RADARINFONEDIANEWS.COM, JAKARTA– Era penjajahan sekitar awal abad ke-20 ketika film-film Eropa dibawa ke Indonesia oleh kolonial Belanda, industri film Indonesia dimulai. Tercatat dalam literatur sejarah film pertama yang diproduksi di Indonesia adalah “Java Hoofd” (1921) dan “Loetoeng Kasaroeng” (1926).
Hampir tiga dekade ini (80-an, 90-an 20-an) kondisi perfilman Indonesia terpuruk, meskipun kita sadari masih ada beberapa produksi film yang lumayan bagus, dan menghasilkan suguhan sinematografi yang pantas.
Dalam acara dialog perfilman Indonesia dan industri kreatif nasional, Anies menegaskan bahwa negara perlu merubah cara pandang negara terkait industri film dan kreatif, di mana pengalokasian sumber daya dipandang bukan sebagai biaya tapi sebagai investasi.
Setidaknya narasi itulah yang coba digambarkan seorang Anies Rasyid Baswedan dari Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta, Sabtu, (20/01/24).
Menghadapi arus film impor dengan kualitas luar biasa, persoalan dana, SDM, hingga kebijakan pemerintah menjadi kendala terberat bagi insan-insan creator film negeri sendiri.
Investasi di dunia film lokal seperti momok bagi pemilik cuan, akhirnya kualitas film produksi dalam negeri lebih mirip drama sinetron, dengan budget seadanya, konten percintaan, drama horor murahan menjadi pilihan pertama bagi produser film lokal.
“Dunia perfilman dan industri kreatif ini return-nya tidak instan, return-nya bisa puluhan tahun tapi jika lihat Korsel saat ini. Mereka mengalokasikan sumber daya untuk kebudayaan bukan sebagai cost, tetapi investasi,” terang Anies.
Kondisi inilah yang melebarkan jarak antara film, bioskop dan penonton, tiga komponen yang seharusnya memiliki pemahaman yang sama terhadap sebuah industri film. Berkualitas, menghibur, dan menghasilkan.
“Ke depan kita perlu invest besar untuk ekosistem film nasional, memberikan ruang produksi film yang nyaman dan aman bagi pelaku perfilman, memberikan akses merata dan inklusif terhadap dunia perfilman di Indonesia,” ujar Anies.
Meminjam “Quo vadis”, istilah bahasa Latin secara harafiah berarti: “Ke mana engkau pergi?” Musim kampanye berlalu, para pemangku kebijakan pun berlalu.[]
Comment