Sertifikat Tanah Digital dan Sengketa Tanah

Opini199 Views

 

 

Penulis: Hamsina Halik | Member Revowriter

 

 

RADARINDONESIANEWS COM, JAKARTA– Presiden Joko Widodo (Jokowi) seperti ditulis cnnindonesia.com (4/12/2023), meluncurkan sertifikat tanah berbasis elektronik di Istana Negara, Jakarta, Senin (4/12). Peluncuran simbolis diberikan kepada 10 orang yang terdiri dari perorangan dan perwakilan BUMD/BUMN.

Jokowi mengatakan sertifikat tanah elektronik sangat penting bagi masyarakat. Manfaatnya mulai dari mengurangi risiko kehilangan, pencurian, serta kerusakan akibat dari bencana. Ia juga menekankan sertifikat elektronik ini bisa ‘disekolahkan’ alias sebagai agunan pinjaman.

Jauh sebelumnya Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika di laman tempo.co, (5/2/2021) menilai Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN tentang Sertifikat Tanah Elektronik melanggar aturan yang lebih tinggi.

Menurutnya, Terkait pendaftaran tanah, Dewi menjelaskan UU Pokok Agraria memandatkan pemerintah untuk meregister seluruh tanah di Indonesia. Pemberian surat bukti adalah tahap akhir. Selain itu, Dewi mengatakan bahwa rakyat berhak menyimpan sertifikat tanah asli yang telah diterbitkan.

Hak ini tidak boleh hapus. Hal lainnya, sertifikat tanah elektronik, warkah tanah dan lain-lain dalam bentuk elektronik seharusnya menjadi sistem pelengkap saja, dan tujuannya memudahkan data base tanah di kementerian.

Dengan kata lain, langkah itu belum dibutuhkan alias bukan hal mendesak dan prioritas. Sebab, pendaftaran tanah sistematis di seluruh wilayah Indonesia belum dilakukan. Tanah-tanah yang sudah bersertifikat saja masih banyak yang bermasalah. Misalnya tidak sesuai ukuran, tumpang-tindih, sedang bersengketa atau sedang berperkara di pengadilan, sementara sistem antar instansi seperti pengadilan belum terhubung.

Problem Utama Konflik Lahan

Di tengah kisruh kepemilikan tanah atau lahan, sertifikat elektronik dianggap dapat menekan terjadinya sengketa tanah yang masih banyak terjadi di negeri ini. Padahal, sejatinya ada persoalan mendasar yang harus diselesaikan terkait tanah, yaitu konflik lahan yang massif terjadi dan menjadikan rakyat sebagai korban.

Kebijakan yang ditetapkan oleh negara sebagai upaya untuk mengurangi konflik lahan yang telah banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat nampaknya belum menyentuh akar masalah.

Persoalan utama terjadinya sengketa lahan adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang telah meliberalisasi lahan. Sehingga menjadikan lahan mudah dikuasai oleh para mafia tanah dan dikelola oleh korporasi. Penguasa sejatinya lebih serius dalam persoalan utama.

Konsep pertumbuhan ekonomi dalam sistem kapitalis bersandar pada investasi yang akan mendorong negara membuka keran investasi sebesar-besarnya bagi para pemilik modal. Akibatnya, warga dihadapkan pada ancaman penggusuran lahan.

Ini membuktikan bahwa sistem kapitalisme telah memposisikan pemerintah sebagai regulator dalam persoalan ini. Kebijakan yang ditetapkan pemerintah lebih condong kepada kepentingan para pemilik modal atau oligarki bukan kepada rakyat. Kasus Rempang, mungkin bisa menjadi salah satu bukti terkait hal ini.

Dengan demikian, prosedur kepemilikan tanah melalui sertifikat tanah elektronik tidak akan mengubah regulasi yang telah disahkan pemerintah tentang syarat pengelolaan tanah. Karena itu, sistem pertanahan yang adil tidak akan pernah terwujud dalam sistem kapitalisme.

Kepentingan para korporat menjadi langkah prioritas sesuatu yang wajib didahulukan, sementara rakyat menjadi korban, dipaksa pasrah terhadap kondisi tersebut. Kalaupun  penggusuran dibawa ke ranah hukum, rakyat seringkali kalah.

Islam Melindungi Harta Rakyat

Jika kapitalisme tak mampu melindungi lahan milik rakyat, maka beda halnya dengan Islam. Selain sebagai agama, Islam memiliki aturan sempurna dan paripurna tentang pertanahan. Islam mengatur skema kepemilikan lahan dengan adil. Islam mengakui hak milik tanah atas perolehan lahan oleh warga melalui hibah, warisan, jual beli atau dengan menghidupkan tanah mati.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain).” (HR. at Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad)

Bahkan, Islam juga membolehkan negara membagikan tanah secara cuma-cuma. Sebagaimana Rasulullah Saw. pernah memberikan lembah kepada Bilal bin Al Harist Al Mazani. Namun demikian, Islam mengingatkan kepada para pemilik lahan agar tidak menelantarkan lahannya.

Lahan yang dimiliki harus senantiasa produktif. Jika dalam kurung waktu tiga tahun, lahan ditelantarkan, maka hak guna kepemilikan atas lahan akan gugur. Selanjutnya lahan itu bisa diambil paksa oleh negara dan diberikan kepada pihak yang sanggup mengelola lahan tersebut.

Berdasarkan ijma sahabat pada masa Khalifah Umar bin Al Khtattab ra, Umar pernah mengambil kembali lahan milik Bilal bin Al Harist Al Mazani yang sebelumnya merupakan pemberian dari Rasulullah Saw., karena Khalifah Umar melihat lahan tersebut ditelantarkan. Kemudian beliau memerintahkan, Bilal hanya boleh menguasai lahan seluas yang sanggup ia kelola.

Dengan skema seperti ini negara akan melindungi hak rakyat. Hukum yang jelas akan memberikan keadilan bagi para pemilik lahan. Kepemilikan mereka yang telah puluhan tahun atas lahan tidak bisa dibatalkan atau diambil alih oleh siapa saja, oleh negara sekalipun, hanya karena tidak bersertifikat.

PMalah ketika sertifikat menjadi satu-satunya bukti keabsahan kepemilikan lahan, justru membuka terjadinya perampasan lahan. Penerapan Islam secara sempurna akan menciptakan keadilan hakiki bagi masyarakat. Wallahu a’lam []

Comment