adanya standar bias seperti ini terjadi karena ada agenda setting yang menargetkan negeri-negeri muslim yang disebabkan setidaknya dua motif yakni:
Pertama, motif ekonomi karena pernikahan dini menyebabkan kaum muslimah tidak produktif bekerja, yang diungkapkan oleh pemerintah bahwa pernikahan dini bisa mengganggu rencana pemerintah dalam melakukan pembangunan yang berkelanjutan (Sustainanble development goals) dan menghambat pertumbuhan ekonomi. (Kompas, Juli 2016).
Kedua, motif Ideologis yakni mendiskreditkan syariat Islam dengan mengopinikan bahwa ajaran Islam mengekang kebebasan anak perempuan melalui pernikahan dini.
Padahal problem yang muncul dari pernikahan dini di dunia Islam adalah karena diterapkannya sekularisme, rendahnya literasi umat terhadap ajaran Islam, sistem sekuler yang gagal mendewasakan pemikiran dan sistem sosial yang massif menstimulasi rangsangan seksual. Akibatnya lahir generasi yang terlalu cepat baligh (biologis) tapi lambat dalam akil (berakal).
Justru dengan membatasi pernikahan dini akan membuka jalur pergaulan bebas di kalangan remaja. Remaja yang cepat baligh secara biologis tapi masih lambat dalam berakal cenderung dan rawan dalam melakukan pergaulan bebas yang berakibat pada banyaknya remaja yang hamil di luar nikah. Yang ujung-ujungnya akan dikawinkan secara paksa atau mengambil jalan lain dengan cara aborsi dan lain-lain. Bukankah hal lebih besar bahayanya?
Pernikahan dalam Islam merupakan salah satu sunnah dan syariat Nabi Muhammad Saw. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa nikah hukumnya sunah. Nikah sangat dianjurkan bagi mereka yang menginginkan, siap lahir batin, dan mampu melaksanakan hak dan kewajiban dalam rumah tangga. Karena, pelaksanaan nikah tidak hanya sebatas pada hasrat seksual, melainkan harus memenuhi kewajiban dan tanggung jawab sebagai suami-istri.
Berkaitan dengan batas usia pernikahan, Islam tidak memberikan batasan umur ideal dalam pernikahan. Seseorang wali dapat menikahkan anaknya sebelum atau setelah mencapai usia baligh. Kriteria baligh menurut ulama’ As-Syafi’I, baligh bagi laki-laki ketika sudah mencapai umur 15 tahun dan/atau sudah mimpi basah sementara bagi perempuan ketika sudah berumur 9 tahun atau sudah mengalami menstruasi.
Penolakan pernikahan dini digunakan untuk menanamkan keraguan di hati umat Islam akan sunnah Rasulullah Saw. Kebolehan melakukan perkawinan usia dini yang didasarkan pada hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Mas’ud ra., yang artinya:
“Wahai para pemuda barang siapa diantara kalian telah mampu untuk menikah, hendaknya dia menikah, karena bisa menundukkan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa sebab puasa itu dapat meredam syahwatnya.” (HR. Al-Bukhari-Muslim).
Mereka yang lantang bersuara menolak pernikahan anak adalah mereka yang juga lantang mempersoalkan hukum-hukum Islam lainnya, seperti bolehnya poligami, hak waris perempuan setengah dari laki-laki, dan lain-lain yang dalam perspektif mereka, hukum ini tidak adil bagi perempuan. Hal ini, semakin memperjelas bahwa sesungguhnya sistem kapitalisme sekulerisme mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah.
Dengan demikian, adanya upaya menaikkan usia perkawinan anak merupakan produk dari Barat yang diadopsi langsung oleh pemerintah dunia Islam seperti di Indonesia padahal jelas-jelas menantang ajaran Islam dan hal ini sama dengan menantang Allah SWT, maka hal ini hanya bisa diatasi dengan menerapkan syariat Allah SWT dalam bentuk negara Islam. Wallahu a’lam bishshawab.[]
Comment