Cinta Indhira, Rasa Yang Tak Hanya
Novel
Karya Athfah Dewi
Bab 14. Khitbah
_________
Aku berusaha menepisnya, tetapi pegangan Arini sangat kencang. Apalagi, kemudian dia berteriak, “Kak Dhira udah bisa jalan, Pa … Ma …!”
“Gue udah bisa jalan dari kemarin juga. Ngapain, sih, heboh banget?”
“Gitu, ya, Kak? Syukurlah … aku seneng dengernya,” ucapnya semringah.
Entah apa yang merasuki gadis menyebalkan ini. Sehingga dia tetap bersikap baik meski aku kasar kepadanya. Sangat jauh berbeda dengan sikap dia sebelumnya.
**
Hari ini, rumah Mbah Uti jadi ramai. Semuanya bergembira, sesekali mereka menggodaku yang tetap bersikap waspada. Aku tidak boleh terkecoh oleh perubahan sikap dua orang perempuan itu.
Keesokan harinya, Papa mengajakku untuk pulang ke Bekasi. Setelah dipertimbangkan baik-baik, akhirnya aku ikut.
Aku memang butuh waktu untuk berpikir. Apakah meneruskan rencana untuk meneruskan kuliah di Brebes, atau kembali ke kampus yang dulu.
Kedua mata Mbah Uti berkaca-kaca melepas kepergianku. Ada rasa tidak tega meninggalkannya sendiri. Namun, aku harus mencari ketenangan dan kenyamanan untuk diriku sendiri.
Sebelum mobil yang kami tumpangi melaju meninggalkan rumah Mbah Uti, aku melihat Rahman yang sekilas menatap ke arahku. Namun, aku yakin kalau dia tidak tahu bawa di dalam mobil ini ada aku.
Meski dia tahu aku akan pulang ke Bekasi, pasti hal itu tidak akan berpengaruh apapun untuknya. Ya, tentu saja begitu.
Sesampainya di Bekasi, aku merasa seperti melayang. Rasa rindu akan rumah, bergantian bersama kenangan buruk yang sudah terjadi.
Beberapa saat aku hanya terpaku begitu turun dari mobil. Kemudian, Arini menggandengku masuk rumah.
“Kak, aku seneng Kakak pulang,” ocehnya. “Aku janji bakal jadi adik yang baik mulai sekarang.”
Entah apa lagi yang dia ucapkan. Aku tidak begitu memperhatikannya.
“Kalian laper? Kita pesen makanan,” ucap istri Papa.
“Aku mau, Ma!” seru Arini sambil menyebutkan pesanannya. “Kakak mau apa?”
Aku tidak menjawab, sampai akhirnya gadis menyebalkan itu menyebutkan menu yang biasa kupesan sebelumnya.
Aku duduk di sisi tempat tidur. Kembali ke sini, aku jadi merasa asing. Entah apa yang berubah, tetapi aku merasa … ada yang berbeda.
Apa mungkin, sikap Arini yang membuatnya seperti itu? Rasanya bukan. Masa iya, hanya karena hal sepele itu, aku jadi merasa begini.
Malam itu, aku tidur dengan gelisah. Mimpi buruk tiba-tiba menerorku. Sesosok makhluk mengerikan menyerupai Dhimas terus menggangguku.
Laki-laki itu berubah menjadi monster dan terus meneror. Astaga … aku rasanya seperti mau mati saja.
“Kamu sakit, Sayang?” tanya istri Papa pagi harinya.
Aku menggeleng.
“Wajahmu pucat.”
“Aku gak bisa tidur,” ucapku.
“Mimpi buruk atau ada yang dipikirkan?” tanya perempuan itu lagi.
Aku tidak menjawabnya. Untuk apa mengatakan semuanya kepada dia? Tidak penting!
Sekilas, terbayang Mbah Uti. Kenapa aku merindukannya? Lalu, Rahman.
Aah! Kenapa juga harus dia yang kuingat?
“Rencana kamu buat nerusin kuliah di kampung, bagaimana?” tanya Papa ketika kami sedang sarapan.
Aku menggeleng.
