62 Negara Desak PBB Hentikan Pelanggaran HAM dan Penindasan dengan Dalih Penanganan Covid-19 di Korsel

Internasional377 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – 155 kelompok pemuda dari 62 negara termasuk Indonesia, mendesak PBB segera menghentikan diskriminasi terhadap Gereja Shincheonji, denominasi Kristen baru yang berkantor pusat di Korea Selatan, dan organisasi yang berafiliasi dengan ECOSOC PBB bernama Heavenly Culture, World Peace, Restoration of Light (HWPL).

Desakan itu secara resmi dikirimkan melalui surat pada tanggal 10 Agustus 2020 ke Sekretaris umum PBB, Antonio Guterres dan afiliasi-afiliasi PBB, termasuk Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) dan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak-hak Asasi Manusia (OHCHR).

Demikian diungkapkan Fatia Maulidiyanti dari KontraS Indonesia, melalui siaran persnya seperti dilansir GoNews.co, Senin (24/8/2020) di Jakarta.

“Ini sangat menghkhawatirkan. Penganiayaan terhadap kelompok-kelompok minoritas yang rentan akan serangan serta pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia yang terus terjadi dengan dalih memerangi virus corona,” ujarnya.

Untuk mengatasi masalah ini kata Fatia, pendiri Free Watch Afghanistan Mobeenullah Aimaq sudah mengajukan sebuah surat bersama kepada kaum muda di seluruh dunia untuk menghimbau masyarakat internasional.

Kita para pemuda dari 62 negara mendesak, agar Pemerintah Korea menghentikan penuntutan terhadap Gereja Shincheonji dan HWPL di Korea Selatan. Kita juga menuntut Gereja Shincheonji dan HWPL harus segera dihentikan agar reputasi internasional pemerintah tersebut, yang dikenal sebagai pendukung perdamaian di dunia, akan terselamatkan,” tambahnya.

Dalam surat tersebut, kata Fatia, pihaknya juga melaporkan beberapa tindakan diskriminasi dan penindasan yang tidak adil dari pemerintah Korea dan media terhadap organisasi-organisasi tersebut dengan mengutip kekhawatiran Sekretaris Umum PBB mengenai “efek-efek ketidakseimbangan pada komunitas-komunitas tertentu, munculnya ujaran kebencian, dan penargetan kelompok-kelompokyang lemah”.

Karena saat ini telah ada lebih dari 5.500 kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia ter-hadap anggota-anggota Gereja Shincheonji selama periode pandemi yang sedang berlangsung ini.

“Di antara kasus-kasus tersebut termasuk kematian dua anggota wanita dalam keadaan yang mencurigakan. Banyak dari korban-korban ini adalah kaum muda yang kini menghadapi peningkatan diskriminasi di tempat-tempat kerja dan sekolah-sekolah, kekerasan di rumah, dan bahkan terjadi program pemaksaan agama kembali,” tegasnya.

Anggota-anggota Gereja Shincheonji kata Fatia, juga merupakan korban-korban yang juga tertular virus meskipun telah mengikuti petunjuk-petunjuk pemerintah yang terkait pandemi.

“Setiap orang memiliki hak-hak dan salah satunya adalah kebebasan beragama. Hak tersebut berisi kebebasan beragama atau berkeyakinan sesuai pilihannya. Sesungguhnya sebuah agama, yang dianut oleh mayoritas penduduk, tidak boleh mengakibatkan diskriminasi apa pun terhadap penganut agama lain,” tandasnya.

Selain itu, investigasi penahanan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Ketua Man Hee Lee yang berusia 89 tahun dari Gereja Shincheonji dan HWPL baru-baru ini ditetapkan. Surat ijin kedua kelompok ini telah dicabut oleh pemerintah dan mereka telah menjalani penyelidikan pajak yang ketat. Mereka yang berada di posisi kepemimpinan dalam organisasi itu juga telah ditahan untuk diinterogasi.

Dalam kolom Korea Times berjudul “Bisakah sekte yang tidak populer mengharapkan keadilan?”, Michael Breen, CEO Insight Communications, menyebut penyelidikan terhadap Gereja Shincheonji saat ini sebagai “mencari-cari kesalahan” dengan mengatakan bahwa Shincheonji adalah target yang aman bagi politisi dan orang-orang lain yang berkomentar di depan umum karena tidak populer.

“Untuk itu, sekali lagi, kami mendesak agar kasus-kasus penindasan hak-hak asasi manusia, sosial dan agama, seperti yang terjadi di Korea Selatan, harus diakhiri,” pungkasnya. [sumber]

 

Comment