Kanti Rahmillah, M.Si |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Maret 2019, Kementerian Perdagangan memastikan. Indonesia akan kedatangan 60 ribu ton jagung impor. Setelah sebelumnya, tahun 2018, pemerintah telah mengimpor 70 ribu ton jagung impor.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan mengatakan, pertimbangan untuk menambah impor jagung. Karena dilihat dari kebutuhan konsumsi para pengusaha ternak mandiri.
Namun, Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim Arbi menyatakan bahwa produksi jagung lokal sedang surplus. Dan pastinya, masih dapat mencukupi kebutuhan di daerah-daerah.
Begitupun, data dari kementrian Pertanian pada 2018. Menunjukan adanya tren kenaikan. Bahkan, produksi dan konsumsi jagung hingga 2021, dipastikan surplus.
Mengapa kebijakan impor dilakukan saat surplus? bukankah hal demikian akan menjadikan petani lokal merugi? Ditambah, bulan maret adalah masa panen. Produksi jagung akan melimpah.
Kebijakan impor saat panen raya. Bukan cerita baru. Petani merugi karena kalah bersaing pun, bukan cerita baru. Seolah berulang, seolah tak berdaya. Kran impor tak mampu dibendung oleh negara.
Salah satu alasan pemerintah mengimpor saat panen adalah masalah distribusi. Sulitnya distribusi dari sentra produksi, menuju daerah-daerah peternakan yang membutuhkan pakan. Membuat kebijakan impor menjadi primadona.
Namun, mengingat permasalahan distribusi yang akut dan terus berulang. Seharusnya, pemerintah menyelesaikan permasalahan distribusi. Misal, dengan perbaikan infrastruktur di daerah. Atau kebijakan lain, yang menjadikan distribusi lancar. Namun, sungguh disayangkan. Pembangunan Infrastruktur, seolah fokus pada perkotaan. Nihil di pedesaan. Sehingga wajar problem distribusi terus ada.
Lebih dari itu, pemerintah tak mempunyai visi kedaulatan pangan. Padahal, Ketergantungan pada impor, bisa menyebabkan tidak stabilnya stok pangan nasional. Lebih jauh, akan menyebabkan ketidakstabilan ketahanan nasional.
Kebijakan-kebijakan yang lahir pun, seolah tidak memihak petani. Padahal, petani adalah warga negara yang harus juga dilindungi. Kebijakan impor saat panen raya, sungguh menunjukan pada kita, bahwa kebijakan pemerintah saat ini berpihak pada pengusaha.
Padahal, penguasa adalah pelindung umat. Peranannya sangat besar dalam melayani kebutuhan umat. Bukan malah bermental bisnis. Pemburu rente. Mencari materi di balik jabatannya.
Kerjasama perdagangan dengan tarif nol persen pun, turut ambil bagian dalam kebijakan yang merugikan umat. Seharusnya, Indonesia bisa lepas dari kerjasama-kerjasama yang telah jelas merugikan umat.
Tentu, segala kebijakan yang hadir saat ini, tak bisa dilepaskan dari corak tata kelola negara ini. Jika sistem ekonomi neoliberal masih menjadi pakem dalam membuat kebijakan. Sungguh mustahil, kebijakan impor distop. Sebaliknya, jika sistem ekonomi berbasis rakyat. Sistem ekonomi berbasis syariat Islam. Insyaallah, kebijakan akan pro rakyat. Karena, penguasa dalam kacamata Islam adalah pelayan bagi rakyatnya. Bukan majikan atau mitra bisnis.[]
Penulis adalah lulsan S1 Unpad dan S2 IPB kini mengajar di Sekolah Tahfidz Purwakarta dan aktif sebagai anggota komunitas menulis revowriter
Comment