“Atau, kamu mau kuliah di sini lagi?”
Aku masih menggeleng.
“Mau di kampung mama kamu?”
“Aku masih bingung, Pa.”
“Ya sudah, pikirkan beberapa hari ini.”
Hingga satu minggu di rumah Papa, aku masih bingung harus melakukan apa. Apa aku sudah kehilangan harapan seperti sebelumnya?
Aku merasa, tidak memiliki tujuan hidup lagi. Jadi, sepertinya akan kuikuti saja arusnya. Kemana takdir membawaku, berarti ke sana aku akan melangkah.
“Mbah kangen, Nduk. Rumah sepi karena gak ada kamu,” ucap Mbah Uti ketika dia meneleponku.
“Dulu juga ‘kan, Mbah sendiri.”
“Iya. Tapi, sekarang mbah baru ngerasa kesepian.”
“Kan ada Rahman.”
“Beda, dong. Kamu ada-ada saja,” jawab Mbah Uti sambil terkekeh.
Tiba-tiba, ada rasa rindu juga kepadanya. Beberapa bulan tinggal bersamanya, aku baru menyadari kalau Mbah Uti benar-benar perhatian kepadaku.
Sepertinya, apa yang pernah dikatakannya benar. Bahwa, yang salah ada di diriku sendiri. Sehingga aku sering melihat orang lain yang jahat.
Begitu juga kata Rahman, dia pernah bilang, kalau aku terlalu berburuk sangka kepada orang lain. Aku terlalu menuruti perasaan sendiri yang belum tentu benar.
Aku turun dari tempat tidur. Lalu, membuka pintu kamar karena terdengar suara ribut di meja makan.
“Itu punya kakakmu. Jangan kamu makan, dong, Sayang. Kamu ‘kan udah mama masakin ini.”
“Tapi, Ma. Ternyata ini enak,” jawab Arini.
“Besok mama masakin buat kamu. Tapi, sekarang itu buat kakakmu.”
“Iya … iya. Mama emang lebih sayang sama kakak dibanding aku.”
“Mama sayang kalian berdua. Udah, panggil kakakmu sekarang.”
Aku segera menutup pintu.
Mendengar percakapan mereka, kenapa aku merasa ada sesuatu di dalam dada? Perasaan asing yang sudah lama tidak aku rasakan. Aku merasa … berbunga-bunga.
Padahal, bukan kali ini saja istri Papa membuatkan makanan kesukaanku. Dulu pun sering dan aku hanya menganggap itu sebagai trik dia supaya Papa melihat kebaikannya.
Kenapa sekarang aku merasa berbeda? Aku merasa kalau dia … benar-benar tulus.
“Kak …!”
“Ya!” jawabku cepat.
“Makan kata mama!”
Gegas aku membuka pintu. Lalu, mengikuti Arini ke meja makan.
Baru kali ini, aku merasa kehangatan lagi di meja makan ini. Kami makan bertiga, sambil mengobrol. Meski aku, lebih banyak terdiam dan mendengarkan keakraban anak dan ibu itu.
Aku jadi merasa rindu kepada Mama.
**
Keesokan harinya, kami berempat pergi ke makam Mama. Semuanya berdoa dengan khusyuk. Termasuk Arini dan mamanya.
Dulu pun, sikap mereka seperti itu. Hanya saja, sekarang aku yang melihatnya berbeda. Ada ketulusan terpancar dari gerak tubuh mereka, terutama istri Papa. Sesuatu yang sebelumnya tidak kusadari.
“Pa, aku sudah memutuskan akan melanjutkan kuliah di mana,” ucapku ketika kami dalam perjalanan pulang.
“Bagus. Di mana?”
“Di kampung Mbah Uti.”
“Papa setuju aja. Asal kamu senang.”
“Yaa … kenapa gak di sini aja, sih, Kak? Di sana itu kampung. Nanti Kakak gak betah,” timbrung Arini tiba-tiba.
“Kamu lupa, ya, kalau di sana itu adem, tentram. Jadi bisa fokus belajarnya,” jawab istri Papa.
“Tapi aku lebih suka di kota.”
