Maya Ristanti |
RADARINDONESIANEWS.COM, “Saya lebih baik kehilangan 100 jabatan daripada kehilangan nilai integritas dan kemerdekaan bersuara ” demikian petikan pernyataan yang diungkapkan oleh Said Didu, mantan Stafff khusus Menteri ESDM. Beliau dicopot sebagai komisaris di PT Bukit Asam (PTBA). Said Didu diberhentikan lantaran ia dianggap tidak sejalan dengan pemilik saham Dwi Warna (Menteri BUMN) (tribunnews.com,29/12/2018).
Tentu miris , orang yang mengkritik di alam demokrasi ini tidak mendapatkan ruang untuk mengungkapkan pendapatnya. Pencopotan tersebut adalah buntut panjang pasca retweet simalakama2 tentang pembelian saham, dampak lingkungan, pajak, hingga mengenai pengendali freeport. Said Didu juga mengkritik mengenai Freeport Mc Moran yang akhirnya dapat menghindar dari sanksi lingkungan terkait dengan pengelolaan limbah.
Padahal demokrasi kabarnya wadah aspirasi, kenyataannya justru mengisolasi aspirasi. Tetapi kenyataanya siapa yang tidak sejalan dengan kehendak penguasa akan disingkirkan .
Freeport memang menjadi perdebatan panjang yang selalu hangat diperbincangkan di negeri Indonesia. Namun belakangan karena telah menginjak tahun politik. Isu tersebut lebih berpotensi untuk didramatisir. Seakan pengambilan saham 51 % merupakan prestasi dari presiden di era ini. Padahal hal tersebut hanya bagian dari bualan politik panjang.
Sungguh miris, bahwa di zamrud khatulistiwa kekayaan alam yang berlimpah di Nusantara dikeruk oleh asing. Indonesia belum menjadi negara yang berdaulat atas sumber daya alam negari sendiri. Freeport hanya satu diantaranya, perusahaan asing yang mencengkeram Indonesia. Nama perusahaan asing yang bergerak di sumber daya alam yang lain juga tidak kalah besar seperti Petronas (Malaysia), Shell (Belanda), PT Newmont Nusa Tenggara (NNT),PT. Newmont Minahasa Raya (Amerika). Belum lagi perusahaan asing yang bergerak di bidang makanan, perbankan , dan otomotif.
Indonesia belum berdaulat secara ekonomi. Kondisi ekonomi 2019 tidak berbeda jauh dengan zaman penjajahan Belanda. VOC dikatakan menjajah Indonesia hakikatnya adalah perusahaan dagang yang mencengkeram. Hanya saja, saat itu dengan teknologi yang sederhana, penjajah datang dengan mengangkat senjata.
Dengan kekuatan tersebut memaksa rakyat agar taat, mau diperas tenaga dan kekayaan alamnya. Hari ini penjajahan sudah tidak bersenjata pistol dan senapan lagi, tetapi dengan perjanjian -perjanjian kerjasama yang tampaknya menguntungkan bagi rakyat. Perusahaan Asing seakan membawa kemajuan dan membuka kemajuan dan membuka lapangan pekerjaan yang luas. Padahal mereka hanya menyerap tenaga kerja dan sumber daya alam yang besar.
Indonesia tidak akan menjadi bangsa yang besar dan disegani bila masih bergantung pada asing dan Aseng. Indonesia perlu belajar pada syariat Islam bagaimana mengatur tata kehidupan yang benar, mensejahterakan dan baik untuk manusia. Terbukti peradaban Islam yang menerapkan syariat seutuhnya pernah sukses membawa negara adidaya. Negara superpower di dunia pada masanya , peradaban tersebut bernama khilafah.
Untuk tatanan ekonomi, kepemilikan sumber daya alam di dalam Islam dibagi menjadi 3 yaitu kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Sumberdaya alam yang tidak berbatas seperti Freeport termasuk jenis kepemilikan umum. Masyarakat dapat memanfaatkan sebanyak-banyaknya. Pengaturan pemanfaatannya diatur oleh negara . Tidak diserahkan kepada individu atau swasta seperti yang terjadi di Indonesia. Akibatnya kemiskinan dan kriminalitas masih merajalela. Kesejahteraan masih menjadi mimpi bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Dalam kehidupan ketatanegaraan yang dijalankan oleh manusia , tidak menutup kemungkinan manusia akan melakukan kesalahan. Justru sangat penting bagi negara menerima masukan dan kritik yang membangun untuk kebaikan negara. Lagi-lagi Islam pernah punya potret sempurna yang menunjukkan bahwa negara mewadahi dan mendengar aspirasi warganya.
Syekh Jaluliddin as-Suyuthi dalam kitab tafsirnya, ad-Durrul Mantsûr fî Tafsîril Ma’tsûr, saat menjelaskan Surat an-Nisa’ ayat 20 menyinggung kisah respon seorang perempuan terhadap isi pidato Umar bin Khattab.
Suatu hari Sayyidina Umar naik ke atas mimbar lalu berpidato di depan khalayak. “Wahai orang-orang, jangan kalian banyak-banyak dalam memberikan mas kawin kepada istri. Karena mahar Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya memperbanyak mahar berniliai takwa di sisi Allah dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tak pernah melihat ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham.”
Dalam riwayat lain, Sayyidina Umar mengancam akan memangkas setiap kelebihan dari mahar itu dan memasukkannya ke baitul mal.
Seorang perempuan Quraisy berdiri lalu melontarkan protes ketika Sayyidina Umar turun dari podium. “Hai Amirul Mu’minin, kau melarang orang-orang memberikan mahar kepada istri-istri mereka lebih dari 400 dirham?”
“Ya.”
“Apakah kau tak pernah dengar Allah menurunkan ayat:
وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا
“… kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (sebagai mahar)…” (QS an-Nisa’: 20)
Protes tersebut disambut hangat oleh Sayyidina Umar. Ia membaca istighfar dan berujar, “Tiap orang lebih paham ketimbang Umar.”
Ini adalah kalimat retorik Sayydina Umar dari kepribadiannya yang rendah hati dan karakter kepemimpinannya yang tidak antikritik. Dalam riwayat lain ia mengatakan, “(Kali ini) perempuan benar, lelaki salah.”
Selanjutnya khalifah kedua ini kembali ke atas mimbar dan berkata, “Wahai khalayak, tadi aku larang kalian memberikan mahar kepada istri melebihi 400 dirham. Sekarang silakan siapa pun memberikan harta (sebagai mahar) menurut kehendaknya.”
Ada hal yang lebih menarik dari soal perdebatan tentang jumlah mas kawin. Yakni cara Sayyidina Umar sebagai khalifah kala itu dalam menyikapi kritik dari warganya. Ia menunjukkan kelasnya sebagai pemimpin teladan dengan tanpa sungkan mengakui kekurangannya. Sayyidina Umar juga tanpa ragu merevisi isi pidatonya meski koreksi datang dari seorang perempuan, bagian dari kelompok manusia yang pernah ia rendahkan pada zaman jahiliyah.
Dengan demikian kritik bukanlah hal yang perlu ditakuti oleh rezim ini. Apalagi bila kritik ditujukan untuk membangun bangsa ini agar lebih baik di masa yang akan datang. Kritik membangun untuk menjadi negara adidaya tidak bernasib sendu seperti saat ini.[]
Penulis adalah anggota Akademi Mebulis Kreatif (AMK)
Comment