“Orang ‘kan beda-beda, Sayang. Kita gak bisa mengukur sepatu orang lain pakai kaki kita sendiri. Sebab, bisa jadi gak cocok,” sela perempuan yang Arini panggil mama itu.
Aku memutuskan untuk melanjutkan rencana semula, karena rasanya tidak akan sanggup jika harus kembali ke kota ini. Di kampung Mbah Uti, sejujurnya aku merasa tentram.
Mbah Uti yang sekarang tidak diragukan lagi ketulusannya, menjadi penyebab utama aku merasa kerasan jika harus menetap di sana.
Tentang Rahman, aku akan berusaha untuk tidak menpedulikannya. Melihatnya bahagia dengan Lela, sepertinya aku pun akan merasa bahagia juga.
Lagipula, siapa aku ini? Hanya perempuan dengan masa lalu yang buruk. Belum tentu juga Rahman tertarik meski di antara kami tidak ada Lela.
Prioritas utamaku sekarang, aku harus kuliah dengan serius. Supaya kelak, aku bisa mandiri dan membuat Papa bangga.
**
Semua persyaratan untukku melanjutkan kuliah di Brebes sudah lengkap. Papa yang membantuku mengurus semuanya. Bahkan, dia juga yang mendaftarkanku di kampus yang baru.
“Kamu harus ada yang nganter dan jemput setiap pergi ke kampus,” ucap Papa.
“Beliin aku sepeda motor saja, Pa,” usulku.
“Enggak. Papa gak bakal ngizinin kamu pulang pergi sendiri. Jaraknya jauh, lho. Belum lagi harus melewati jalanan sepi.”
“Aku berani, kok.”
“Enggak. Cari cara lain saja.”
“Minta orang buat anter jemput Dhira saja,” usul istri Papa.
“Siapa?” Kami menatap perempuan dengan kerudung hijau army yang menutup auratnya.
“Anak temen mama. Pasti dia mau. Anaknya baik juga.”
“Oh, ya, papa setuju kalau dia.”
“Emang siapa?” Aku menatap Papa.
“Kamu juga kenal,” jawab Papa.
“Namanya?”
“Rahman,” jawab Mbah Uti.
“Rahman? Tapi ….”
“Kalian cukup akrab, kan?”
“Iya, sih. Tapi, aku gak mau sama dia.”
“Kenapa?” Papa menatapku.
“Belum tentu dia mau.”
“Insya Allah mau,” jawab Mbah Uti.
Aku tidak menjawab lagi. Ini bukan kabar baik. Akan semakin sulit untuk menghapus perasaan di dada ini, jika setiap pulang dan pergi harus bersamanya.
Namun, untuk menolak, aku tidak mempunyai alasan yang tepat. Semoga saja, Rahman menolaknya. Itu satu-satunya harapanku.
“Saya bersedia, Oom,” jawab Rahman ketika sore harinya dia mampir ke rumah Mbah Uti dan itu membuatku merasa terkejut.
“Bagus. Oom merasa tenang kalau kamu yang anter jemput Dhira.” Sebuah senyuman mengembang di wajah Papa.
“Tapi, Man. Gimana dengan ….” Aku menegakkan tubuh.
“Maaf, Oom” sela Rahman. “Saya juga ada yang mau disampaikan sama Oom, Tante dan juga Mbah.” Rahman menatap mereka bergantian dan tidak melirikku sedikit pun yang sudah disela ucapannya.
“Apa itu?” Papa menatap Rahman dengan dahi berkerut.
“Begini, Oom.” Rahman memperbaiki posisi duduknya. Lalu menarik napas dalam-dalam.
Kami yang berada di ruangan ini menatapnya penasaran.
“Sebelumnya, saya mau minta maaf kalau apa yang akan saya sampaikan dianggap lancang. Tapi, saya memang harus mengatakan semuanya, langsung kepada Oom, Tante dan Mbah. Bahwa saya … berniat untuk mengkhitbah Indhira.”
“Apa? Khitbah apa?” Aku menatap Rahman, lalu beralih kepada Papa.
Bersambung (Insya Allah)
Comment